Ads

Senin, 03 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 43

“Ah, begitukah? Nah, sekarang katakan, pekerjaan macam apa yang kalian perlukan. Mungkin aku dapat membantu kalian.”

“Kongcu, kami tidak memiliki kepandaian lain kecuali ilmu silat. Juga tunanganku seorang ahli ilmu silat. Maka, tidak ada lain pekerjaan yang lebih cocok bagi kami bertiga kecuali menjadi pengawal. Akan tetapi kami tidak ingin menjadi perajurit. Kami ingin menjadi pengawal hartawan yang dermawan, atau pejabat yang bijaksana, keluarga orang berpangkat yang berbudi luhur dan….”

“Aih, kalau begitu, kalian bertiga bekerja disini saja, membantu keluarha kami!” Cang Sun berseru girang. “Saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal kami, mengawal ayah sebagai pengawal pribadi, atau menemani aku sebagai kawan dan merangkap pengawal. Sedangkan nona Liong Bi dan tunanganmu itu dapat menjadi pengawal keluarga ayah, menemani ibu kalau bepergian sambil menjaga keselamatannya….”

“Aduh, terima kasih sekali, Kongcu!”

Liong Bi berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegirangan, senyumnya manis bukan main.

“Ah, jangan tergesa-gesa, Bi-moi. Setidaknya, Cang-kongcu harus memberitahukan orang tuanya untuk mendapat ijin mereka,” kata Liong Ki.

Pada saat itu, seorang pelayan masuk memberi laporan kepada Cang Sun yang sudah memesannya tadi, bahwa ayahnya baru saja pulang dan berada di ruangan dalam bersama ibunya.

“Laporkan bahwa aku akan menghadap ayah dan ibu bersama dua orang tamu yang penting, yaitu dua orang sahabatku!” kata pemuda bangsawan itu.

Pelayan segera pergi melaksanakan perintahnya dan tak lama kemudian datang lagi memberi laporan bahwa Menteri Cang Ku Ceng dan isterinya telah siap menerima Cang Sun dan dua orang sahabatnya.

Biarpun Liong Ki dan Liong Bi merupakan dua orang yang berkepandaian tinggi, namun sekali ini mereka merasa tegang dan jantung mereka berdebar keras ketika mereka mengikuti Cang Sun untuk menghadap Cang-taijin. Nama besar Menteri Cang itu mempunyai wibawa yang amat kuat!

Akan tetapi ketika dua orang kakak-beradik itu berhadapan dengan Menteri Cang, mereka merasa kagum dan hati mereka terasa tenang. Pembesar yang amat terkenal itu memang kelihatan amat menyeramkan, tinggi besar dan brewok, dan masih nampak kuat dan gagah walaupun usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu dapat menjadi lembut dan suaranya halus ramah ketika dia bicara.

“Ayah dan Ibu, dua orang kakak-beradik Liong Ki dan Liong Bi ini saya ajak menghadap Ayah dan Ibu karena kalau tidak ada pertolongan mereka berdua ini, mungkin sekali saya telah dibunuh orang.”

Tentu saja ucapan ini mengejutkan ayah bundanya. Cang sun segera menceritakan pengalamannya ketika dia berperahu seorang diri di danau.

Mendengar semua ini, Menteri Cang Ku Ceng mengerutkan alisnya yang tebal, dan sepasang matanya mengamati kedua orang kakak-beradik itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat Liong Ki dan Liong Bi merasa tidak enak duduk. Sinar mata itu seolah-olah menembusi dada mereka dan menjenguk isi hati!

Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan muncullah dua orang gadis yang cantik jelita ke dalam ruangan itu. Mereka itu adalah Cang Hui dan adik misannya, Teng Cin Nio. Kalau Cang Hui masuk dengan sikap bebas, sebaliknya Cin Nio nampak ragu dan sungkan. Bahkan setelah masuk, Cin Nio memandang ke arah paman bibinya, lalu berkata lirih,

“Nah, Enci Hua, apa kataku tadi, kita mengganggu paman dan bibi yang sedang menerima tamu!” Ia lalu memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, dengan sikap hormat berkata, “Mohon maaf kepada Paman dan Bibi kalau saya mengganggu.”

“Tidak mengapa, Hui-ji (anak Hui) dan Cin Nio, kalian duduklah. Kami sedang mendengarkan cerita kakak kalian yang mengejutkan. Dia baru saja diculik pembunuh dan diselamatkan oleh sepasang kakak-beradik ini!” kata Menteri Cang.

Teng Cin Nio segera duduk di belakang bibinya, sedangkan Cang Hui yang mendengar ucapan itu lalu mendekati kakaknya.

“Sun-kok, benarkah itu? Engkau telah diculik pembunuh! Dan mereka ini….. telah menyelamatkanmu? Apakah mereka ini orang-orang yang pandai silat?”

Gadis yang keranjingan silat ini tentu saja tertarik dan sinar matanya yang tajam mengamati dua orang kakak-beradik itu dengan penuh selidik.






“Pandai silat?” kata Cang Sun. “Hemm, adikku yang manis. Mereka berdua ini adalah pendekar-pendekar yang amat lihai, kurasa jauh lebih lihai dibandingkan gurumu itu.”

Sebelum Cang Hui membantah dan dua orang kakak beradik itu berbantahan seperti biasa, Cang Taijin menengahi,

“Sudahlah, Sun-ji (anak Sun). Kakak-beradik Liong ini sudah berjasa, engkau harus memberi hadiah kepada mereka.”

“Itulah masalahnya, Ayah. Mereka ini sama sekali tidak mengharapkan imbalan jasa. Mereka hanya membutuhkan pekerjaan! Saudara Liong Ki ini bahkan mempunyai seorang tunangan yang tidak ikut kesini, dan mereka bertiga ini mengharapkan pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian mereka. Saya sudah menjanjikan kepada mereka untuk menerima mereka sebagai pengawal-pengawal pribadi, Ayah. Saudara Liong Ki ini dapat menjadi pengawal pribadi Ayah dan saya, sedangkan nona Liong Bi dan tunangan saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal keluarga kita. Dengan demikian, keamanan keluarga bisa terjamin.”

“Tapi keluarga kita sudah mempunyai pasukan pengawal!” bantah Cang Hui. “Dan aku sendiri bersama Cin-moi sedang memperdalam ilmu silat. Kami dapat menjaga keamanan keluarga kita.”

“Pasukan pengawal itu terlalu kaku. Sebaiknya kalau mereka ini menjadi pengawal pribadi, tidak kentara, seperti anggauta keluarga saja,” bantah Cang Sun. “Dan ingat, mereka telah menyelamatkan aku sehingga kalau kita menerima mereka menjadi pengawal pribadi, ada balas budi yang menguntungkan kedua pihak.”

“Tapi, kita sama sekali tidak mengenal mereka. Kita harus yakin benar bahwa mereka dapat diandalkan. Sebaiknya kalau kita uji dulu sampai dimana kemampuan mereka, apakah pantas untuk menjamin keamanan keluarga kita,” bantah Cang Hui yang memang lincah dan pandai bicara.

Liong Ki sejak tadi mengamati Cang Hui dan Teng Cin Nio, dan diam-diam dia kagum terhadap Cang Hui. Dia lalu cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Menteri Cang.

“Kami kakak-beradik mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan kami hanya mendatangkan gangguan belaka. Atas pertanyaan Cang-kongcu, kami berterus terang bahwa kami sedang mencari pekerjaan di Nan-king, yang sesuai dengan kemampuan kami. Cang-kongcu yang menawarkan pekerjaan sebagai pengawal pribadi disini. Kalau sekiranya keluarga Cang yang terhormat ini keberatan, tentu saja kami tidak berani memaksakan diri. Kami amat berterima kasih atas segala perhatian Cang-kongcu.”

“Tidak, saudara Liong Ki. Jangan dengarkan kata-kata adikku ini! Ia memang cerewet. Keputusannya ada pada ayah. Bagaimana, Ayah? Dapatkah ayah menerima mereka bekerja sebagai pengawal keluarga disini?”

Cang Ku Ceng adalah seorang yang cerdik dan berhati-hati, namun diapun seorang yang berwatak gagah. Kalau puteranya sudah menjanjikan kepada mereka, tentu saja amat tidak baik kalau dia menolaknya. Akan tetapi menerimanya begitu saja, juga merupakan perbuatan yang gegabah, karena dia belum mengenal siapa mereka.

“Engkau dan adikmu memang benar. Sebagai seorang yang menerima budi pertolongan, sudah sepantasnya kalau engkau membalas budi pertolongan mereka. Akan tetapi, adikmu benar pula. Kalau mereka itu hendak bekerja sebagai pengawal keluarga, kita harus benar-benar yakin akan kemampuan mereka.”

“Tentu saja, Ayah. Aku merasa yakin bahwa kepandaian kedua kakak-beradik ini lebih lihai daripada semua jagoan yang ada disini, lebih lihai daripada guru silat Coa yang tua itu! Kalau mereka ini menjadi pengawal keluarga, nona Liong Bi ini akan dapat menggantikannya dan menjadi guru silat Hui-moi.”

“Baiklah, kita uji dulu kepandaian mereka. Akan tetapi aku ingin bertanya dulu, apakah kalian berdua kakak-beradik Liong suka menerima kalau kami beri pekerjaan sebagai pengawal keluarga kami?” tanya Cang Taijin.

“Bertiga dengan tunangan saudara Liong Ki, Ayah.” Cang Hui mengingatkan.

“O ya, tiga orang, dan semua akan diuji kepandaiannya. Bagaimana jawaban kalian? Suka menjadi pengawal keluarga kami melalui ujian kepandaian dulu?”

Liong Bi memandang kepada kakaknya dan Liong Ki menjawab dengan sikap gagah.
“Tentu saja kami menerima dengan perasaan bersukur dan bangga kalau Taijin sudi menerima kami sebagai pengawal kelurga, dan tentang ujian, hal itu memang sudah sepatutnya dan semestinya. Kami berdua, dan tunangan saya nanti, siap untuk menghadapi ujian.”

“Ayah, biar kami dan suhu yang melakukan ujian!” kata Cang Hui galak, masih penasaran dan sama sekali tidak percaya bahwa dua orang muda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya itu akan mampu mengalahkan gurunya.

Cang Taijin tersenyum. Dia sendiri, biarpun bukan ahli silat yang pandai, namun sudah banyak bertemu dengan para pendekar dan dia dapat menilai tingkat kepandaian seseorang dari gerakannya dan tenaga yang terkandung dalam gerakan itu.

“Baik, kau undang gurumu kesini!”

Cang Hui memperlihatkan kegesitannya. Dahulu sebelum belajar ilmu silat, ia adalah seorang gadis yang gerak-geriknya lemah lembut walaupun sejak kecil ia memang mempunyai perbawaan lincah jenaka. Kini, ia meninggalkan ruangan itu sambil berlari dan gerakannya nampak gesit sekali. Melihat ini, diam-diam Liong Ki dan Liong Bi menahan senyum mereka. Gadis bangsawan yang baru satu atau dua tahun belajar slilat itu tentu saja tidak ada artinya bagi mereka.

Ketika Coa-ciangkun (Perwira Coa) yang usianya sudah enampuluh tahun itu muncul, Cang Taijin lalu memberitahukan bahwa dia menerima tiga orang muda untuk bekerja sebagai pengawal keluarga, dan untuk itu dia minta kepada Coa-ciangkun untuk menguji ilmu kepandaian silat mereka.

Perwira yang bertugas sebagai guru silat dari puteri dan keponakan Cang Taijin itu menyanggupi dan mereka lalu pergi ke lian-bu-thia (ruang latihan silat) yang berada di sebelah belakang. Ruangan ini memang sengaja dibuat untuk keperluan Cang Hui berlatih silat, sebuah ruangan yang kosong dan cukup luas.

Bukan saja Cang Taijin yang ikut menonton, bahkan isterinya yang ingin sekali melihat kepandaian orang-orang yang akan menjadi pengawal keluarganya ikut pula menonton. Suami isteri bangsawan ini duduk di sudut, dan Cang Sun juga duduk disitu bersama Cang Hui dan Teng Cin Nio.

“Ayah, biarlah aku dan Cin Nio yang menguji wanita itu, dan nanti suhu yang menguji kakaknya. Aku ingin sekali tahu dan yakin bahwa orang yang dicalonkan sebagai guruku benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari suhu!”

Menteri Cang mengangguk, dan mendengar ini Coa-ciangkun juga mundur. Demikian pula Liong Ki meninggalkan adiknya yang akan diuji oleh puteri Menteri Cang sendiri.

Teng Cin Nio yang diam-diam telah jatuh cinta hati kepada Cang Sun, pemuda yang dicalonkan menjadi suaminya, bagaimanapun juga ingin memamerkan kepandaiannya di depan pria yang dikasihinya. Maka iapun bangkit dan memberi hormat kepada paman dan bibinya.

“Saya mohon Paman dan Bibi untuk menandingi wanita ini.”

“Eh, nanti dulu, Cin-moi. Biar aku yang maju lebih dulu melawannya, baru nanti engkau yang maju kalau aku sudah mengukur kepandaiannya,” kata Cang Hui yang juga bangkit berdiri. Melihat dua orang gadis cantik itu berebut, Liong Bi tersenyum ramah.

“Ji-wi siocia (nona berdua) harap jangan sungkan. Silakan maju bersama agar ji-wi dapat berlatih dan sekalian menguji apakah aku pantas menjadi guru ji-wi atau tidak.”

Ucapannya lembut dan ramah sehingga tidak terdengar seperti tantangan, dan sikapnya bahkan membimbing.

“Baik, kami akan maju bersama!” kata Cang Hui. “Mari, Cin-moi!” Keduanya menghampiri Liong Bi dan wanita ini kembali tersenyum dan berkata halus.

“Ji-wi siocia, karena ini hanya merupakan ujian, maka sebaiknya kalau sebelumnya diadakan aturan tertentu. Aturan ini hanya untuk aku, bukan untuk ji-wi. Ji-wi (kalian berdua) boleh menyerangku sesuka hati, dengan tangan kosong boleh dengan senjata apapun boleh. Dan aku tidak akan balas memukul, aku akan berusaha untuk mengambil perhiasan rambut ji-wi tanpa melukai ji-wi, kemudian aku akan mengembalikannya lagi dan ji-wi boleh mengelak atau menghalangi. Bagaimana pendapat ji-wi dengan aturan itu?”

Dua orang gadis itu saling pandang, bahkan Cang Sun dan ayah ibunya tertegun. Demikian lihaikah Liong Bi, atau amat sombong?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar