Ads

Kamis, 30 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 32

Kalau dia mau mengelak saja, belasan batang hui-to (pisau terbang) itu tentu tidak ada yang akan mengenai sasaran. Akan tetapi dia khawatir kalau pisau-pisau itu akan mengambil korban orang-orang yang berada di belakangnya. Maka, cepat Hay Hay mengambil topi capingnya yang lebar dan yang tergantung dipunggung. Dengan caping besar itu dia membuat gerakan seperti sebuah perisai dan semua pisau terbang itu menancap pada capingnya!

“Wah, terima kasih atas sumbanganmu pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru.”

Kembali semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay dan si gendut pendek semakin marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jarang ada orang mampu menghindarkan diri dari serangan tiga belas pisau terbangnya itu. Dan kini, semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah caping!

Dengan marah dia menggerakkan kepalanya dengan goyangan beberapa kali dan rambutnya yang digelung itu terlepas dan terurai. Kini, dia menyerang lagi dengan golok besarnya, dan rambutnya ikut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya. Serangan rambut itu tidak kalah bahayanya dengan serangan golok besar ditangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk memenangkan pertandingan ini.

Terkejut dan kagum juga Hay Hay ketika dia mengelak dari sambaran golok besar, tiba-tiba segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya! Rambut yang penuh uban, kaku dan berbau apak! Dia tahu bahwa senjata istimewa itu tidak boleh dipandang ringan, karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, kini rambut yang menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya sekali.

Hay Hay melangkah mundur, akan tetapi gumpalan rambut itu mengejar terus dengan bertubi-tubi. Ketika Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu, golok besar menyambar ke arah lengannya yang sudah terbelit rambut.

“Hemmm …..!”

Hay Hay menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangan yang terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya sekali.

“Ihh, kodok tua. Rambutmu apak menjijikkan!” katanya dan melihat banyak senjata berserakan diatas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang.

Golok menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu sudah menyambar lagi. Hay Hay cepat memantulkan pedang yang bertemu golok dan memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri.

“Brettt!”

Sebelum Siok Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu.

“Heiii, siapa mau membeli ekor babi?”

Dia menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi penonton. Semua orang menyambutnya dengan gelak tawa karena mereka semua merasa senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang lihai itu.

Siok Hwa Cu hampir meledak saking marahnya ketika rambutnya dibuntungi lawan. Dia menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan marah sekali.

“Haiiii, sayang luput!” kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas.

Siok Hw Cu mengejar dengan goloknya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian ketika golok menyambar lewat di bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok, seperti seekor burung hinggap diatas ranting saja! Semua orang menahan napas saking kagum dan juga khawatir. Pemuda itu sungguh amat berani mempermainkan lawannya yang demikian berbahaya.

Melihat pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ke arah kaki, akan tetapi kini Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu! Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi.

Sepasang mata Siok Hwa Cu terbelalak. Kalau tidak merasa malu, tentu dia sudah menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, seperti ditindih batu yang beratnya ratusan kati! Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu Hay Hay menotok pundaknya dan lengan kanannya terasa lumpuh.

Hay Hay meloncat turun, berjungkir balik dan begitu dia menampar dengan tangan ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, golok itupun terlepas dan jatuh ke atas tanah.

Kembali semua orang bersorak dan tertawa. Hay hay tersenyum dan menengok. Dia melihat betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton disitu sambil tersenyum. Juga para tokoh Cin-ling-pai berdiri dan menjadi penonton.

Kiranya pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai sudah berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi tontonan!

Hay Hay memang berwatak gembira, jenaka dan nakal. Sama sekali bukan karena kesombongan atau mencari pujian kalau dia mempermainkan lawannya, melainkan karena dia hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini.

Dia sama sekali tidak tahu betapa diantara para penonton, terdapat beberapa penonton yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka itu adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak. Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh, tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong itu.






Kui Hong yang sudah mengenal watak pemuda itu, hanya tersenyum saja melihat kenakalan Hay Hay. Ia tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan dan menghukum tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka, iapun diam saja dan hanya menonton.

Seluruh anak buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas di tangannya. Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua, tewas di tangan suaminya. Kini diantara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi, yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay.

Seluruh anggauta Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton perkelahian yang lucu dan menarik itu. Bahkan mereka yang terluka seperti mendapat hiburan segar.

Siok Hwa Cu juga maklum bahwa nyawanya terancam bahaya dan bahwa dia dipermainkan pemuda itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan kini golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan sin-kangnya dan dalam keadaan putus asa dan marah dia menjadi nekat. Dia merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru sambil memencet hidung dengan tangan kananya.

“Hai, kodok buduk, kalau kau mau buang air besar jangan disini! Kotor dan bau menjijikkan!”

Tentu saja para anggauta Cin-ling-pai tertawa mengejek mendengar itu dan muka Siok Hwa yang memang sudah hitam itu menjadi semakin hitam karena marahnya. Apalagi melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa yang dilakukan pemuda lawannya yang lihai itu.

“Jahanam sombong, engkau atau aku yang mati!” bentaknya dan ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara berkokokan, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay.

“Kok-kok-kokk!” Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan.

Hay Hay yang ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu, dia juga berjongkok dengan pantat di tonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goyang, kedua tangan didorongkan ke depan dan diapun mengeluarkan suara seperti lawannya.

“Kok-kok-kokk!”

Diam-diam Siok Hwa Cu terkejut karena mengira bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa lucu sekali oleh mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang laga.

“Dukk!!”

Dua pasang telapak tangan saling bertemu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya, tubuh Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri. Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang untuk melawan serangan orang itu. Dan karena memang tenaga sinkangnya jauh lebih kuat, tentu saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling.

Kalau Hay Hay menghendaki, dalam adu sinkang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya. Akan tetapi dia belum merasa puas, hendak mempermainkan lawan sampai lawan mengaku kalah atau menyerah.

“Hei, katak buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!”

Akan tetapi Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan Cin-ling-pai, sudah pasti dia akan dibunuh juga, mengingat bahwa kesalahannya terhadap Cin-ling-pai amat besar. Daripada mati dihukum oleh para pimpinan Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini.

“Sampai matipun aku tidak sudi minta ampun!”

Bentaknya dan kembali ia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan seluruh sinkangnya dan menyalurkannya ke arah kepalanya!

“Heii, mau berak lagi?”

Hay Hay mengejek dan banyak orang tertawa. Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk.

Hay Hay melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala untuk menyerangnya! Diapun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu dengan perutnya!

“Capp!”

Kepala itu menusuk ke perut Hay Hay dan semua orang terbelalak khawatir akan keselamatan pemuda yang berani itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay.

Hay Hay menotok kedua pundaknya sehingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya saja yang bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke dalam lumpur yang mendidih panas!

“Pergilah!”

Hay Hay mengerahkan sinkangnya dan menendang kepala itu dengan kekuatan perutnya. Tubuh Siok Hwa Cu terlempar kebelakang dan terbangting keras ke atas tanah.

Tosu Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya kepada tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir.

“Krekkk!” Jari-jari tanganya masuk ke dalam kepalanya dan diapun tewas seketika.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar