Ads

Rabu, 29 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 29

Hari yang telah dijanjikan Cia Kui Hong kepada para tokoh partai-partai besar itupun tiba. Pagi-pagi sekali, rombongan demi rombongan dari perkumpulan Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai telah mendaki puncak dan menanti di pekarangan depan bangunan yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai.

Sepuluh orang tokoh Go-bi-pai dipimpin oleh Poa Cin An. Yang Tek Tosu memimpin lima orang tosu Kun-lun-pai. Tiong Gi Cinjin memimpin tujuh orang Bu-tong-pai, sedangkan dari Siauw-lim-pai hanya dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Ki Hwesio. Wajah semua orang nampak tegang, juga banyak diantara para mereka yang nampak penasaran dan marah.

Cia Kui Hong juga sudah siap menyambut mereka. Puluhan orang anak buah Cin-ling-pai sudah menerima perintah untuk berbaris rapi di kanan kiri sepanjang pekarangan yang luas itu, dan diberanda juga berdiri murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi, dalam keadaan siap siaga, tinggal menunggu perintah ketua mereka.

Para anggauta Cin-ling-pai yang baru, yaitu anak buah Pek-lian-kauw yang diselundupkan Bi Hwa dan dijadikan anggauta Cin-ling-pai, berkelompok membentuk barisan pula di sebelah kanan kiri pekarangan, bercampur dengan para anggauta Cin-ling-pai yang asli. Kui Hong tahu akan hal ini dan iapun diam saja, pura-pura tidak tahu. Akan tetapi ia yakin bahwa seluruh anggauta Cin-ling-pai yang asli mengenal dan mengetahui nama anggauta baru dan mana yang lama.

Selama dua hari itu, Bi Hwa bersikap ramah dan biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap lain. Hanya Gouw Kian Sun yang nampak gelisah dan tak menentu, sedangkan wajah Ciok Gun tetap dingin dan acuh. Akan tetapi, pada pagi hari itu, Ciok Gun tidak nampak diantara para murid Cin-ling-pai.

Setelah para tamu berkumpul di pekarangan, terdengar suara canang dipukul disebelah dalam dan daun pintu yang tinggi, lebar dan tebal itu dibuka dari dalam. Semua tamu memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dan dari dalam keluarlah Cia Kui Hong, di dampingi Gouw Kian Sun dan Su Bi Hwa.

Kui Hong nampak tenang saja, agung berwibawa. Gouw Kian Sun kelihatan pucat, muram dan gelisah, sedangkan isterinya yang melangkah di sampingnya kelihatan tersenyum-senyum manis sekali, dengan sepasang mata yang lincah.

Setelah tiba di luar, Kui Hong memandang ke kanan kiri, ke arah anak buah Cin-ling-pai dan iapun bertanya kepada mereka yang berdiri di beranda dan yang bersikap hormat kepadanya.

“Dimana suheng Ciok Gun? Kenapa aku tidak melihat dia disini?”

Para anggauta Cin-ling-pai saling pandang dan tidak ada yang tahu. Kui Hong mengerutkan alisnya dan iapun menoleh kepada Gouw Kian Sun.

“Susiok, kenapa aku tidak melihat Ciok-suheng? Dimana dia?”

Kian Sun melirik ke arah isterinya dan dia nampak bingung. Bi Hwa dengan cepat berkata,

“Ah, apa engkau lupa? Pangcu, saya lihat tadi Ciok Gun rebah saja di kamarnya karena dia merasa tidak sehat, demam.”

Kui Hong mengangguk-angguk.
“Ah, kiranya dia sakit.”

Lalu dengan tenang ia melangkah terus menuruni beranda dan berhenti di ujung tangga menghadapi para tamu. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.

“Kiranya cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah sekalian) telah berada disini. Selamat datang dan selamat pagi kami ucapkan.”

“Pangcu, sudah terlalu lama kami menanti. Kami telah memenuhi permintaan Pangcu untuk menanti lagi selama tiga hari. Nah, pagi ini kami datang menagih janji. Serahkan pembunuh puteriku itu kepada kami, dan kami tidak akan mengganggu Cin-ling-pai lebih lama lagi,” kata Poa Cin An.

“Kami juga minta diserahkannya pembunuh dari Gu Kay ek, murid kami!” kata Tiong Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai dengan suara galak.

“Serahkan para murid curang dari Cin-ling-pai kepada kami!” kata pula Yang Tek Tosu.

Hanya dua orang hwesio Siauw-lim-pai yang tidak mengeluarkan ucapan, akan tetapi merekapun memandang kepada Cia Kui Hong dengan sinar mata menuntut. Tuntutan mereka itu mendatangkan kegaduhan karena semua anggauta rombongan itu mengeluarkan suara penasaran.






Cia Kui Hong mengangkat tangan ke atas.
“Harap cu-wi tenang dan dengarkan baik-baik keteranganku. Aku jamin bahwa mereka yang berdosa pasti akan kuserahkan kepada cu-wi!”

Mendengar ucapan ini, tentu saja semua orang tertarik dan merekapun diam, memandang kepada gadis itu dengan sinar mata penuh harap.

“Cu-wi,” Kui Hong berkata, suaranya lantang sekali. “Tiga hari yang lalu ketika cu-wi menuntut, aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akan tetapi selama tiga hari ini aku melakukan penyelidikan dan semuanya kini sudah menjadi terang. Para pembunuh itu sudah berada diantara kita!”

Gouw Kian Sun memandang kepada gadis itu dengan sinar mata kaget dan heran, Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. Semua tokoh persilatan itu makin tegang.

“Ketahuilah, cu-wi yang terhormat. Tidak ada seorangpun diantara murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat, memperkosa dan membunuh itu. Kami Cin-ling-pai telah kebobolan! Empat orang tokoh Pek-lian-kauw bersama dua puluh orang anak buah mereka telah menyusup ke Cin-ling-pai dan menguasai pimpinan selagi aku pergi. Mereka menawan keluarga Cia dan mereka mengancam Gouw Susiok, juga membuat suheng Ciok Gun menjadi boneka hidup dengan bius dan sihir!”

Tentu saja ucapan ini membuat semua orang terkejut bukan main. Wajah Su Bi Hwa berubah pucat, lalu kemerahan. Kian Sun sendiri terbelalak memandang ketuanya, dan wajahnya pucat, sinar matanya penuh kegelisahan karena dia khawatir bahwa pembongkaran rahasia itu akan membahayakan keselamatan nyawa keluarga Cia.

Semua tamu terbelalak dan memandang tidak percaya, bahkan ada yang mengira bahwa gadis yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari alasan kosong untuk menghindarkan Cin-ling-pai dari tuduhan. Para murid Cin-ling-pai juga terkejut dan saling pandang. Dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw meraba gagang senjata mereka. Suasana tegang dan menggelisahkan.

“Sudah kujanjikan akan menyerahkan mereka yang berdosa. Bukan hanya satu orang dua orang, melainkan duapuluh orang anak buah Pek-lian-kauw dengan empat orang pimpinan mereka!”

“Omitohud……, keterangan Cin-ling-pangcu terlalu aneh untuk dapat diterima bagitu saja, Pangcu, tunjukkan mana orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau itu!” kata Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai.

“Tiga orang tosu Pek-lian-kau yang terkenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi sampai sekarang masih bersembunyi, akan tetapi Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah berada disini! Ia memaksa susiok Gouw Kian Sun menjadi suaminya agar ia dapat mengendalikan Cin-ling-pai dari dalam! Inilah ia iblis betina itu!”

Melihat kenyataan betapa ketuanya sudah mengetahui segalanya, timbul bermacam perasaan di dada Gouw Kian Sun. Dia merasa lega karena ketuanya sudah tahu, akan tetapi berbareng gelisah karena keselamatan keluarga Cia terancam. Di samping itu, diapun merasa malu bahwa dia telah dijadikan alat dan terpaksa membantu iblis-iblis itu, dan merasa menyesal mengapa dia tidak dapat menghindarkan diri dari tekanan yang membuat dia berkhianat terhadap Cin-ling-pai. Saking marahnya, tiba-tiba dia berteriak marah dan menyerang “isterinya” yang berdiri di sebelahnya.

“Tok-ciang Bi Moli, aku bersumpah untuk mengadu nyawa denganmu!”

Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah waspada. Tadipun dia sudah tahu bahwa permainannya telah diketahui orang. Akan tetapi ia masih tenang karena ia yakin bahwa keluarga Cia masih ada dalam kekuasaannya, ketua Cin-ling-pai dan semua anggautanya tidak akan berani melawannya.

Begitu melihat Kian Sun menyerangnya, karena ia sudah siap siaga sebelumnya, dengan mudah ia mengelak ke samping dan begitu kakinya menendang, dada Kian Sun tercium ujung sepatunya sehingga tokoh Cin-ling-pai ini hampir terjengkang!

Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tingkat Kian Sun seimbang dibandingkan iblis betina itu dan dia tidak akan mudah di kalahkan. Akan tetapi selama ini, Kian Sun menderita tekanan batin yang hebat, yang membuat dia lemah lahir batin sehingga gerakannya lambat dan kepekaannya berkurang.

Ketika dia dapat menguasai keseimbangannya dan hendak menyerang lagi, Tok-ciang Bi Moli sudah turun dari atas beranda itu, ke sebelah kiri dan ternyata ia telah berada dekat tiga orang tosu yang munculnya dengan tiba-tiba. Melihat tiga orang gurunya sudah berada disitu, muncul dari tempat persembunyian mereka, Su Bi Hwa tertawa bergelak karena hatinya menjadi besar. Suara ketawanya membuat semua orang memandang ngeri karena tawa itu mengandung kekejaman luar biasa.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya Cin-ling-pai masih ada orang yang cerdik. Engkau memang cerdik sekali, Cia Kui Hong. Akan tetapi kecerdikanmu tidak ada gunanya!”

Kui Hong memang sengaja belum turun tangan dan membiarkan saja wanita iblis itu bergabung dengan tiga orang tosu yang sekarang baru dilihatnya. Juga ia melihat betapa dua puluh orang anggauta baru Cin-ling-pai yang sesungguhnya adalah orang-orang Pek-lian-kauw kini telah memisahkan diri dan bergabung pula dengan empat orang pemimpin mereka. Kui Hong tersenyum mengejek.

“Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli! Kedok kalian telah terbuka, dan semua locianpwe yang berada disini sekarang mengetahui siapa yang sesungguhnya melakukan semua kejahatan itu dan berusaha merusak nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi, kenapa kalian melakukan ini? Kenapa kalian berusaha menghancurkan Cin-ling-pai?”

Kembali Su Bi Hwa tertawa,
“Ha-ha-hi-hi-hik, kecerdikanmu masih picik, Pangcu! Sejak dahulu, semua pimpinan Cin-ling-pai selalu memusuhi Pek-lian-kauw. Entah berapa banyaknya anggauta kami yang tewas di tangan orang-orang Cin-ling-pai. Nenek moyangmu adalah musuh-musuh besar kami. Dan sekarang engkau masih bertanya kenapa kami memusuhi Cin-ling-pai?”

“Iblis betina busuk!” Gouw Kian Sun kini membentak lagi. “Engkau dan Pek-lian Sam-kwi harus kubasmi dari permukaan bumi ini!” Diapun sudah mencabut pedangnya.

“Jangan bergerak!” teriak wanita cantik itu. “Ingat, kalau kami diserang, maka semua keluarga Cia akan mampus! Mereka masih berada di tangan kami, dan setiap saat kami dapat memerintahkan Ciok Gun untuk membunuh mereka! Ha-ha-ha, Pangcu. Kunci kemenangan terakhir masih berada didalam tanganku!”

Kini bukan saja Su Bi Hwa yang tertawa, juga tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu tertawa karena mereka merasa yakin akan kemenangan mereka, mereka yang yakin bahwa dengan adanya kenyataan bahwa keluarga Cia masih mereka tawan, orang-orang Cin-ling-pai ini tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap mereka.

Mendengar ini, Kian Sun menahan gerakannya dan wajahnya menjadi pucat kembali. Apakah mereka tetap masih tidak berdaya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?

Akan tetapi, Kui Hong tersenyum lebar.
“Iblis-iblis busuk dari Pek-lian-kauw. Hari kematianmu telah tiba dan kalian masih berani bicara besar?”

Kui Hong menoleh ke kiri dan semua menengok, juga empat orang tokoh Pek-lian-kauw dan duapuluh orang anak buah mereka itu. Dan muncullah Ciok Gun dengan pedang di tangan, bersama empat orang yang bukan lain adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, dan Cia Kui Bu!

Tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik. Hanya Kui Hong seorang tersenyum-senyum karena tentu saja ia telah mengetahui segalanya. Ia bersama Hay Hay telah menjalankan siasat dengan tepat, dan dibantu oleh Ciok Gun dengan baik sekali.

Seperti yang direncanakan, Ciok Gun berhasil membujuk empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu untuk menjaga para tawanan dan kalau perlu membunuh mereka! Oleh karena itu, ketika semua orang Pek-lian-kauw hadir dalam pertemuan antara pimpinan Cin-ling-pai dan para wakil perkumpulan besar yang mendendam, Ciok Gun seorang tidak hadir karena dia bertugas menjaga para tawanan!

Setelah semua orang Pek-lian-kauw pada pagi hari itu pergi meninggalkan sarang rahasia mereka, meninggalkan Ciok Gun seorang diri saja di ruangan tahanan bawah tanah, Ciok Gun lalu membuka pintu tahanan dengan kunci yang dipegangnya.

Melihat masuknya Ciok Gun, kakek Cio Kong Liang yang tadinya duduk bersila dalam samadhi membuka matanya dan memandang kepada cucu murid itu dengan marah.

“Ciok Gun, murid murtad! Dosamu bertumpuk-tumpuk, tidak takutkah engkau menghadapi hukumanmu di neraka kelak?”

Kui Bu juga berdiri di depan Ciok Gun dengan kedua tangan terkepal dan mata mendelik.

“Ciok Gun, aku tidak mangakuimu sebagai suheng lagi! Engkau musuh besar kami, dan kelak kalau aku sudah besar, aku sendiri yang akan membunuhmu untuk membalaskan dendam ini!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar