Ads

Kamis, 23 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 05

“Plakk!”

Gadis itu menangkis sambil mengerahkan tenaga pula dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang masing-masing tiga langkah. Gadis itu tersenyum, tidak terkejut karena ia sudah tahu sebelumnya bahwa kakek ini memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka tentu saja amat tangguh.

Sebaliknya, Cia Kong Liang terkejut bukan main. Gadis yang usianya paling banyak dua puluh lima tahun itu sanggup menangkis dorongannya dan membuat dia terdorong mundur tiga langkah!

“Bagus, kiranya engkau penjahat yang mengandalkan kepandaianmu! Nah, terpaksa aku akan menyerangmu untuk menolong cucuku!”

Setelah berkata demikian Cia Kong Liang mulai menyerang dan memainkan ilmu silat Im-yang Sin-kun sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Tangannya yang kiri menyambar dengan tamparan ke arah pelipis kepala, tangan kanan memukul ke arah perut.

“Haiiiiitttt…….!”

Bi Hwa cepat meloncat ke kiri sambil menangkis pukulan itu dan membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula di tangkis oleh Cia Kong Liang. Kakek itu kini melihat jelas betapa lihainya lawannya walaupun seorang wanita yang masih muda. Maka dia lalu memainkan Im-yang Sin-kun dengan sebaiknya untuk mendesak Bi Hwa.

Sampai lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu, dan ia mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan.

“Lihat, suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada, Bi Hwa berseru.

“Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,” kata Kim Hwa Cu.

Mendengar ini, Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka telah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik

“Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru dan sambil mengelak terus. Ia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andaikata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini, tenaga kakek itu sudah banyak berkurang, dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi maka biarpun Bi Hwa terdesak, tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah.

Karena mainkan Thian-te Sin-ciang membutuhkan pengerahan banyak tenaga, maka setelah beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini dia memainkan San-in Kun-hwat.

“Hemm, ini San-in Kun-hwat dimainkan oleh seorang ahli!” Siok Hwa memuji.

Mereka diam-diam mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Memang dalam tugas mereka, seperti telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya, mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka Cin-ling-pai.

Yang pertama adalah pedang pusaka berupa pedang yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik pendekar sakti Cia Keng Hong. Adapun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu Thi-khi-i-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tanaga dalam yang mujijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sin-kang lawan, betapapun kuat tenaga sin-kang lawan itu!

Karena itulah, maka setelah kini berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua dari Cin-ling-pai, mereka ingin menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan kepada mereka.

Melihat betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tidak dapat merobohkan lawan, hanya mampu mendesak saja, diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung sekali. Dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib cucunya.

Ketika perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang meloncat ke atas dan dia turun kembali, tangannya telah mematahkan sebatang dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, terdengar angin menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau!






Melihat ini, Bi Hwa cepat meloncat menjauhi dan berkata kepada tiga orang gurunya,
“Suhu, ini tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat suhu hadapi aku sudah lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!”

Kini Kim Hwa Cu yang meloncat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia menggerakkan sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan api.

“Tahan….!”

Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru nyaring dan dia meloncat ke belakang, menahan dua tongkat dahan pohon itu, matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul.

“Cia Kong Liang, lebih baik engkau menyerah dengan baik. Kami hanya ingin bertanya kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang.”

“Hemm, melihat pakaianmu, agaknya engkau ini seorang pendeta, seorang tosu. Kalau benar demikian, apa artinya semua ini, to-tiang? Kalau kalian datang ke Cin-ling-pai untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, kenapa kalian menguasai Ciok Gun, dan menangkap cucuku?”

Kim Hwa Cu tertawa dan menyilangkan sepasang pedangnya.
“Orang tua, urusan kami tidak perlu engkau mengetahui. Kalau engkau dapat memenuhi dua permintaan kami, kami berjanji untuk membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami tidak akan mengganggumu.”

Biarpun dia marah sekali dan tidak percaya kepada omongan orang itu, namun karena maklum bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh, Cia Kong Liang menahan kemarahannya,

“Katakan, apa permintaanmu itu?”

“Hanya ada dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu Harum, dan kedua adalah ilmu Thi-khi-i-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu dan rahasia ilmu Thi-ki-i-beng!” jawab Kim Hwa Cu.

Wajah kakek itu sampai menjadi pucar saking kaget dan marahnya.
“Yang kau sebut adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai, aku lebih baik mati daripada membuka rahasia perkumpulan kami!”

Tiba-tiba Bi Hwa mendengus marah.
“Huh, orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala. Sam Suhu, tidak perlu banyak cakap lagi dengan dia, tangkap dia. Akan tetapi jangan bunuh!” katanya dengan nada suara mengkal.

Kim Hwa Cu tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau telah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, majulah dan perlihatkan kepadaku sampai dimana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!”

Kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan diapun sudah menggerakkan dua batang kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga. Biarpun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat kakek ini seperti bertambah tenaga dan semangatnya. Sepasang dahan pohon itu bergerak bagaikan sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat berbahaya bagi lawan.

Akan tetapi yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang di tangan Kim Hwa Cu itu dapat membendung gelombang serangan sepasang tongkat. Bahkan Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu.

“Bagus! Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” beberapa kali dia memuji.

“Sudahlah, Sam Suhu. Robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancing agar dia mengeluarkan Thi-khi-i-beng!” terdengar Bi Hwa berseru dan Kim Hwa Cu teringat akan kewajibannya.

Dua kali pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia menyimpan sepasang pedangnya dan menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong.

Tokoh tua Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh kenekatan. Akan tetapi, tadipun ketika melawan Bi Hwa dia sudah tidak mampu menandinginya, apalagi kini guru gadis itu yang maju. Dari pertemuan tenagapun dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah.

"Dukk!"

Pundak kiri Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itupun terhuyung ke belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengelauarkan keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat bagaikan singa terluka.

Mereka saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek Cin-ling-pai itu semakin terdesak.

"Plakk!" kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan pada punggungnya, cukup keras sehingga dia terpelanting!

Akan tetapi dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum bangkit berdiri. Akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan.

Tiba-tiba dua buah tangan yang halus namun kuat sekali mencengkeram kedua pundaknya dari belakang. Bukan main nyeri rasa kedua pundak itu, membuat kedua lengannya lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia roboh terkulai dan pingsan.

Su Bi Hwa menyumpah-nyumpah.
"Sialan! Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!"

"Hemm, aku yakin bahwa dia tidak menguasai ilmu itu," kata Lan Hwa Cu sambil memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu. “Kalau dia mampu menguasainya, tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada seorangpun ahli silat membiarkan diri terancam maut tanpa mempergunakan ilmu simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng."

"Kalau begitu, kita harus tawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan. Melalui Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini dan bantuan Ciok Gun yang kita jadikan mayat hidup, kita adu domba kekuatan para pendekar!"

Ketika kakek Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya, namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu dan yang membuat dia mengerutkan alisnya adalah ketika dia melihat cucunya terbelenggu kaki tangannya dan menggeletak miring di atas lantai.

Ada pula Cik Gun berdiri seperti patung dan wanita cantik itu duduk di atas bangku dan tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya, maka iapun tidak berusaha untuk meronta.

"Ah, kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?"

Bi Hwa menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi dan iapun duduk di atas bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar marah.

"Iblis betina jahat!" Cia Kong Liang memaki. " Aku sudah kalah, kalau kalian hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan apapun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!"

"Kakek Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun telah menjadi pembantu kami yang setia. Maka, kuharap engkau suka menyerahkan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada kami. Kami berjanji akan membebaskan kalian bertiga kalau kami sudah menerima dua pusaka Cin-ling-pai itu."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar