Ads

Senin, 27 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 17

Para tokoh kang-ouw partai persilatan merasa heran juga ketika menerima undangan Cin-ling-pai yang hendak merayakan pemikahan wakil ketuanya. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai kini diketuai oleh seorang gadis, akan tetapi yang kini menikah bukanlah gadis itu, melainkan wakil ketua yang bemama Gouw Kian Sun.

Nama Gouw Kian Sun tidak dikenal oleh para tokoh kang-ouw, tidak seperti nama Cia Kui Hong, gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena memandang nama besar Cin-ling-pai, walaupun undangan itu amat tiba-tiba dan waktunya mendesak, hampir semua perkumpulan mengirim wakil atau utusan, ada pula ketua yang datang sendiri.

Biarpun bukan ketua pusat dari perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, melainkan hanya ketua-ketua cabang dan utusan-utusan pusat, namun lengkap jugalah para undangan datang berkunjung. Bahkan karena terdapat undangan yang jauh, maka dua hari sebelum hari perayaan, sudah banyak rombongan utusan perkumpulan silat yang temama berdatangan. Diantara mereka terdapat wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai.

Sesuai dengan perintah Bi Hwa, Gouw Kian Sun yang tidak berdaya itu telah menyuruh para murid Cin-ling-pai membangun pondok-pondok darurat untuk para tamu. Pondok-pondok darurat itu tersebar di sekitar perkampungan Cin-ling-pai di dekat puncak Cin-ling-san yang luas itu.

Para tamu yang berdatangan itu menjadi semakin heran ketika mereka hanya disambut oleh wakil ketua Cin-ling-pai atau calon pengantin pria yang ditemani oleh Giok Gun dan beberapa orang miurid Cin-ling-pai.

Tidak nampak keluarga Cia yang merupakaan keluarga pimpinan Cin-ling-pai turun-temurun itu. Menurut keterangan Gouw Kian Sun atas pertanyaan para tamu, ketua Cin-ling-pai sedang merantau, pendekar Cia Hui Song dan isterinya sedang berkunjung ke pulau Teratai Merah, dan kakek Cia Kong Liang juga tidak berada di Cin-ling-pai.

Akan tetapi karena mereka itu menghormati nama besar Cin-ling-pai, biarpun merasa heran dan juga kecewa, rombongan dari berbagai partai persilatan itu menempati pondok masing-masing dan sebelum hari perayaan tiba, mereka menikmati pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang jemih sejuk dari pegunungan Cin-ling-pai.

Rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang, dipinpim oleh Tiong Gi Cin-jin, tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai yang usianya sudah enam puluh dua tahun. Enam orang yang lain adalah murid-muridnya yang berusia dari dua puluh lima sampai empat puluh tahun dan para murid itu merupakan murid-murid yang pandai dari Bu-tong-pai dan terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah.

Rombongan Bu-tong-pai ini mendapatkan sebuah pondok besar di sebelah barat, diantara pohon-pohon cemara. Seperti juga para tamu dari berbagai perkumpulan silat, rombongan Bu-tong-pai ini datang lebih awal dua hari, sehingga selama dua hari dua malam mereka akan tinggal disitu sampai hari perayaan tiba.

Tidak jauh dari pondok tempat tinggal para utusan Bu-tong-pai ini terdapat pondok lain yang juga cukup besar. Kedua pondok itu hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar dimana selain pohon-pohon buah juga terdapat taman bunga yang indah. Pondok kedua ini hanya ditempati empat orang utusan dari Go-bi-pai, tiga orang murid pria yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun, dan seorang murid wanita yang masih gadis, berusia delapan belas tahun.

Tiga orang pria itu merupakan murid-murid kelas dua dari Go-bi-pai, sedangkan gadis itu adalah puteri seorang diantara mereka yang menjadi memimpin rombongan. Ayah gadis itu bemama Poa Cin An, berusia lima puluh tahun dan sebagai seorang tokoh kelas dua di Go-bi-pai, tentu saja ilmu silatnya lihai, terutama permainan siang-kiam (sepasang pedang) dari ilmu pedang Go-bi-kiam-sut. Puterinya bemama Poa Liu In, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis dan bersikap lembut.

Di sebelah timur, juga hanya terpisah kebun besar, terdapat pondok untuk para utusan dari Siauw-lim-pai yang terdiri dari dua orang hwesio tingkat dua, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang hwesio kurang lebih enam puluh tahun yang bersikap lembut dan ramah.

Di sekitar pondok darurat itu, tinggal pula utusan dari Kun-lun-pai yang berjumlah empat orang. Tiga orang murid kelas dua dan paman guru mereka, seorang tosu yang bemama Yang Tek Tosu berusia lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kering.

Masih banyak lagi para utusan perkumpulan lain yang tinggal di pondok-pondok darurat, akan tetapi yang merupakan tamu kehormatan di antaranya adalah utusan dari empat perkumpulan besar itu.

Pada keesokan harinya setelah mereka datang, pagi-pagi sekali, masih remang-remang dan hawa dingin sekali, di belakang pondok yang dijadikan tempat bermalam para utusan Go-bi-pai, nampak seorang gadis sedang berlatih silat. Gadis itu adalah Poa Liu In, puteri Poa Cin An yang memimpin rombongan Go-bi-pai. Mula-mula ia berlatih silat tangan kosong. Gerakannya cepat dan pukulannya mantap.






Memang ia seorang gadis yang berbakat dan sejak kecil digembleng oleh ayahnya yang menjadi tokoh tingkat dua Go-bi-pai, bahkan kini mengepalai cabang Go-bi-pai yang berada di Lembah Sungai Han, masih merupakan bagian kaki Cin-ling-pai. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan gadis itu selain cepat dan mantap, juga amat indah. Apalagi dimainkan oleh seorang gadis manis yang memiliki bentuk tubuh seindah tubuh Liu In, mana nampak seperti seorang dewi sedang menari saja.

Liu In berlatih sungguh-sungguh sehingga dari kepala yang rambutnya hitam panjang itu mengepul uap. Hawa udara sangat dingin sedang tubuhnya menjadi panas karena latihan itu maka kepalanya mengepulkan uap putih, menambah keindahan latihan silat tangan kosong yang seperti tarian itu.

Setelah selesai, iapun mencabut pedangnya, pedang pasangan dan mulailah ia melanjutkan latihannya dengan latihan ilmu pedang Gobi Kiam-sut. Ia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, makin lama semakin cepat sehingga lenyaplah bentuk kedua pedang itu. Yang nampak hanya gulungan dua sinar seperti dua ekor naga bermain-main diantara tubuh yang padat dan langsing itu.

Juga dalam latihan ilmu pedang ini, Liu In bermain sungguh-sungguh, mengerahkan semua tenaga dan memusatkan perhatiannya sehingga kini lebih banyak lagi uap putih mengepul ke atas dari kepalanya. Ketika akhirnya ia menghentikan latihan pedangnya, nampak kini muka dan lehernya basah oleh keringat, dan dadanya yang membusung itu naik turun, nafasnya agak memburu.

Liu In lalu meletakkan pedangnya di atas tanah. Ia sendiri lalu memilih tanah yang kering, lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mengatur pemafasan. Sungguh nyaman sekali rasanya, sehabis berlatih, badannya panas dan jantungnya berdebar, kini duduk melakukan latihan pemapasan seperti itu. Setelah napasnya normal kembali dan kelelahannya menghilang, iapun melanjutkannya dengan siulian.

Pada saat ia mengosongkan pikirannya itulah, tiba-tiba terdengar bisikan suara yang mengandung wibawa amat kuatnya.

"Poa Liu In, betapa nyamannya rasa tubuhmu dan hawa udara sejuk membuatmu mengantuk. Engkau mengantuk dan tertidur…..”

Liu In terkejut dan ia mencoba untuk melawan perintah itu yang dianggapnya tidak wajar. Tidak mungkin ayahnya memerintahkan seperti itu. Ia hendak menoleh dan menolak akan tetapi sungguh aneh. Kepalanya seperti penuh dengan suara itu yang memaksanya untuk tidur, yang menekankan bahwa ia mengantuk, dan ia tidak mampu menoleh, bahkan tidak mampu bergerak, dan akhirnya iapun menyerah. Ia tertidur dalam keadaan masih bersila!

Karena tidurnya adalah tidur tidak wajar, maka iapun sama sekali tidak terjaga ketika ada bayangan berkelebat di belakangnya. Dengan gerakan yang amat cepat bayangan itu menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu yang terkulai pingsan, kemudian bayangan itu mengangkat dan memondong tubuh yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya pergi dari situ.

Bayangan yang memondong tubuh Liu In yang pingsan itu menyelinap masuk ke dalam sebuah pondok darurat yang belum dipakai tamu dan yang berdiri agak terpencil di dekat hutan sebelah barat.

Tak seorangpun melihat bayangan itu memondong Liu In ke dalam pondok. Dan tidak ada seorangpun yang tahu apa yang terjadi di dalam pondok itu. Hari masih terlalu pagi dan udara terlampau dingin sehingga orang segan untuk keluar dari pondok.

Matahari telah mulai mengeluarkan sinarnya yang lembut namun sudah mendatangkan kehangatan ketika Liu In mengeluarkan keluhan lirih dan menggerakkan tubuhnya, membuka kedua matanya. Pada saat itu ia mendengar suara yang masuk dari luar tempat itu.

"Gadis Go-bi-pai yang sombong, memamerkan kepandaianmu yang tidak seberapa itu di Cin-ling-pai? Ha-ha! Kalau engkau mau tahu siapa aku, ingat saja orang she Lui murid Cin-ling-pai!"

Liu In terkejut bukan main dan meloncat turun dari atas dipan, hanya untuk menahan jeritnya dan matanya terbelalak mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya telanjang bulat! Pakaiannya berada di atas dipan itu. Ia menyambarnya dan cepat mengenakan kembali pakaiannya, wajahnya pucat karena ia kini sadar benar apa yang telah terjadi menimpa dirinya. Ia telah diperkosa orang selagi pingsan atau tidur! Akan tetapi ia segera ingat bahwa tadi ia berlatih silat dan duduk bersila. Kini tahu-tahu telah berada di dalam sebuah pondok. Tentu ia telah ditotok dan pingsan!

Setelah mengenakan kembali pakaiannya secepatnya, ia meloncat keluar mendorong daun pintu pondok itu dan ia berdiri tertegun. Ia melihat beberapa orang pria muda murid-murid Cin-ling-pai hilir mudik, dan melihat rombongan para tamu sedang berjalan-jalan, menikmati cahaya matahari pagi yang hangat. Ia tentu saja tidak berani ribut-ribut. Bagaimana ia berani membuat ribut kepada para murid Cin-ling-pai itu? Tentu berarti ia akan melumuri dirinya dengan aib, mengaku bahwa ia baru saja diperkosa orang! Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan ingin ia menjerit, ingin ia menangis, akan tetapi melihat semakin banyak otang berjalan-jalan, iapun menahan perasaannya.

"Liu In…….!"

Tiba-tiba terdengar suara ayahnya menegur. Ia menoleh dan melihat ayahnya bersama dua orang susioknya. Mereka agaknya bukan hanya berjalan-jalan biasa, melainkan sedang mencarinya karena ayahnya membawa pula siang-kiamnya yang tadi ia pergunakan untuk berlatih silat.

Melihat puterinya berdiri dengan tubuh kelihatan lunglai dan wajahnya pucat sekali, tentu saja Poa Cin An terkejut bukan main dan merasa amat khawatir.

"Liu In, kemana saja engkau tadi? Apa yang terjadi?"

Poa Cin An dan dua orang sutenya cepat menghampiri Liu In. Begitu ayahnya berada di depannya, Liu In tidak dapat menahan kehancuran hatinya lagi.

“Ayah …….!" Ia menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya.

"Ehhh? Apa yang terjadi? Ada apakah, Liu In?" tanya Poa Cin An.

Melihat betapa semua orang kini memandang ke arah mereka dengan pandang mata heran dan hanya tidak berani bertanya karena rombongan Go-bi-pai tentu saja disegani orang, dua orang sute dari Poa Cin An lalu memberi isarat kepada ,suheng mereka.

“Mari kita pulang ke pondok dan bicara disana."

Biarpun ia sedang menangis, mendengar ucapan itu, Liu In mengangguk lemah dan merekapun berjalan menuju ke pondok mereka. Liu In menahan rasa nyeri di tubuh dan hatinya.

Setelah mereka tiba di pondok mereka, Liu In tak dapat lagi menahah kesedihannya. Ia lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir bagaikah air bah mengalir keluar dari bendungan yang pecah.

Poa Cin An mengerutkan alisnya, memberi isarat kepada dua orang sutenya agar tinggal di luar dan dia sendiri lalu memasuki kamar puterinya, menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Dia melihat puterinya menangis terisak-isak sambil menyembunyikan mukanya di bantal, menelungkup dan tubuhnya terguncang-guncang. Dia duduk di tepi pembaringan, menyentuh pundak puterinya.

"Liu In, kemana perginya sifatmu yang gagah sebagai pendekar? Kenapa engkau menjadi cengeng dan menangis seperti anak kecil? Apakah yang terjadi? Katakan padaku, ceritakan kepada ayahmu."

Liu In melanjutkan tangisnya sampai akhirnya dapat menguasai hatinya, ia bangkit duduk, akan tetapi kedua tangannya masih menutup mukanya dan dengan suara hampir tidak terdengar ia berkata,

“Ayah…… aku ……. aku……… diperkosa orang…….."

Bagaikan dipatuk ular, Poa Cin An yang biasanya tenang itu melompat dari tepi pembaringan, berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah sekali.

"Apa? Siapa? Hayo ceritakan, apa yang terjadi!”

Kini suaranya penuh dengan api yang berkobar karena harga diri dan kehormatannya tertusuk.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar