Ads

Senin, 27 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 18

Dengan kedua tangan masih menutupi mukanya, Liu In menceritakan pengalamannya, betapa tadi pagi-pagi sekali ia berlatih silat, kemudian ketika ia sedang melakukan latihan siu-lian (samadhi), ia tertidur dan ketika ia terbangun atau siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam pondok kosong dan telah diperkosa orang.

"Siapa? Siapa dia? Cepat katakan!"

"Ayah, aku tidak tahu. Ketika hal itu terjadi, aku dalam keadaan pingsan, sama sekali tidak sadar. Ketika aku siuman, aku sendirian saja di pondok itu dan aku mendengar suara orang laki-laki mengaku bahwa dia yang melakukan perbuatan itu adalah seorang murid Cin-ling-pai yang she (bermarga) Lui…….."

"Keparat jahanam! Noda ini harus dicuci dengan darah!"

Poa Cin An berteriak dan dia meloncat keluar dari dalam kamar pondok itu. Dua orang sutenya terkejut dan menyambutnya dengan kaget dan heran.

"Suheng, ada apakah?”

“Keparat Cin-ling-pai ……!”

Poa Cin An terengah-engah dan matanya mencorong penuh kemarahan, amat mengejutkan dua orang adik seperguruannya.

Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di dalam kamar Liu In dan disusul rintihan gadis itu,

“ ……..ayaahhh…….”

Tiga orang tokoh Go-bi-pai itu lari memasuki kamar dan…….. Poa Cin An berteriak parau dan menubruk tubuh puterinya yang sudah menggeletak di atas lantai dengan kedua pedangnya menembus dada dan perut! Darah membanjiri lantai dimana gadis itu rebah miring.

“Liu In……..!”

Poa Cin An hanya dapat merangkul puterinya, maklum bahwa dengan dada dan perut ditembusi kedua pedang itu, mustahil untuk dapat menyelamatkan nyawa anaknya.

Liu In masih dapat memandang ayahnya dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar suaranya lemah dan lirih,

"……. aku malu………. ayah……… balaskan…….” dan lehernya terkulai, nyawanya melayang.

"Liu In…….!”

Ayah itu menubruk lagi jenazah puterinya. Poa Cin An seorang tokoh Go-bi-pai, seorang pendekar yang keras hati, namun sekali ini dia menangis seperti anak kecil! Anaknya hanya tunggal dan kini tewas sedemikian menyedihkan di depan matanya. Diperkosa orang kemudian membunuh diri!

"Cin-ling-pai keparat! Tenanglah, anakku, aku akan membalaskan dendam setinggi langit ini!" teriaknya dan diapun meloncat bangun, menyambar sepasang pedangnya yang tadi dia lempar di atas meja ketika dia melihat keadaan puterinya.

Akan tetapi, dua orang sutenya cepat menangkap lengannya.
“Suheng, tahan dulu…..!”

Poa Cin An rnemandang kedua orang sutenya dengan mata merah dan mendelik, kedua pipinya masih basah.

"Apa? Kalian hendak menghalangiku? Sepatutnya kalian membantuku!"

“Tentu saja kami akan membantumu, Suheng. Andaikata Suheng tidak menuntut balaspun, kami berdua akan mempertaruhkan nyawa untuk membalas penghinaan ini! Bukan hanya puterimu yang dihina, bukan hanya Suheng, melainkan Go-bi-pai! Akan tetapi, kita harus tenang, Suheng. Apakah Suheng ingin agar seluruh dunia tahu akan aib yang menimpa diri puterimu? Tidak kasihankah Suheng kepada puterimu, setidaknya, kepada namanya?”

Poa Cin An tercengang, lalu menunduk, lalu mengguguk. Sejenak dia tidak mampu bicara, lalu mengangguk-angguk dan menenangkan hatinya dengan tarikan napas panjang.






"Kalian benar, Sute. Maafkan aku …….! Hampir aku tidak dapat menguasai hati dan menyiarkan noda yang mencemarkan nama baik anakku. Aih, Liu In, sungguh malang nasibmu, anakku. Akan tetapi jangan khawatir, ayahmu akan menuntut balas. Jahanam itu akan kubuhuh, kepalanya akan kupakai bersembahyang di depan jenazahmu atau makammu! Jangan khawatir, anakku ……."

Setelah dia mengangkat jenazah puterinya dan membaringkannya di atas dipan, mencabut sepasang pedang itu dan menyelimuti jenazah, mereka bertiga lalu keluar dari pondok dan dengan langkah lebar dan muka tegang mereka menuju ke bangunan pusat Cin-ling-pai.

Di pintu gerbang depan mereka disambut oleh beberapa orang murid Cin-ling-pai yang sedang bertugas jaga. Para murid Cin-ling-pai ini memandang heran melihat sikap tiga orang tamu yang mereka kenal dan mereka hormati sebagai tiga orang diantara para tamu kehormatan, wakil-wakil dari Go-bi-pai. Akan tetapi mereka menyambut dengan ramah.

"Selamat pagi, Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga orang tua gagah). Ada keperluan apakah sam-wi datang berkunjung pagi ini?”

“Laporkan kepada Gouw-pangcu (Ketua Gouw) bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengan dia. Cepat!” bentak Poa Cin An dengan sikap bengis dan marah sehingga mengejutkan tujuh orang murid Cin-ling-pai itu.

Pemimpin para murid yang bertugas jaga itu memberi hormat dan tetap menjawab dengan sikap sopan dan ramah.

"Lo-cian-pwe, saat ini Gouw pancu sedang sibuk menerima kunjungan para wakil Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai. Mereka baru saja masuk dan diterima oleh pangcu di ruangan tamu."

"Kalau para utusan Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai dapat diterima, mengapa kami dari Go-bi-pai tidak? Antarkan kami bertemu dengan dia, atau kami akan masuk sendiri!" kata pula Poa Cin An.

"Sabarlah, Lo-cian-pwe. Kami bukan menolak atau menghalangi, hanya kalau sam-wi masuk sekarang, pangcu kami akan menjadi sibuk sekali dan sebaiknya kalau sam-wi menanti sebentar…..”

"Tidak, kami harus masuk sekarang dan bertemu sekarang juga!"

Para murid itu terkejut. Tadipun mereka sudah dikejutkan oleh sikap para pimpinan Kun-lun-pai yang juga nampak marah, disusul utusan Bu-tong-pai yang juga nampak marah, dan sekarang orang-orang Go-bi-pai ini benar-benar marah sekali. Apa yang telah terjadi? Mereka tidak berani membantah lagi dan mengantarkan tiga orang ini menuju ke ruangan tamu yang amat besar itu.

Ketika memasuki ruangan itu, tiga orang tokoh Go-bi-pai itu melihat bahwa Tiong Gi Cin-jin pemimpin rombongan Bu-tong-pai bersama enam orang murid Bu-tong-pai telah duduk berjajar disitu, demikian pula Yang Tek Tosu bersama tiga orang murid keponakannya, dua diantaranya nampak luka-luka dan dibalut di bagian leher dan dahi. Juga tiga orang tokoh Go-pi-pai itu melihat betapa wajah mereka semua itu nampak tegang dan marah sehingga mudah diduga bahwa pasti telah terjadi hal-hal yang hebat, seperti yang juga mereka alami.

Kiranya wakil ketua Cin-ling-pai, yaitu Gouw Kian Sun, belum keluar menyambut dan para tamu itu baru dipersilakan menanti di ruangan tamu. Hal ini agak mengherankan karena wakil ketua itu tentu sibuk sekali karena dia adalah calon pengantin. Karena mereka sendiripun sedang tegang dan marah, maka mereka hanya mengangguk saja kepada dua rombongan terdahulu, kemudian mereka duduk pula di sebelah kiri, menanti munculnya GouW Kian Suh.

Akhirnya, orang yang dinanti-nanti itupun muhcul dengan sikap tenang dan wajah yang tidak membayangkan kesalahan. Sebagai calon pengantin, pakaiannya baru dan dia nampak gagah. Dia ditemani oleh Ciok Gun, murid Cin-ling-pai yang pandai dan setia, dan yang menjadi pembantu utama wakil ketua Gouw Kian Sun. Pria jangkung inipun nampak tenang saja ketika memasuki ruangan itu.

Melihat para tamu bangkit berdiri dengan sikap marah, Gouw Pangcu memandang heran, akan tetapi dengan ramah diapun menghampiri kursinya, memberi hormat dan mempersilakan para tamunya duduk kembali.

Poa Cin An sudah ingin sekali meneriakkan rasa penasarannya kepada pimpinan Cin-ling-pai itu, akan tettapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang wakil perkumpulan besar yang mengenal aturan, maka sebagai rombongan yang datang terakhir, dia harus bersabar dan mengalah, membiarkan dua rombongan tamu yang datang terlebih dahulu bicara dengan tuan rumah.

“Selamat pagi para Lo-cian-pwe yang terhormat!”

Kata Gouw Kian Sun dengan ramah. Walaupun dia sendiri menghadapi urusan Cin-ling-pai yang amat rumit dan membuat dia selalu gelisah, namun di depan para tamu kehormatan ini dia dapat memperlihatkan sikap ramah.

"Kami harap cu-wi (anda sekalian) dapat beristirahat dengan senang di pondok-pondok yang kami sediakan dan maafkan kalau ada kekurangan……”

"Kami datang bukan untuk bicara tentang itu!" tiba-tiba Yang Tek Tosu pemimpin utusan Bu-tong-pai berkata dengan wajah keruh.

Gouw Kian Sun terkejut dan diam-diam dia menjadi semakin gelisah, tidak dapat menduga atau membayangkan apa yang telah terjadi, akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah Ciok Gun, murid yang dia tahu kini telah menjadi mayat hidup dan menjadi kaki tangan dari orang-orang Pek-lian-kauw di luar kesadarannya itu. Kalau terjadi sesuatu Ciok Gun ini mengetahuinya, pikirnya. Akan tetapi wajah Ciok Gun tetap dingin dan dia duduk membungkam mulut dan matanyapun memandang kosong saja!

Selagi dia hendak bertanya kepada tosu Bu-tong-pai itu, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan.

“Omitohud ……..! Siapa kira Cin-ling-pai menjadi begini?"

Dan muncullah Thian Hok Hwesio, dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang juga menjadi tamu itu. Ketika mereka masuk dan melihat betapa rombongan dari tiga perguruan besar sudah berkumpul disitu pula, Thian Hok Hwesio yang tadi bicara menoleh kepada sutenya dan diapun mengelus jenggotnya yang panjang.

"Omitohud………., kiranya semua orang telah berkumpul disini?"

Kian Sun segera bangkit berdiri, diikuti oleh Ciok Gun dan Kian Sun memberi hormat kepada dua orang hwesio itu.

"Ji-wi Lo-suhu (Dua orang pendeta tua), selamat pagi dan kebetulan sekali ji-wi datang karena agaknya ada yang perlu dibicarakan yang kami belum mengetahui. Silakan ji-wi duduk."

Dua orang hwesio itu membalas penghormatan Gouw Pangcu dan merekapun duduk. Agaknya Gouw Pangcu merasa lega dengan hadirnya dua orang hwesio Siauw-lim-pai ini yang dia tahu pasti akan bertindak adil dan tidak suka menggunakan kekerasan.

Agaknya Yang Tek Tosu yang tadi sudah mulai bicara karena rombongannya yang datang lebih dahulu, kemudian bicaranya terhenti dengan munculnya dua orang hwesio itu, kini tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Dia bangkit berdiri dengan muka merah dan tubuhnya yang jangkung kurus itu agaknya nampak semakin jangkung.

“Gouw Pangcu, kami datang bukan untuk beramah-tamah atau berbasa-basi. Lihat saja keadaan dua orang murid keponakan pinto (aku) ini dan kiranya tidak perlu lagi Pangcu berpura-pura!”

Gouw Kian Sun memandang ke arah dua orang murid Kun-lun-pai yang luka-luka di leher dan dahi itu dan dia kembali memandang kepada Yang Tek Tosu yang masih berdiri.

“Saya melihat bahwa mereka itu menderita luka-luka di leher dan dahi. Akan tetapi, sungguh mati saya tidak tahu mengapa begitu, to-tiang (bapak pendeta). Apakah yang telah terjadi?"

Yang Tek Tosu menahan kemarahannya dan kini dia berjalan mondar-mandir, gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata semua yang hadir, kecuali Ciok Gun yang nampaknya tenang-tenang saja, tidak terkejut dan gelisah seperti Kian Sun.

"Mungkin saja Gouw Pancgu tidak mengetahui apa yang terjadi. Kami sendiri hampir tidak percaya kalau saja kedua orang murid keponakan ini tidak mengalami sendiri. Sejak dahulu Cin-ling-pai terkenal sebagai perguruan besar yang memiliki murid-murid pendekar. Akan tetapi siapa tahu sekarang mempunyai murid-murid yang nyeleweng, jahat dan curang!”

Kian Sun bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah. Dia seorang tokoh Cin-ling-pai yang amat setia dan juga dia sedikitpun tidak mengira bahwa ada murid Cin-Ling-pai yang akan berani berbuat jahat. Bahkan diapun sudah mendapat janji dari Tok-ciang Bi Moli yang menguasai dirinya bahwa wanita itu dan sekutunya tidak akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik Cin-ling-pai. Maka, mendengar tuduhan Yang Tek Tosu, tentu saja dia menjadi terkejut dan juga marah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar