Ads

Selasa, 04 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 47

Cin Nio menunduk dan mukanya kemerahan.
“Mana aku berani, Hui-ci, kalau harus maju sendiri?”

“Tidak perlu bertanding,” kata Menteri Cang. “Mayang, kau perlihatkan saja kemahiranmu mempergunakan senjatamu, memperlihatkan kecepatanmu dan kekuatanmu.”

“Baik, Taijin,” kata Mayang dan iapun melolos senjatanya yang tak pernah terpisah dari badannya, yaitu sepasang cambuk yang dipakainya sebagai sabuk.

Pecut atau cambuk ini berwarna hitam, kecil dan panjang. Mayang memandang ke kanan kiri, melihat sebuah arca singa yang besarnya seperti seekor anjing. Melihat bentuk dan ukurannya, ia sudah dapat menaksir beratnya karena dahulu di rumah subonya terdapat pula sebuah arca besi seperti itu yang biasa ia pergunakan untuk latihan. Melihat ukurannya, arca di rumah subonya lebih berat.

“Taijin beratkah arca singa itu?” tanyanya kepada Menteri Cang.

Caranya bertanya kepada pejabat tinggi itu demikian sederhana, seolah dia bertanya kepada seorang kawan saja, membuat ia tertawa dan teringat akan sikap Cia Kui Hong.

“Tentu saja berat. Itu terbuat dari kuningan. Sedikitnya dua orang laki-laki baru mampu menggotongnya,” katanya.

“Adik Hui, aku mau main-main dengan arca itu, mudah-mudahan tenagaku kuat untuk mengangkatnya,” katanya sambil melirik ke arah gadis Cang Hui. Gadis bangsawan ini terkejut.

“Ihh, jangan main-main, Mayang. Benda itu berat sekali. Kalau engkau tidak kuat, dapat menimpamu dan membuatmu terluka!”

“Kita lihat sajalah!” kata Mayang dan suaranya itu diikuti suara ledakan-ledakan kecil karena ia telah memainkan cambuknya.

Ia bersilat dengan pecut itu, gerakannya indah seperti orang menari, akan tetapi ujung cambuk meledak-ledak di sekeliling tubuhnya dan setiap kali meledak, nampak asap mengepul! Setelah bersilat belasan jurus, tubuhnya menari-nari dengan indahnya yang membuat Su Bi Hwa sendiri diam-diam terkejut dan kgum, tiba-tiba Mayang mengeluarkan seruan nyaring, ujung cambuknya menyerang ke arah singa kuningan.

Ujung cambuk itu melibat perut singa dan sekali gadis itu membentak dengan suara melengking, singa-singaan itupun terangkat ke atas! Mayang memutar-mutar singa-singaan itu di atas kepalanya, kemudian menurunkan kembali dengan hati-hati! Tentu saja pertunjukan ini memancing tepuk tangan gemuruh. Bahkan isteri Menteri Cang itu bertepuk tangan.

Mayang bukan seorang gadis yang sombong atau suka memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi sekarang ia merasa seolah-olah medapatkan saingan dalam diri Su Bi Hwa. Karena ia maklum bahwa wanita itu sudah memperlihatkan kepandaiannya di depan keluarga itu seperti juga Ki Liong, maka iapun tidak ingin dianggap lemah. Setelah tepuk tangan berhenti, iapun memberi hormat kearah suami isteri pejabat tinggi itu dan berkata,

“Taijin, saya lihat banyak lalat disini. Bolehkah saya membunuh mereka?”

Menteri Cang mencari dengan pandang matanya dan memang ada beberapa ekor lalat beterbangan di ruangan itu, tidak banyak, akan tetapi ada. Dan dia memandang dengan tidak percaya. Bagaimana gadis itu akan mampu membunuhi binatang kecil yang amat gesit itu dengan cambuknya? Akan tetapi dia mengangguk gembira.

“Boleh, bunuhlah lalat-lalat itu!” katanya.

Mayang menggerakkan pecutnya. Senjata ini meledak-ledak lagi dan menyambar-nyambar. Tampaknya hanya beberapa saja menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata orang biasa dan tiba-tiba ia menghentikan gerakannya, lalu mengumpulkan dengan kakinya. Ternyata di lantai telah ada bangkai belasan ekor lalat!

Melihat bangkai itu tidak hancur, dapat dimengerti betapa hebatnya permainan camuk itu, yang ujungnya mampu membunuh lalat-lalat itu dengan tepat tanpa menghancurkan tubuhnya yang kecil! Hal ini tidak mengherankan karena guru gadis ini, Kim Mo Sian-kauw, adalah seorang ahli silat yang memiliki ilmu istimewa menggunakan cambuk itu!

Kembali semua orang memuji dan diam-diam Su Bi Hwa terkejut. Tak di sangkanya bahwa kekasih Ki Liong itu memiliki kepandaian sehebat itu! Ia harus berhati-hati sekali terhadap Mayang. Gadis itu tidak suka diajak melakukan penyelewengan, berwatak terbuka, jujut dan keras. Gadis seperti itu dapat menggagalkan semua usahanya! Bagaimana juga, ia tahu bahwa Ki Liong amat mencinta gadis itu, maka untuk sementara, ia harus menggunakan siasat melakukan pendekatan secara akrab.






“Mayang, engkau saja yang mengajarku ilmu silat!” Cang Hui berseru gembira sambil merangkul gadis peranakan Tibet itu. “Aku ingin bisa memainkan cambuk seperti itu!”

Demikianlah, mulai hari itu, Ki Liong, Mayang dan Su Bi Hwa bekerja menjadi pengawal keluarga Cang. Tentu saja mereka hidup senang karena mereka bukan saja dianggap sebagai pekerja, akan tetapi juga seperti anggauta keluarga sendiri. Terutama Mayang dan Bi Hwa.

Mereka sangat akrab dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Hanya bedanya, kalau Mayang akrab dengan mereka dengan hati tulus karena memang dua orang gadis bangsawan itu baik budi, sebaliknya Su Bi Hwa hanya pada lahirnya saja baik dan akrab. Didalam hatinya, iblis betina ini mencari-cari kesempatan untuk mengatur rencana dengan kekasih barunya, yaitu Ki Liong!

Karena maklum akan kelihaian Mayang, Bi Hwa dan Ki Liong berhati-hati sekali dan mereka selalu menjaga diri jangan sampai menimbulkan kecurigaan hati Mayang. Ketika pada suatu pagi Mayang sibuk memberi petunjuk ilmu silat kepada Cang Hui dan Teng Cin Nio di dalam taman bunga yang luas dan indah itu, Bi Hwa dan Ki Liong mengadakan pertemuan di kamar Bi Hwa, darimana mereka dapat mengintai keluar jendela dan melihat Mayang bersama dua orang gadis bangsawan itu dari jauh. Tidak ada orang lain mengetahui bahwa mereka berdua berada di dalam kamar itu.

Mereka segera berpelukan melepas rindu yang ditahan-tahan, akan tetapi Bi Hwa berbisik,

“Ssssttt, aku ingin bertemu denganmu untuk membicarakan hal penting. Kerinduan kita dapat di tunda dulu, lain waktu masih banyak. Kita harus mengatur siasat.”

Biarpun kecewa, terpaksa Ki Liong menuruti keinginan wanita itu karena karena memang mereka jarang mendapat kesempatan berada berdua saja. Mereka lalu berbisik-bisik dan Bi Hwa mengatur siasatnya. Siasat yang membuat Ki Liong sendiri tertegun karena siasat itu terlampau besar dan muluk, juga amat berani!

Bi Hwa merencanakan agar mereka berdua dapat menguasai keluarga itu, dengan cara memikat anak-anak Menteri Cang. Ia sendiri akan memikat dan merayu Cang Sun, sedangkan Ki Liong dianjurkan merayu Cang Hui!

“Kalau kita berdua, atau diantaranya seorang diantara kita dapat menjadi mantu Menteri Cang, tentu kedudukan kita akan menjadi semakin kuat,” katanya.

“Engkau bisa mencoba untuk memikat Cang Sun dan engkau pasti berhasil. Akan tetapi aku? Bagaimana mungkin? Disana ada Mayang ……” kata Ki Liong meragu.

“Aih, lagi-lagi Mayang! Tentu saja engkau boleh mengambilnya sebagai isterimu! Kalau engkau menjadi mantu Menteri Cang, apa salahnya mempunyai beberapa orang isteri? Yang penting, memikat puteri menteri itu dahulu, soal Mayang mudah saja.”

“Jangan pandang rendah Mayang! Ia pasti akan menolak, dan ia dapat menggagalkan dan merusak semuanya. Ia keras hati dan keras kepala. Kalau sampai ia marah kepada kita, lalu ia membongkar rahasia kita di depan Menteri Cang, bukankah kita akan celaka?”

“Bodoh, ia tidak akan berbuat seperti itu, apalagi kalau ia sudah dijinakkan! Engkau harus dapat menjinakkannya. Engkau harus berhasil menggaulinya sehingga ia tidak berdaya lagi karena ia tentu ingin mencuci aib dengan menjadi isterimu dan ia akan mentaati semua perintahmu.”

“Hemm, justeru itulah yang sulit. Ia tidak pernah mau! Ia hanya mau melayaniku kalau kami sudah menikah dan ia tidak mau menikah sebelum mendapat restu dari ibunya dan subonya!” Ki Liong berkata kesal.

“Itu perkara kecil. Aku akan membantumu. Tunggu saja, aku akan menguasainya dengan sihir dan malam ini aku akan menyuruh ia memasuki kamarmu dan dengan kekuatan sihir aku akan membuat ia menyerah kepadamu dengan suka rela. Sekali hal ini terjadi, andaikata ia menyadarinyapun sudah terlambat dan ia tentu akan tunduk dan taat.”

Wajah Ki Liong menjadi berseri.
“Engkau dapat melakukan itu?”

Bi Hwa mengangguk. Ia memang tidak merahasiakan sesuatu dari kekasihnya itu setelah saling mengetahui latar belakang masing-masing dan maklum bahwa dahulu mereka segolongan!

“Tidak percuma aku menjadi anggauta Pek-lian-kauw,” kata wanita itu. “Pendeknya, urusan Mayang mudah saja. Kalau aku tidak menggunakan sihir, aku masih mempunyai banyak cara untuk membuat ia lupa diri dan menyerah kepadamu. Yang penting, engkau harus merayu puteri bangsawan itu dan aku akan merayu Cang Sun yang ganteng. Untuk mereka, tidak boleh menggunakan cara yang tidak wajar. Kita harus dapat membuat mereka benar-benar jatuh cinta agar kelak tidak mendatangkan hal yang tidak menguntungkan!”

Bi Hwa dengan bisik-bisik menjelaskan rencananya jangka panjang. Kalau mereka sudah dapat menguasai keluarga Cang, tentu akan mudah bagi mereka untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasan Menteri Cang untuk mempengaruhi kaisar! Dan mereka dapat mengatur siasat demi keuntungan gerakan Pek-lian-kauw. Dari situ, mereka seperti menemukan anak tangga untuk mencapai kedudukan atau keadaan yang lebih tinggi lagi.

Mereka bisik-bisik mengatur sambil bermesraan melepas rindu, dan dari jendela kamar itu mereka dapat mengamati gerak-gerik Mayang agar jangan sampai gadis itu mengetahui pertemuan rahasia mereka.

Sementara itu, dengan sepenuh hati Mayang memberi petunjuk tentang ilmu silat kepada Cang Hui dan Cin Nio. Dua orang gadis ini merasa gembira sekali karena Mayang merupakan guru yang jauh lebih lihai dan lebih menyenangkan daripada perwira Coa yang kaku.

Dengan adanya petunjuk dari Mayang, kedua orang gadis itu medapatkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Setelah mengajak dua orang gadis itu berlatih silat tangan kosong, mereka duduk mengaso dan bercakap.

“Adik Hui, engkau ini puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi. Engkau cantik jelita, kaya raya, berkedudukan mulia, tidak kekurangan apapun juga. Pelayan cukup banyak, pengawalpun ada. Kenapa engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat yang melelahkan? Apakah tidak sayang kalau nanti kulit tanganmu yang halus lunak itu menjadi kasar?” Mayang bertanya sambil mengagumi kecantikan puteri bangsawan itu. cang Hui tertawa.

“Heh-heh, engkau ini ada-ada saja, Mayang. Coba engkau bercermin. Engkau pandai ilmu silat, akan tetapi engkau tetap cantik jelita dan kulitmu begitu putih kemerahan dan begitu segar! Dan tentang ilmu silat, aku menyukai ilmu silat semenjak seorang pendekar wanita tinggal bersama kelurga kami dahulu. Aku amat kagum kepadanya dan aku ingin menjadi seperti ia!”

“Ehh? Pendekar wanita siapakah itu?”

“Enci Kui Hong. Cia Kui Hong ……”

Sepasang mata yang sipit panjang dan bentuknya indah itu terbelalak. Nama itu tentu saja amat mengejutkan Mayang karena ia tidak menyangka sama sekali.

“Ketua Cin-ling-pai …..?” ia menegaskan karena belum yakin bahwa gadis itu yang dimaksudkan Cang Hui.

“Benar, engkau sudah mengenalnya, Mayang?”

Mayang mengangguk, merasa tidak perlu menceritakan sejelasnya.
“Aku pernah bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal ketua Cin-ling-pai itu?”

Pada saat itu Cin Nio berpamit. Ia hendak membantu di dapur seperti biasanya dan berjanji sore nanti akan mengajak Cang Hui untuk berlatih kembali. Setelah Cin Nio pergi, Cang Hui berkata lirih.

“Kasihan, Cin Nio selalu merasa tidak enak kalau mendengar disebutnya nama enci Kui Hong.”

“eh,kenapakah?” Mayang tentu saja merasa heran sekali.

“Mayang, setelah beberapa hari tinggal disini, engkau kuanggap sebagai keluarga sendiri, maka biar akan kuceritakan tentang semua itu kepadamu. Ketahuilah bahwa ketika enci Kui Hong tinggal disini, membantu ayah untuk menyelidiki kekacauan di istana, ayah mempunyai keinginan untuk menjodohkan koko Cang Sun dengan enci Kui Hong.”

“Hemm, menarik sekali! Kakakmu memang seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga baik budi pekertinya.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar