Ads

Selasa, 04 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 46

Para pembaca tentu dapat menduga siapa Liong Ki dan Liong Bi itu. Mereka adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Itulah rencana siasat yang diatur oleh Su Bi Hwa pada malam hari ia berasil memikat Ki Liong sehingga pemuda itu tidur sekamar dengannya, tanpa diketahui Mayang yang tidur sendiri di kamar lain.

Wanita itu memang cerdik dan berpengalaman. Ia adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang sejak kecil ditanamkan bibit kebencian terhadap pemerintah. Akan tetapi, usahanya menghancurkan Cin-ling-pai bersama para tokoh Pek-lian-kauw telah gagal, bahkan nyaris ia tewas seperti juga tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Ia berhasil lolos dan ketika ia bertemu dengan Sim Ki Liong segera ia mendapat kenyataan yang sama yang menyenangkan hatinya. Ia mendapatkan seorang kekasih yang tampan dan gagah perkasa, yang menguasai ilmu silat tinggi lebih tangguh darinya, dan ia menemukan pula dalam diri pemuda itu seorang sekutu yang amat baik dan dapat diandalkan. Maka, iapun menyusun siasat untuk bersama pemuda itu bertualang ke kota raja dan mencari kedudukan agar setelah memperoleh kedudukan, hal itu dapat di manfaatkan demi Pek-lian-kauw!

Sim Ki Liong yang sudah mabuk akan kesenangan yang diberikan wanita cantik itu, dan juga dia melihat bahwa wanita itu berpengalaman dan cerdik sekali, menurut saja dan demikianlah, di Nan-king mereka meninggalkan Mayang dan keduanya segera keluar untuk memulai dengan petualangan mereka. Agaknya memang bintang mereka sedang terang, secara kebetulan sekali hari itu Cang Sun keluar seorang diri dan pergi ke danau.

Dua orang petualanag itu memang sejak tadi, sesuai dengan rencana Su Bi Hwa untuk “mendekati” keluarga Cang yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi di samping Menteri Yang Ting Hoo setelah kaisar sendiri, melakukan pengintaian terhadap rumah gedung itu.

Mereka melihat Cang Sun dan Su Bi Hwa yang sudah mempunyai data lengkap tentang keluarga itu, segera mengajak Sim Ki Liong untuk membayanginya. Ketika melihat bahwa pemuda bangsawan itu berperahu seorang diri, cepat Su Bi Hwa mengatur siasat. Ia menyuruh Ki Liong menyamar sebagai penculik dengan berkedok, menculik pemuda bangsawan itu dan ia sendiri muncul sebagai penolong! Dan akhirnya, mereka berdua berhasil diterima sebagai pengawal keluarga Cang!

Mayang menyambut mereka dengan cemberut.
“Dari mana saja kalian?” tegurnya kepada mereka.

Ki Liong menjawab dengan wajah berseri.
“Ah, kami beruntung sekali, Mayang! Kami telah berhasil baik sekali! Kau tentu tidak dapat menduga apa yang telah kami capai.”

“Hemm,” Mayang menyambut kegembiraan itu dengan sikap dingin saja. “Kalian baru pulang dari rumah Menteri Cang Ku Ceng! Apa yang kalian lakukan disana?”

Dua orang itu terkejut dan terbelalak.
“Ehh? Engkau sudah tahu? Mayang, kami …. Eh, kita bertiga diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga Cang! Bayangkan! Kita menjadi pengawal keluarga menteri yang amat terkenal itu. Kita akan berpenghasilan besar, berkedudukan tinggi terhormat, dan hidup kita terjamin!”

“Benar, adik Mayang. Menteri yang berkenan menerima kita bertiga menjadi pengawal keluarga. Tunanganmu ini menjadi pengawal pribadi sang menteri dan kita berdua menjadi pengawal keluarganya. Bukankah itu bagus sekali?”

Akan tetapi mayang masih mengerutkan alisnya.
“Hemm, bagaimanapun bagusnya, kalian telah melakukan penipuan! Kalian kira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan terhadap pemuda bangsawan di perahu itu? Kalian menipunya untuk mencari pahala!”.

Kembali Ki Liong dan BI Hwa saling pandang dan mereka terkejut bukan main,
“Mayang, jadi engkau tahu semuanya?”

“Kau kira aku ini anak kecil yang dapat kalian bohongi begitu saja? Sejak kalian pergi hatiku sudah tidak enak. Aku pergi menyusul dan melihat kalian pergi keluar kota. Aku membayangi terus dan melihat segala yang terjadi dengan penuh keheranan dan penasaran!”

“Adik Mayang , maafkan aku.Terus terang saja, pembesar yang kukenal itu telah pindah. Kebetulan sekali kami melihat Cang-Kongcu dan kami membayangi dia ke danau.” Kata Bi Hwa membela kekasihnya yang sejenak kebingungan itu.

“Benar, Mayang. Meliahat dia, timbullah harapan kami. Menteri Cang merupakan pembesar yang berkedudukan tinggi . Kalau kita dapat menghambakan diri kepadanya, tentu kami mendapat kesempatan besar sekali untuk berjasa kepada negara dan memperoleh kedudukan yang baik.”

“Tapi, kalau hendak bekerja kepadanya, kenapa harus menggunakan tipu muslihat, pura-pura menculk puteranya kemudian dibebaskan?” Mayang membantah, masih marah.






“Adik Mayang, terus terang saja, semua ini rencanaku. Saudara Sim Ki Liong ini tidak bersalah. Dan akupun menggunakan siasat itu karena terpaksa. Kita membutuhkan pekerjaan dan kami tadi tidak mencelakai orang. Semua itu hanya sandiwara belaka. Tanpa menggunakan siasat itu, bagaimana mungkin Menerti Cang Ku Ceng menerima kami? Kami tidak mengenalnya, dan tidak ada perantara yang memperkenalkan kami. Dengan jalan itu, kami percaya dan buktinya, kami berhasil diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga.”

“Benar, Mayang. Semua ini demi kebaikan kita, dan kebaikanmu. Kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap, kedudukan yang baik, tentu aku tidak malu menghadap ibumu dan subomu.”

Karena dibujuk-bujuk dua orang itu, akhirnya Mayang terpaksa menerima juga.
“Baiklah, akan kulihat saja bagaimana perkembangannya disana nanti,” katanya.

Ki Liong girang bukan main.
“Dan untuk membuat mereka tidak bercuriga, kami telah menggunakan nama palsu dan mengaku kakak-beradik, Mayang. Aku memakai nama Liong Ki dan ia bernama Liong Bi, adikku.”

“Aku tidak mau menggunakan nama palsu seperti penjahat saja!” kata Mayang, kembali mengerutkan asisnya.

Diam-diam Ki Liong memberi isyarat kepada Bi Hwa untuk meninggalkan mereka. Bi Hwa menangkap isyarat ini dan iapun berkata sambil melangkah keluar.

“Kalian bicaralah, aku akan mengemasi pakaian.”

Setelah Bi Hwa pergi, Ki Liong berkata,
“Mayang lupakah engkau siapa aku ini? Engkau tentu masih ingat bahwa aku adalah seorang berdosa yang setelah bertemu dengan engkau, berusaha untuk kembali ke jalan benar! Aku pernah menyeleweng, Mayang, dan engkau tahu benar akan hal ini. Demi cintaku kepadamu, aku harus berusaha keras untuk kembali ke jalan benar!”

“Kalau hendak kembali ke jalan benar, kenapa harus menipu keluarga itu?”

“Aih, Mayang, pikirkan dulu jangan berkeras. Aku melakukan sandiwara itu hanya dengan satu tujuan, agar aku diterima disana dan mendapatkan pekerjaan. Setelah aku bekerja dengan baik, bukankah itu berarti aku telah kembali ke jalan benar? Aku terpaksa menggunakan nama palsu. Kalau aku menggunakan nama sendiri dan kemudian Menteri Cang tahu bahwa aku pernah melakukan penyelewengan, apakah dia akan mau memberi pekerjaan kepadaku? Bersikaplah adil, Mayang ……, semua ini kulakukan demi engkau!”

Mayang mengerutkan alisnya, akan tetapi ia diam saja. Ia mengerti kebenaran alasan pria yang dicintanya itu. Memang, kekasihnya itu pernah menyeleweng dan membantu golongan sesat, akan tetapi kini telah bertaubat, bahkan sudah membuktikan mau mengembalikan pedang ke Pulau Teratai Merah. Kalau kini kekasihnya itu terpaksa menggunakan nama palsu agar dapat memperoleh pekerjaan dan kedudukan yang baik, apa salahnya?

“Baiklah, akan kulihat perkembangannya nanti,” katanya mengulang pendapatnya tadi.

Ki Liong merangkul dan mencium pipinya. Sejenak Mayang terlena. Bagaimanapun juga, ia kagum dan tertarik kepada pria ini, bahkan mencintanya, maka tentu saja cumbuan ini mendatangkan kemesraan dan kebahagiaan hatinya. Akan tetapi ia teringat Bi Hwa dan dengan lembut namum pasti ia melepaskan rangkulan pemuda itu.

“Mari kita berkemas! Dan disana, biarpun engkau mengaku bahwa aku ini tunanganmu, akan tetapi engkau jangan macam-macam jangan membuat aku menjadi malu.”

Dengan senyum menawan dan sikap menarik Ki Liong memberi hormat seperti menghormati seorang puteri dan berkata,

“Baik, tuan puteri, hamba akan mematuhi perintah paduka!”

“Cih, tak usah merayu!”

Mayang berkata ketus, akan tetapi matanya tersenyum. Harus diakuinya bahwa ia memang tertarik dan mencinta pemuda ini, walaupun kadang hatinya kesal teringat akan masa lalu kekasihnya itu dan mengkhawatirkan masa depannya, kalau-kalau kekasihnya akan kambuh lagi penyakitnya, yaitu menyeleweng daripada kebenaran.

Ketika Bi Hwa, Ki Liong dan Mayang tiba di rumah keluarga Menteri Cang, mereka disambut dengan gembira oleh keluarga itu. Ketika mereka melihat Mayang, mereka kagum akan kecantikan khas dari gadis peranakan Tibet itu. Menteri Cang sendiri yang sudah banyak pengalaman, lalu bertanya.

“Liong Ki, apakah tunanganmu ini seorang gadis Tibet?”

Liong Ki atau Sim Ki Liong memberi hormat,
“Ia adalah peranakan Tibet, Taijin.”

Cang Hui mendekati Mayang, memandang penuh perhatian dan nampaknya tertarik.
“Siapa namamu dan berapakah usiamu?”

Melihat gadis bangsawan cantik itu bertanya dengan sikap terbuka dan bersahabat, Mayang menjawab dengan jujur dan juga sikapnya memang terbuka, dengan logat suara aneh namun enak didengar,

“Namaku Mayang, dan usiaku dua puluh tahun. Nona tentu yang bernama Cang Hui, puteri Cang Taijin bukan? Nona cantik sekali!”

Jawaban ini seketika mendatangkan rasa suka dalam hati Cang Hui dan ia menggandeng tangan Mayang.

“Aku memang Cang Hui, dan engkaupun cantik sekali, Mayang. Apakah engkaupun ahli silat seperti kakak-beradik she Liong itu?”

Mayang tersenyum.
“Aku tidak sepandai Liong-ko, akan tetapi aku pernah belajar ilmu silat, Nona.”

Untung bagi Ki Liong bahwa dia menggunakan nama palsu Liong Ki sehingga mayang masih dapat tetap memanggilnya Liong-ko seperti biasa. Andaikata dia menggunakan nama lain, akan sukar bagi Mayang untuk mengubah panggilannya, bahkan mungkin ia tidak mau melakukannya.

“Mayang, engkau jangan menyebut siocia (nona) kepadaku. Aku ingin kau menyebutku Hui saja!” kata Cang Hui yang seketika merasa amat dekat dan akrab dengan Mayang.

Mayang tersenyum dan entah bagaimana, iapun merasa suka sekali kepada gadis bangsawan yang berwatak polos ini.

“Terima kasih,” katanya.

“Enci Hui, apakah tidak sebaiknya kalau Mayang disuruh memperlihatkan ilmunya pula?” kata Cin Nio. “Mayang, tadi enci Liong BI telah memperlihatkan kepandaiannya. Enci Hui dan aku mengeroyoknya. Kami berpedang dan ia bertangan kosong, dan ia dapat merampas hiasan rambut kami dan mengembalikannya tanpa melukai kami. Sanggupkah kau melakukan itu?”

“Cin-moi, rasanya tidak perlu lagi. Aku percaya akan keterangan kakak-beradik Liong itu.”

“Memang tidak perlu diuji lagi, akupun sudah percaya,” kata Cang Sun yang sejak tadi kadang melirik ke arah Mayang dengan sinar mata penuh kagum.

Gadis ini mempunyai sesuatu yang membuat jantungnya berdebar, akan tetapi dia cepat melawannya dengan ingatan bahwa gadis peranakan Tibet ini telah menjadi calon isteri Liong Ki!

“Hemm, kalau begitu kurang adil!” Tiba-tiba Cang Taijin berkata sambil tertawa. “Kakak-beradik Liong telah memperlihatkan kemampuan mereka, dan Mayang ini juga akan bekerja disini, maka sudah selayaknya kalau iapun memperlihatkan kemampuannya. Mayang, coba engkau perlihatkan ilmu yang kau miliki agar kami sekeluarga melihatnya.” Biarpun ucapan itu ramah dan lembut, namun mengandung wibawa dan perintah.

“Baik, Taijin,” kata Mayang dan iapun memandang ke sekeliling dengan matanya yang sipit namun bersinar tajam itu. “Siapa yang akan mengujiku?”

Cang Hui yang merasa suka kepada Mayang, berkata,
“Aku sudah lelah, dan aku percaya kepada Mayang. Cin-moi, apakah engkau hendak mengujinya?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar