Ads

Senin, 03 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 42

Ketika perahu sudah tiba di dekat pantai, orang berkedok itu berdiri, mencengkeram punggung baju Cang Sun dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke darat. Gerakannya demikian ringan dan tangannya bergitu kuat sehingga Cang Sun mengerti bahwa dia terjatuh ke tangan orang yang lihai sekali, yang membawanya meloncat dari perahu ke darat seperti membawa benda yang amat ringan saja!

Akan tetapi begitu dia mendarat, terdengar bentakan merdu dan nyaring keluar dari balik semak-semak.

“Penculik jahat, lepaskan dia!”

Dan muncullah seorang wanita cantik. Begitu muncul, wanita itu bergerak cepat bukan main, tubuhnya seperti terbang saja menyerang ke arah pria berkedok yang menjadi terkejut.

“Ihhh ….!” Pria berkedok itu menangkis dan terhuyung ke belakang.

Wanita itu lalu menggerakkan tangannya, membebaskan totokan Cang Sun dengan beberapa kali tusukan jari tangan dan tepukan. Cang Sun mampu bergerak dan bersuara lagi. Akan tetapi dia tidak sempat bicara karena orang berkedok itu kini telah menyerang si gadis cantik dengan pukulan-pukulan dahsyat. Namun, wanita itu dengan tenang menyambut serangan itu, mengelak atau menangkis dan membalas tidak kalah cepat dan kuatnya.

Cang Sun yang sudah bebas mendapat kesempatan untuk memperhatikan penolongnya. Wanita itu memang cantik sekali, cantik dan manis dengan wajah lonjong, wajahnya cerah dengan senyum selalu membayang di mulutnya, matanya jeli dan sinarnya tajam.

Perkelahian itu berlangsung seru. Cang Sun diam-diam merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan kalah. Tempat itu amat sunyi sehingga dia tidak minta tolong orang lain. Akan tetapi, kekhawatirannya itu tidak perlu. Kini dia melihat betapa wanita cantik itu mendesak si penculik, Cang Sun menjadi kagum.

Wanita cantik itu mengingatkan dia kepada Kui Hong! Seperti juga ketua Cin-ling-pai itu, gadis ini cantik manis dan memiliki ilmu kepandaian yang lihai! Dan gadis itu kini mati-matian menolong dan membelanya dari ancaman si penculik yang jahat dan kejam.

“Penjahat yang keji, buka kedokmu dan berlutut minta ampun, baru aku akan mengampunimu!” terdengar wanita gagah itu berseru.

Seorang pendekar wanita, pikir Cang Sun. Seorang pendekar wanita yang berbudi. Akan tetapi penculik itu agaknya tidak mau membuka kedoknya, bahkan menyerang semakin ganas.

“Bagus, engkau memang jahat dan harus dihajar!”

Wanita itu berseru lagi sambil mengelak dan balas menyerang. Kembali mereka saling serang, sedemikian cepatnya sehingga sukar bagi Cang Sun untuk dapat mengikuti gerak mereka.

“Plakk!”

Tiba-tiba si penculik itu terhuyung ke belakang, agaknya terkena tamparan pada pundaknya. Dia mengaduh, terhuyung dan sebelum pendekar wanita itu sempat menyerang lagi, si penculik sudah meloncat jauh dan melarikan diri!

“Keparat, hendak lari kemana kau?” bentak gadis itu dan hendak mengejar, akan tetapi Cang Sun cepat mencegahnya.

“Lihiap, harap jangan kejar dia!”

Gadis itu tidak jadi mengejarbya, membalik dan menghadapi Cang Sun.
“Kenapa kongcu? Kenapa aku tidak boleh mengejarnya?” tanyanya dan ketika dia bicara, nampak kilatan giginya yang putih, menambah kecantikannya.

“Dia sudah lari dan berbahaya mengejar penjahat yang melarikan diri. Pula, dia tidak menyakiti aku dan……”

Pada saat itu, muncul seorang pemuda dari lain jurusan, seorang pemuda yang tampan dan gagah.

“Bi-moi (Adik Bi), apa yang terjadi?” tanya pemuda itu dan melihat kemunculannya yang tiba-tiba, Cang Sun dapat menduga bahwa pemuda inipun seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi.






“Aih, Ki-koko (Kakak Ki), engkau baru tiba? Baru saja aku menolong kong-cu ini dari tangan seorang penculik jahat. Dia melarikan diri!”

“Kemana dia lari?” tanya pemuda itu.

Wanita itu menunjuk ke arah larinya penculik tadi dan tanpa menanti wanita itu bicara, pemuda gagah tadi sudah meloncat dan melakukan pengejaran. Cang Sun kagum dan bertanya kepada gadis itu.

“Lihiap, siapakah orang gagah tadi?”

“Dia adalah kakakku, Kong-cu.”

“Ahhh! Sungguh mengagumkan sekali kalian kakak beradik yang gagah perkasa. Dan engkau telah menyelamatkan nyawaku, lihiap. bolehkah aku mengetahui siapakah nama lihiap dan siapa pula nama kakakmu tadi?”

“Kami she Liong, Kongcu. Nama kakakku Liong Ki dan namaku sendiri Liong Bi. Kami datang dari selatan dan baru beberapa hari berada di Nan-king. Hari ini kami berpesiar di danau ini dan tadi kami berpisah karena kakakku hendak membeli minuman, dan aku kebetulan melihat Kongcu diculik orang jahat berkedok tadi. Siapakah Kongcu dan mengapa pula Kongcu diculik penjahat tadi?”

“Liong-lihiap (Pendekar Wanita Liong), terimalah hormatku dan ucapan terima kasihku,” kata Cang Sun sambil memberi hormat yang cepat dijawab oleh Liong Bi. “Namaku Cang Sun dan penculik tadi menculikku untuk minta uang tebusan, begitu menurut ancamannya tadi. Kalau dalam waktu duapuluh empat jam ayahku tidak memberi uang tebusan seribu tail, dia akan mnyiksa dan membunuhku.”

“Cang Kongcu, she (nama keturunan) Kongcu mengingatkan aku akan seorang pembesar yang amat terkenal, yaitu Menteri Cang Ku Ceng. Apakah barangkali Kongcu masih ada hubungan keluarga dengan Cang Taijin…..”

“Aku puteranya.”

“Aihhh …..!” Gadis itu cepat-cepat memberi hormat yang dibalas oleh Cang Sun. “Maafkan aku, Kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, maka aku bersikap kurang hormat kepada putera Menteri Cang yang terkenal di seluruh penjuru. Beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Kongcu!”

“Hemm, lihiap terlalu merendahkan diri. Ayahku memang seorang menteri yang terkenal, akan tetapi aku ini hanya anaknya yang tidak memiliki kemampuan apapun.”

“Sekarang aku tidak merasa heran mengapa ada penjahat yang hendak menculikmu, Kongcu. Selain untuk mencari uang tebusan, tentu penjahat itu pernah sakit hati terhadap ayahmu yang terkenal keras terhadap para penjahat. Akan tetapi yang membuat aku merasa heran, mengapa Kongcu bepergian seorang diri tanpa pengawal? Itu dapat berbahaya sekali!”

“Hemmm, apa sih bahayanya? Aku orang biasa, dan selama ini belum pernah aku mengalami gangguan, baru tadi. Mungkin penjahat itu agak miring otaknya……”

“Aih, jangan berkata demikian, Cang-kongcu! Andaikata Kongcu sendiri tidak atau belum memiliki kedudukan tinggi dan nama yang terkenal, Kongcu tidak boleh lupa bahwa Kongcu putera seorang menteri yang amat terkenal! Karena itu, seyogyanya Kongcu menjaga diri dengan pengawalan, karena kalau terjadi sesuatu terhadap diri Kongcu, tentu ayah Kongcu juga ikut merasa berduka dan menyesal.”

Pada saat itu, pemuda tampan gagah tadi datang berlari seperti terbang cepatnya dan gadis cantik itu menyongsongnya.

“Bagaimana, Koko, berhasilkah engkau mengejar penjahat tadi?”

Pemuda itu menggeleng kepalanya.
“Aku tidak menemukan lagi bayangannya, dan tidak ada orang lain yang melihat orang berlari kesana.” Pemuda itu memandang kepada Cang Sun. “Bagaimanapun juga, masih untung bahwa penjahat itu tidak melukai saudara ini ….”

“Koko, kongcu ini adalah Kongcu Cang Sun, putera dari Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal itu.”

Pemuda tampan itu nampak terkejut, dan cepat dia memberi hormat kepada Cang Sun.
“Maaf, karena tidak tahu maka aku bersikap kurang hormat, Cang-kongcu.”

Cang Sun memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengan gadis itu, wajahnya tampan tubuhnya sedang namun tegap, dan sikapnya sopan, bicaranya lembut dan halus pula, tanda bahwa pendekar ini selaIn lihai ilmu silatnya, juga mengenal tata-susila.

“Liong-taihiap …. (pendekar besar Liong).”

Pemuda yang tadi di perkenalkan oleh gadis itu bernama Liong Ki cepat memberi hormat.

“Jangan sebut aku taihiap, Kongcu. Namaku Liong Ki, sebut saja namaku.”

Cang Sun semakin kagum dan senang.
“Baiklah, saudara Liong Ki, dan engkau nona Liong Bi. Aku sungguh berterima kasih sekali dan merasa berhutang budi kepada kalian. Entah bagaimana aku dapat membalas budi kebaikan kalian. Kalau kalian tidak berkeberatan, aku mengundang kalian untuk datang ke rumah, agar aku dapat mengajak kalian makan minum dan kuceritakan peristiwa tadi kepada ayahku.”

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang, dan Liong Ki yang berkata,
“Sesungguhnya kami sama sekali tidak mengharapkan balas jasa, Cang Kongcu. Menolong sesama hidup yang sedang berada dalam kesukaran merupakan kewajiban kami. Akan tetapi, kami tidak berani menolak undangan Kongcu dan kami merasa gembira dan terhormat sekali.”

“Juga kami harus mengawal Kongcu sampai kerumah, karena siapa tahu penjahat tadi masih penasaran dan akan muncul lagi mengganggu Kongcu,” kata Liong Bi.

Mereka lalu kembali ke Nan-king dan diam-diam Cang Sun merasa senang sekali. Bairpun baru saja dia terbebas dari ancaman maut, kini bersama kakak beradik yang lihai itu, dia merasa aman dan terjamin keselamatannya!

Setibanya dirumah, Cang Sun lalu memerintahkan para pelayan untuk menyediakan hidangan yang serba mahal dan lezat untuk menjamu kakak-beradik itu. Ayahnya masih belum pulang, maka dia mengajak dua orang penolongnya untuk makan minum.

Dua orang muda itupun tidak sungkan-sungkan lagi sehingga hubungan mereka menjadi akrab. Apalagi ketika Cang Sun mendapat kenyataan betapa Liong Ki memang memiliki pandangan luas, bahkan tidak asing pula dengan sastra. Mereka makan minum dengan asyik sekali.

“Sekali lagi kuulangi bahwa aku berterima kasih kepada kalian. Kalau saja aku dapat membantu kalian untuk sekedar membalas kebaikan itu, aku akan merasa gembira sekali.”

Liong Ki tersenyum.
“Kongcu, sudah kami katakan tadi bahwa kami tidak mengharapkan balasan karena perbuatan kami itu sudah menjadi kewajiban bagi para pendekar.”

“Tapi, Koko, siapa tahu Cang Kongcu dapat membantu kita? Bukankah kita jauh-jauh datang ke Nan-king untuk mencari pekerjaan?” kata Liong Bi.

“ahh, Bi-moi, kita tidak boleh merepotkan Cang-kongcu!” tegur kakaknya.

Wajah Cang Sun berseri.
“Ah, kalian membutuhkan pekerjaan? Ceritakan, pekerjaan apa yang kalian butuhkan, tentu aku akan membantu kalian!”

Liong Ki menghela napas panjang.
“Sesungguhnya kami tidak ingin merepotkan Kongcu, akan tetapi karena adikku sudah lancang bicara, biar kami ceritakan kepada Kongcu keadaan kami. Kami kakak-beradik tinggal diselatan, di lembah Sungai Yang-cee yang berada diperbatasan Propinsi Secuan dan Hupek. Dusun kami ditepi sungai mengalami kebanjiran hebat sehingga ludeslah seluruh milik kami. Kami sudah yatim piatu, maka kami mengambil keputusan untuk mengembara. Bersama tunangan saya yang bernama Mayang, kami bertiga lalu melakukan perjalanan ke Nan-king untuk mencari pekerjaan.”

“Hemm, dimana tunanganmu itu, saudara Ki Liong? Kenapa tidak ikut dengan kalian kesini?”

“Ia tinggal di rumah penginapan karena merasa kurang enak badan tadi,” jawab Liong Bi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar