Ads

Jumat, 31 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 38

Demikianlah dongeng yang kini seolah terbayang di dalam benak Hay Hay. Dia memejamkan mata, tersenyum dan mengangguk-angguk. Kehendak Tuhan jadilah, demikian bisik hatinya. Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia, merupakan suatu kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih.

Manusia wajb berikhtiar dengan cara yang benar untuk mempertahankan hidupnya, bahkan untuk menikmati hidupnya. Namun, hasil atau gagalnya ikhtiar itu, hanya Tuha yang menentukannya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan! Kalau kita anggap peristiwa yang menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih sayang Tuhan. Kalau kita anggap menyusahkan, kita tidak perlu mengeluh, melainkan menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa apa yang terjadi sudah kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada hikmahnya. Mungkin merupakan hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin merupakan cobaan atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya harus bersyukur dan menyerah kepada Tuhan Maha Kasih!

Hay Hay tertawa-tawa, mentertawakan kebodohannya sendiri. Pikiran ini hanya alat, kenapa kita suka mempergunakannya untuk mengenangkan dan membayangkan hal-hal yang lalu dan yang akan datang, hanya untuk menimbulkan rasa duka dan ketakutan? Kenapa kita tidak mempergunakan alat ini untuk hal-hal yang bermanfaat, sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang bermanfaat pula?

“Ha-ha-ha, dasar otak udah kau, Hay Hay?” katanya sambil tertawa dan sekali lagi dia membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ke lehernya!

Ketika dengan terengah-engah dia mengeluarkan lagi kepalanya dari dalam air, dengan rambut basah kuyup menutupi sebagian mukanya, dan air menetes-netes dari hidung dan dagunya, ia mendengar suara ketawa di belakangnya. Suara tawa merdu seorang wanita! Kalau saja dia tidak membenamkan kepalanya ke dalam air tadi, tentu dia akan tahu ketika wanita itu datang kesitu. Akan tetapi, tadi kedua telinganya tertutup air sehingga tahu-tahu ada wanita di belakangnya tanpa dia ketahui. Dia menengok dan memandang dengan mata terpentang lebar dan mulut ternganga.

Wanita itu makin geli tertawa, menutupi mulut dengan jari tangan akan tetapi celah-celah jari tangan masih memperlihatkan bibir yang merah, gigi berkilat putih dan rongga mulut yang merah dengan lidah yang jambon. Hidung kecil mancung itu bergerak-gerak ketika ia tertawa. Lucu sekali!

“Hi-hi-hik, lucunya….. heh-heh….. kau mirip kura-kura yang baru nongol dari dalam air, hi-hi-hi…..!”

Hay Hay ikut tertawa dan menyingkap rambut yang menutupi mukanya. Dengan kepala dan muka basah kuyup seperti itu, memang mungkin sekali dia nampak seperti kura-kura. Ketika dia menyingkap rambutnya, wanita itu ternganga.

“Ihh…., kau….. kau seorang pemuda yang tampan kiranya….” ia berkata lirih. “Kusangka tadi seorang dari kampungku…… maafkan,” akan tetapi kembali wanita itu tersenyum lebar dengan hati yang masih merasa geli.

“Nona, mengapa engkau mentertawaiku?” Hay Hay bertanya.

“Engkau yang aneh. Kenapa engkau membenamkan kepalamu ke dalam air sampai lama benar? Itu namanya mandi bukan, mencuci muka juga bukan. Apa sih yang kau lakukan tadi?”

Hay Hay mengusap mukanya yang basah. Kini mukanya tidak tertutup air, dan dia dapat memandang dengan jelas, dapat melihat sepenuhnya kepada wanita muda yang berdiri di depannya. Seorang gadis yang belum dua puluh tahun usianya. Pakaiannya memang sederhana seperti gadis dusun, akan tetapi wajahnya! Wajah tanpa bedak gincu itu bagaikan setangkai bunga hutan yang amat indah segar seperi selalu mandi air embun. Sejenak dia terpesona.

“Heiii! Kenapa diam saja, bengong seperti ikan? Kutanya apa yang kau lakukan tadi!”

Gadis itu berkata lagi, semakin geli. Aduh, mana cantik manis masih lincah genit menggemaskan lagi!

“Aku tadi mengintai ikan!” jawabnya sambil tersenyum dan timbul kenakalannya melihat sikap yang wajar dan berani dari gadis dusun itu.

“Mengintai ikan?” sepasang mata yang indah itu melebar.

Hay Hay mengangguk, senyumnya semakin cerah dan lupalah dia sudah betapa sejam yang lalu dia masih tenggelam dalam duka! Pikiran memang seperti ombak lautan, sebentar ke kanan sebentar ke kiri, menjadi permainan suka-duka yang ditimbulkan kenangan masa lalu dan bayangan masa depan.






“Ya, mengintai ikan yang sedang pacaran!”

Sepasang mata indah itu semakin melebar. Jeli dan indahnya!
“Ikan…. Pacaran? Ikan apa itu?” Gadis itu bertanya, tertarik sekali akan tetapi juga tidak percaya.

“Entah ikan apa, akan tetapi yang betina cantik bukan main,” kata Hay Hay sambil mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kaki. “Ikan betina itu bertubuh ramping padat, mukanya cantik manis dengan sepasang mata bintang, hidunya kecil mancung, mulutnya…. hemmm, bibir kecil merah seperti mencibir, giginya putih mengkilap, dagunya runcing dan ada lesung di sebelah kiri mulutnya, lehernya panjang seperti tangkai bunga teratai, kulitnya putih halus mulus dan segar, sisiknya berwarna hijau muda, rambutnya dihias ukiran perak berbentuk bunga mawar…..”

Gadis itu memandang ke arah bajunya yang hijau muda, tangannya meraba rambut dimana terdapat hiasan perak berbentuk mawar.

“Ehh? Seperti aku…..?” tanyanya dan tahulah Hay Hay bahwa gadis manis ini agak bodoh. “Bagaimana yang jantan?” tanya pula gadis itu.

Hay Hay tersenyum. Sukar membayangkan gadis manis ini berpacaran dengan orang lain, kecuali dengan dia.

“Yang jantan? Aih, buruk sekali….”

“Kalau begitu ikan itu aku!” gadis itu berkata lagi.

Kini Hay Hay yang menjadi heran, akan tetapi sebelum dia berkata sesuatu, nampak seorang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat mereka. Dia mengangkat muka memandang dan gadis itupun menoleh. Ketika melihat laki-laki yang sudah lari mendekat itu, si gadis lalu menyongsongnya dan merekapun bertemu dan berpelukan!

“Koko, engkau menyusul…..?”

“Ya, akan kubantu engkau mencuci pakaian, Moi-moi!” kata laki-laki itu sambil merangkul leher.

Dan Hay Hay terbelalak. Laki-laki itu seorang pemuda yang sebaya dengan dia, usianya sekitar lima puluh tahun, tubuhnya pendek sehingga kalah tinggi sedikit bila dibandingkan gadis itu, dan mukanya kehitaman, biarpun tidak buruk sekali akan tetapi jauh daripada tampan. Cukup jelek dengan mata yang sipit sekali, hidung besar mekar, mulutnya juga lebar dengan bibir tebal. Akan tetapi pakaiannya mentereng dan gerak-geriknya kuat namun lembut.

“Moi-moi, dengan siapa engkau bercakap-cakap tadi? Siapakah pemuda ini?”

Si pendek itu memandang kepada Hay Hay dengan heran, akan tetapi sedikitpun tidak kelihatan marah.

“Aih, dia?” Wanita itu terkekeh genit. “Dia lucu sekali, Koko. Dia tadi membenamkan kepala di air, katanya sedang mengintai ikan, hik-hik! Dan ikan betinanya seperti aku, jantannya seperti engkau, heh-heh!”

Mendengar ucapan gadis itu, mau tidak mau Hay Hay tertawa geli.
“Ha-ha-ha-ha, benar sekali ……!” katanya. Kini dia tahu bahwa gadis itu biarpun cantik manis sekali, akan tetapi juga bodoh!

Pria itu juga tersenyum.
“Hemm, kiranya engkau bertemu dengan seorang yang miring otaknya, Moi-moi. Mana ada orang mengintai ikan dan mana ada ikan mirip manusia? Tentu kepalanya panas maka dia membenamkan kepala di dalam air.”

Kemudian dia menghampiri Hay Hay dan melihat sebuah batu besar didekatnya, pria itu lalu menggerakkan tangannya ke arah batu.

“Plakkk!”

Ketika tangan itu diangkatnya, di batu tadi nampak bekas telapak tangan yang tertinggal di batu, ada dua sentimeter dalamnya! Kiranya pria itu memiliki tenaga yang cukup hebat, pikir Hay Hay kagum.

“Saudara yang baik,” kata pria itu dengan suara tenang dan sabar. “Aku hanya ingin mengatakan bahwa amat merugikan diri sendiri kalau seorang pria suka mendekati isteri orang lain.”

“Aku tidak mendekati…. ohhh, kau mau katakan bahwa gadis ini isterimu?” Hay Hay terbelalak.

Pria pendek itu mengangguk.
“Ia isteriku, kami pengantin baru, belum ada sebulan kami menikah. Ia cantik manis sekali, bukan? Ia kembangnya kampung kami.”

Hay Hay menutup mulutnya yang tadi ternganga, dan menelan ludah.
“Isterimu….? Sungguh tak kusangka….. ia memang cantik jelita dan pantas menjadi kembang kampung, dan engkau…. Hemmm……” Hay Hay meraba dagunya dan tidak bermaksud menghina, “terpaksa kukatakan bahwa engkau tidak terlalu tampan.”

Pria itu tidak marah, bahkan tertawa sehingga nampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi.

“Ha-ha-ha, katakan saja aku buruk rupa, sobat! Memang aku jelek dan ia cantik. Isteriku merupakan kembag di kampung kami, yang paling cantik. Dan ia telah memilih diriku, memilih yang paling baik!”

“Ehh? Kau mau bilang bahwa engkau yang paling tampan di dusunmu?” Hay Hay bertanya, tidak percaya.

“Bukan paling tampan, akan tetapi paling baik! Aku pemuda yang paling kaya, paling terpelajar, paling pandai, paling kuat di dusun kami. Otakku paling terang. Dan isteriku ini gadis yang paling cantik pula di dusun. Keburukan rupaku tidak mengapa karena isteriku cantik, dan kebodohan isteriku juga tidak mengapa karena aku pandai. Nah, bukankah kami merupakan pasangan yang paling serasi? Kami pasti akan mempunyai anak-anak yang paling hebat!”

“Hemm, mengapa begitu?”

Hay Hay bertanya, menahan perasaan geli hatinya. Orang ini memang agaknya pintar, walaupun terlalu menonjolkan bagian yang baik dari dirinya.

“Mengapa? Wah, engkau seperti isteriku, termasuk yang kurang cerdik sehingga tidak mampu menangkap inti sari pertanyaanku tadi. Sobat, tentu saja anak-anak kami yang paling hebat karena mereka akan mewarisi keelokan wajah isteriku dan mewarisi kecerdasan dari otak dariku, ha-ha-ha!” Dan si pendek itu dengan tangan kirinya menyambar keranjang cucian isterinya, tangan kanan menggandeng isterinya dan berkata, “Mari, isteriku yang tercinta, kita mencuci ditempat lain.”

“Marilah, suamiku tersayang!” kata sang isteri bersikap manja.

Mereka pergi, bergandeng tangan mesra, diikuti pandang mata Hay Hay yang masih bengong. Setelah mereka lenyap disebuah tikungan, barulah Hay Hay tertawa bergelak, bahkan tertawa sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perutnya.

“Aduh, Hay Hay, lihat betapa lucunya di dunia ini! Dunia ini seperti panggung sandiwara dan manusia-manusia menjadi pelawaknya! Ha-ha-ha-ha….., pergilah semua duka nestapa, pergilah semua kecewa dan penasaran! Hidup ini masih terlalu indah untuk disusahkan, ha-ha-ha!”

Dan membayangkan kembali suami isteri yang aneh tadi, Hay Hay terus tertawa. Apalagi ketika dia membayangkan mereka dengan anak-anak mereka, tawanya makin terbahak.

“Ha-ha-ha-he-he…… anak-anak mereka….. ha-ha-ha-ha, aduh, anak-anak mereka ternyata mewarisi wajah ayahnya dan otak ibunya! Ho-ho-ha-ha-ha……!”

Hay Hay terpingkal-pingkal sampai tubuhnya terlipat dan dia memegangi perutnya. Akan tetapi wajah anak-anak yang seperti si pendek tadi dengan sinar mata bodoh terus membayanginya sehingga sukar baginya untuk menghentikan tawanya.

**** 38 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar