Ads

Senin, 03 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 45

“Nanti dulu!” Cang Sun berseru. “Tidak adil kalau begini. Masa seorang dikeroyok enam orang? Disini masih ada nona Liong Bi, dan ada pula tunangan saudara Liong Ki. Mereka bertiga tentu akan bergerak melawan kalau rumah diserbu enam orang penjahat!”

Akan tetapi Liong Bi sambil tersenyum ramah.
“Biarkan saja, Cang-kongcu. Kurasa kakakku masih akan mampu menghadapi keroyokan enam orang penguji itu. Nanti kalau kewalaham, baru aku akan membantunya, kalau saja diperbolehkan.”

Mendengar ini, Cang-taijin yang sudah merasa gembira dan kagum itu berkata,
“Tentu saja boleh kalau nanti engkau akan membantu kakakmu.”

Perwira Coa yang sudah mencabut pedangnya, juga lima orang sutenya yang sudah mengeluarkan senjata mereka, ada yang memegang golok ada yang membawa tombak atau pedang, berkata,

“Nah, Liong-sicu, keluarkan senjatamu untuk menghadapi keroyokan kami.”

Liong Ki melolos sabuknya, sebuah sabuk sutera yang berwarna biru muda, lemas dan panjangnya ada dua meter. Dia menggerakkan tangan kanan dan sabuk itu melayang ke atas, membuat lingkaran dan membelit-belit lengannya sampai tergulung semua.

“Inilah senjataku, Ciangkun. Cu-wi (kalian semua) mulailah!”

Liong Ki memang tampan dan gagah sehingga dua orang gadis itu memandang penuh kagum. Betapa gagahnya pemuda itu, menghadapi enam orang yang bersenjata tajam hendak mengeroyoknya, bersikap demikian tenangnya, bahkan senjatanyapun sehelai sabuk sutera tipis dan lemas!

Semua orang memandang tegang kecuali tentu saja Liong Bi. Wanita ini yakin benar bahwa kakaknya akan mampu menandingi pengeroyokan enam orang itu.

“Liong-sicu, awas, kami mulai menyerang!” kata Coa-ciangkun dan ia mendahului sutenya untuk menyerang dengan pedangnya.

Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang kuat sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang dan ketika menyambar, mengeluarkan suara bersiutan! Gerakan pedang ini disusul oleh gerakan senjata lima orang sutenya. Karena mereka adalah prajurit-prajurit yang biasa bertempur sebagai pasukan, apalagi mereka adalah kakak-beradik seperguruan yang mengenal ilmu silat masing-masing, maka gerakan mereka itu teratur dan rapi, tidak simpang siur dan saling mendukung.

Tadinya semua orang memandang tegang melihat enam buah senjata menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah tubuh pemuda itu.

Akan tetapi merekapun terbelalak kagum ketika tubuh Liong Ki lenyap dan terbungkus lingkaran gulungan biru yang dibuat oleh sabuk suteranya. Bahkan Liong Bi juga memandang kagum. Kakaknya memang hebat, lebih hebat darinya! Dan enam orang pengeroyoknya itu terkejut karena seringkali senjata mereka bertemu dengan sabuk yang sinarnya bergulung-gulung itu, mereka merasa betapa telapak tangan mereka tegetar hebat! Bahkan pertemuan antara senjata dengan sabuk itu menimbulkan suara berdenting seolah-olah sabuk itu berubah menjadi baja yang kaku! Itu menunjukkan bahwa pemuda itu memang memiliki tenaga sin-kang yang sudah tinggi tingkatnya, dapat membuat sabuk sutera menjadi keras dan kaku.

Mula-mula, Liong Ki mempergunakan kelincahan gerakannya yang didasari gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sduah mencapai tingkat tinggi. Tubuhnya berkelabatan dan menyelinap diantara gulungan sinar enam buah senjata. Hanya kadang-kadang saja pengelakannya dibantu oleh tangkisan sabuk suteranya.

Sampai belasan jurus dia menghindarkan serangan-serangan itu dengan mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatan gerakannya. Nampaknya, memang lucu dan indah. Enam orang itu bagaikan enam orang anak-anak yang berlomba menangkap seekor burung walet yang beterbangan diantara mereka.

Setelah lewat belasan jurus, Liong Ki mengubah permainannya. Dia tidak lagi berloncatan mengelak, melainkan berdiri tegak dan memutar sabuknya. Sabuk itu berubah menjadi benteng sinar biru yang melindungi dirinya sehingga semua serangan yang datang dari depan, kanan kirii dan atas itu terpental kembali karena bertemu dengan benteng sinar sabuk biru!

Berulang kali enam orang itu mengerahkan tenaga, menggunakan senjata mereka menyerang untuk menembus perisai atau benteng sinar biru, namun semua serangan itu gagal karena senjata mereka terpental seperti bertemu dengan kitiran baja yang amat kuat!






Kalau pengeroyok berusaha untuk mengelilinginya, Liong Ki memutar tubuh dan gulungan sinar itupun menyelimuti seluruh tubuhnya! Sampai belasan jurus Liong Ki mengandalkan senjata yang istimewa itu untuk menghalau semua serangan, sama sekali tidak mengelak lagi.

“Awas, jaga senjata kalian!”

Tiba-tiba Liong Ki berseru dan gerakan sabuknya berubah, kini berlenggak-lenggok seperti gerakan ular. Tiba-tiba seorang pengeroyok berteriak kaget. Pedangnya terlibat ujung sabuk dan begitu ditarik, pedang itupun terlepas dari pegangannya! Coa-ciangkun cepat menerjang dengan pedangnya, membacok ke arah sabuk untuk merampas kembali pedang anak buahnya yang terampas.

“Tranggg …..!”

Hampir saja pedang itu terlepas dari tangan Coa-ciangkun ketika ujung sabuk itu membalik dan pedang rampasan itu menangkis pedang ini. Kemudian, sekali ujung pedang bergerak, pedang rampasan itu telah terbang ke arah rak senjata dan menancap di papan rak!

Dan kini sabuk itu mengamuk. Bagaikan seekor ular besar atau seekor naga, sabuk itu menyambar-nyambar dengan amat cepatnya sehingga para pengeroyok yang tinggal lima orang itu terkejut dan menggerakkan senjata melindungi diri. Akan tetapi bertutur-turut empat orang anak buah Coa-ciangkun berteriak dan senjata mereka satu demi satu beterbangan karena dirampas ujung sabuk dan semua senjata itu menancap pada papan rak senjata! Tinggal Coa-ciangkun seorang!

Coa-ciangkun yang merasa penasaran cepat menerjang dengan nekat. Akan tetapi tiba-tiba gerakannya terhenti dan tubuhnya sudah terbelit-belit sabuk sutera sehingga kedua lengannya tak mampu digerakkan lagi, juga pedang di tangannya! Dia hanya dapat berdiri tegak dengan mata terbelalak!

“Ciangkun, maafkan aku!” kata Liong Ki dan sekali menggerakkan tangan, sabuk itupun melepaskan libatannya.

Cang Sun dan semua orang bertepuk tangan memuji dan Coa-ciangkun mau tidak mau harus mengakui kehebatan ilmu kepandaian pemuda itu. Dia memberi hormat kepada Menteri Cang dan berkata dengan sungguh hati.

“Harap paduka ketahui bahwa kepandaian Liong-sicu ini benar-benar amat tangguh dan dapat dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi paduka.”

Tentu saja Menteri Cang girang sekali, terutama Cang Sun juga merasa gembira karena dua orang penolongnya itu diterima oleh ayahnya. Bahkan Cang Hui juga merasa gembira. Ia mendekati Liong Bi dan berkata,

“Enci, engkau harus mengajarkan ilmu silatmu yang lincah tadi, dan cara engkau merampas senjata dan melemparkan ke rak senjata! Aku tidak akan menyebut engkau subo (ibu guru). Engkau masih terlalu muda untuk menjadi ibu guru. Biar kusebut engkau enci (kakak) saja!”

Liong Bi menjura dengan hormat.
“Jangan khawatir, Siocia. Aku akan mengajarkan semua ilmu yang kuketahui kepadamu …..”

“Aku juga, Enci Liong Bi ……” kata Teng Cin Nio.

Liong Bi merasa ragu karena ia belum tahu siapa gadis cantik pendiam ini. Melihat keraguan wanita itu, Cang Sun segera berkata,

“Ia juga, Enci. Ia bernama Teng Cin Nio, adik misanku dan iapun merupakan anggauta keluarga kami, bahkan calon anggauta dekat sekali.”

Liong Bi mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah, akan kuajarkan kepada kalian berdua.”

Liong Ki dan Liong Bi lalu berpamit untuk mengambil pakaian di rumah penginapan, juga untuk menjumpai tunangan Liong Ki yang ditinggalkan di rumah penginapan. Menteri Cang menyetujui dan merekapun meninggalkan gedung itu dengan hati dipenuhi kegirangan karena cita-cita mereka tercapai.

**** 45 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar