Ads

Sabtu, 25 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 14

Ceng Thian Sin mengerutkan alisnya.
"Bagaimana kami dapat percaya bahwa kalian sudah bertemu dengan Kui Hong? Kalau ia bertemu dengan dia, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dan bukan dia yang mengembalikannya kesini."

Ki Liong mengangkat mukanya hendak menjawab, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan suhunya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhunya demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar.

Akan tetapi Mayang sama sekali tidak takut.
"Terserah lo-cian-pwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas, pedang itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan enci Kui Hong. Yang merampasnya adalah kakakku, yang membantu enci Hong dan kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong.”

"Hemm, siapakah kakakmu itu?”

Mayang mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu.
"Kakakku adalah seorang pendekar sakti, namanya Tang Hay. Lo-cian-pwe hendak mengetahui siapa guru kakakku? Bukan subo, akan tetapi gurunya banyak, diantaranya menurut cerita kakakku adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!"

Kembali kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka terkejut karena nama-nama yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di dalam dunia persilatan.

"Kalau Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan ia yang membawanya pulang kesini?” Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat percaya begitu saja.

"Sudah kukatakan bahwa enci Kui Hong memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong menyetujui kalau Liong-ko kembali kesini menghadap ji-wi, mengembalikan Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu, dengan senang hati enci Kui Hong memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko."

"Aku tidak percaya!" Nenak Toan Kim Hong membentak.

Mayang bersungut-sungut.
"Percaya atau tidak terserah, akan tetapi begitulah kenyataannya. Kalau ji-wi tetap hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi pembohong terbesar di dunia! Nah, lo-cian-pwe boleh membunuh kami!"

Gadis itu berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dan Ki Liong, mengembangkan kedua lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut.

Ia berada dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong dapat keluar dengan selamat! Nenek itu sudah menjadi merah mukanya dan matanya memancarkan sinar berapi.

Ceng Thian Sin melihat keadaan isterinya ini dan maklum bahwa sekali isterinya menggerakkan tangan, pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Maka, diapun sudah mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya.

"Ki Liong, benarkah apa yang dikatakan oleh gadis ini?"

Baru sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Sejak tadi, kakek dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang.

Ki Liong yang masih berlutut itu segera merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan sikap merendah sekali.

"Suhu yang mulia, semua yang diceritakan Mayang memang benar, akan tetapi mohon suhu dan subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Ia tidak bersalah dan biarlah teecu yang menanggung semua hukuman."






"Huh, gadis yang kasar ini jauh lebih berharga daripada kamu!” nenek Toan Kim Hong berseru. "Ia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan curang!”

Biarpun ia masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh Ki Liong. Kalau benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlalu jujur untuk berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal, minggatnya Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena gara-gara Kui Hong. Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak dan karena dia ditegur dan merasa malu, maka Ki Liong melarikan diri.

Kesalahannya yang terbesar adalah oleh peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu berkeras hendak membunuhnya? Ia menyerahkan saja kepada suaminya yang ia tahu amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat.

"Ki Liong, kami belum dapat menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu apakah benar engkau telah bertaubat dan apakah benar Kui Hong telah memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Sukur kalau Kui Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak, sedikitnya harus ada surat tulisan cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!”

Mayang hendak membantah, akan tetapi Ki Liong memegang tangannya dan menarik gadis itu untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong.

"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan suhu dan subo yang sudah mengampuni kami. Karena sudah jelas perintah suhu, teecu mohon diri untuk melaksanakan perintah itu. Teecu akan mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan bukti darinya.”

Kakek dan nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan dan tubuh kedua orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ!

"Aih, betapa kejamnya…….!”

Mayang berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai dimana dia menyimpan perahunya tadi.

"Ssttt, diamlah, Mayang dan jangan bicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku, memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersukur."

"Hemm, kemana kita akan pergi sekarang?" tanya Mayang.

Ki Liong memanggul perahunya.
"Persiapkan cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi, menuju ke darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong.”

Mayang mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut.
"Kita Harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong! Padahal dari sini kita dapat langsung ke barat menemui ibuku dan suboku untuk membicarakan urusan kita."

"Kita lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu, Mayang."

Seperti ketika mendarat, mereka melalui bagian yang lebih dalam dimana ikan-ikan hiu hilir mudik, siap menyambar kaki mereka diantara batu-batu karang. Kini, karena hatinya mendongkol, Mayang mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya pun patah dan lecet-lecet.

Karena ada ikan yang berdarah terkena cambuknya itu, terjadilah perkelahian antara mereka sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu dan air laut di sekitar batu-batu itupun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu ke tengah.

Setelah Ki Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat duduk santai dan bercakap-cakap.

“Mayang, sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya, hatiku belum merasa tenteram. Bagaimana hatiku dapat tenteram sebelum aku diterima kembali oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Tentang urusan kita dengan ibumu dan subomu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang sudah menjadi calon jodoh masing-masing? Kita saling mencinta dan itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri, kalau engkau menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita.”

Mayang cemberut.
“Tidak! Sampai matipun aku tidak sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo! Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh menjadi jai-hwa-cat (penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan suboku, baru aku suka menjadi isterimu, Liong-ko.”

“Akan tetapi kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apapun lagi yang…….”

“Liong-ko! Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta semata! Kitapun tidak tahu apa cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus disertai pula ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian terhadap orang tua kita. Dan engkau sendiri, bagaimana, Liong-ko? Engkau tidak pernah menceritakan tentang orang tuamu.”

"Ayah ibuku telah tiada, Mayang."

"Ah, kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu. Setelah itu, baru kita pergi keNing-ling-san.”

Mereka melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam sikap Ki Liong. Pemuda itu nampak banyak melamun dan seperti orang yang berduka. Ia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya, dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka iapun mendiamkannya saja.

**** 14 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar