Ads

Selasa, 04 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 48

“Ehh? Bagaimana engkau tau dia baik budi?”

“Melihat penampilannya saja sudah dapat diketahui. Dia sopan dan ramah,” kata Mayang, lalu membelokkan percakapan, “Lalu, bagaimana perjodohan itu?”

Cang Hui menggeleng kepalanya.
“Agaknya Sun-koko sudah menyetujui dan mencinta enci Kui Hong, akan tetapi enci Kui Hong menolak karena ia telah mempunyai pilihan hati pemuda lain.”

Dikiranya aku tidak mengerti, bisik hati Mayang dengan bangga. Pemuda pilihan hati ketua Cin-ling-pai itu bukan lain adalah kakak tirinya, kakak seayah kandung, yaitu Tang Hay!

“Dan sejak saat itu koko Cang tidak pernah mau kalau hendak dijodohkan dengan gadis lain, membuat ayah dan ibu menjadi kesal. Lalu ayah dan ibu menarik adik Cin Nio kesini, untuk diperkenalkan dengan Sun-koko dan Cin-moi dicalonkan menjadi jodoh Sun-koko.”

“Baik sekali ….,” kata Mayang.

“Apanya yang baik!” Cang Hui mengerutkan alisnya. “Sun-koko sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Cin-moi, kecuali sebagai anggauta keluarga biasa. Cin-moi maklum bahwa ia hendak dijodohkan dengan Sun-koko, dan ia sudah mendengar pula tentang enci Kui Hong. Dan kurasa, Cin-moi sudah terlanjur jatuh hati kepada kakakku, maka kasihan ia kalau kakakku selalu acuh terhadap dirinya.”

Mayang diam saja, melamun. Betapa banyak liku-liku cinta. Ia sendiri jatuh cinta kepada Sim Ki Liong, akan tetapi kadang ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda yang di cintanya itu, yang pernah tersesat, akan kembali ke jalan sesat!

“Engkau beruntung, Mayang.” Sampai dua kali Cang Hui mengeluarkan ucapan itu, baru Mayang sadar.

“Apa? Mengapa?” tanyanya, agak gagap seperti orang baru terbangun dari mimpi.

“Hik-hik, kau melamun, Mayang. Kukatakan bahwa engkau beruntung, mempunyai seorang tunangan yang tampan dan gagah seperti Liong Ki. Engkau memang cocok sekali menjadi jodohnya. Sama elok wajahnya, sama gagah perkasa dan keduanya pendekar!”

“Hemm, mudah-mudahan Tuhan akan memberkahi kami, adik Hui,” kata Mayang dengan pikiran melayang jauh.

Kembali ia melamun. Sekali ini, ia membiarkan ingatannya melayang dan mengenangkan apa yang ia lihat dan dengar ketika malam tadi ia bercakap-cakap dengan Su Bi Hwa. Wanita itu jelas dengan jujur mengakui bahwa ia tertarik kepada Cang Sun! Su Bi Hwa di depan Mayang memuji-muji putera Menteri Cang itu, bahkan ada kata-katanya yang terngiang di telinganya, yang membuat ia mengerutkan alisnya.

“Aih, kalau saja aku bisa menjadi isterinya! Betapa akan bahagia rasa hatiku! Menjadi mantu Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal di seluruh negeri!”

Wanita cantik itu selalu nampak genit dan pesolek, bahkan ia pernah melihat Bi Hwa mencolek dan mencubit paha Ki Liong ketika mereka bicara dan mengira ia tidak melihatnya! Ia menekan perasaan cemburunya, akan tetapi menganggap bahwa main-main atau kelakar seperti itu sudah keterlaluan dan hanya dapat dilakukan oleh seorang gadis yang genit dan “ada apa-apanya”! Maka, mendengar akan pujian dan harapan Bi Hwa terhadap putera Menteri Cang, ia seperti melihat bahaya mengancam pemuda yang sopan dan ramah itu!

“Engkau melamun lagi, Mayang!” tegur Cang Hui.

“Ah, maaf…. Aku hendak pesan sesuatu kepadamu, adik Hui.”

“Eh? Apakah itu, Mayang? Katakanlah, engkau seperti penuh rahasia!” Gadis bangsawan itu tersenyum.

“Aku hanya ingin engkau memperingatkan kakakmu agar dia berhati-hati terhadap Liong Bi….?

“Hemm, adik tunanganmu itu?”

Ingin ia meneriakkan bahwa wanita itu bukan adik Ki Liong, akan tetapi ia tidak menjawab, hanya melanjutkan pesannya.

“Ia seorang wanita kang-ouw yang berpengalaman dan ia agaknya tertarik kepada kakakmu. Mungkin ia akan berusaha memikat hati kakakmu.”

Cang Hui terbelalak dan tersenyum.
“Aih, Sun-koko tidak mudah tertarik oleh wanita semenjak cintanya gagal terhadap enci Kui Hong. Adik tunanganmu itu cantik dan ilmu silatnya tinggi, hanya sayang …. Bagiku ia terlalu genit. Akupun tidak suka kalau kakakku terpikat olehnya. Maaf, Mayang, aku bicara buruk tentang adik tunanganmu, calon adik iparmu. Tapi, engkau sendiri juga menyangka buruk terhadap dirinya. Baik akan kusampaikan kepada kakakku.”






Biarpun hanya menyampaikan pesan seperti itu, hati Mayang merasa lega. Setidaknya, pihak keluarga Cang sudah siap dan berhati-hati, pikirnya. Malam itu, Mayang gelisah di pembaringannya. Ia semakin tidak tenang dan tidak betah tinggal di rumah keluarga Cang. Ia melihat keluarga itu terancam, oleh Bi Hwa dan Ki Liong! Ia khawatir Ki Liong bersama Bi Hwa akan melakukan sesuatu yang jahat! Ia bukan saja tidak ingin keluarga yang amat baik budi itu terancam bahaya, terutama sekali ia tidak ingin Ki Liong melakukan sesuatu yang jahat dan buruk.

Sampai menjelang tengah malam, Mayang masih gelisah di atas pembaringannya. Malam itu sunyi sekali. Agaknya semua penghuni rumah itu sudah tidur nyenyak, kecuali tentu saja para penjaga. Biarpun ia, Ki Liong dan Bi Hwa menjadi pengawal keluarga di rumah itu, namun penjaga malam tetap diadakan dan mereka melakukan perondaan.

Mereka bertiga hanya siap kalau-kalau ada marabahaya, dan mereka tidur di kamar masing-masing. Ia dan Bi Hwa mendapatkan kamar di samping dengan jendela menghadap taman, sedangkan Ki Liong mendapatkan kamar dibagian belakang.

Mendadak ingatannya melayang ke arah Ki Liong. Wajah pemuda itu nampak jelas membayang di depan matanya dan secara aneh sekali ia merasa rindu sekali kepada pemuda yang dicintanya itu. Tak dapat ditahan lagi rasa rindunya dan ia ingin sekali bertemu dengan Ki Liong. Malam itu juga! Ia turun dari pembaringan, mengenakan sepatu dan baju luar, dan tak lama kemudian tubuhnya sudah melayang ke luar melalui jendela, ke dalam taman.

Tiba-tiba ia berhenti bergerak, matanya terbelalak. Kenapa hatinya begini berdebar dan wajah Ki Liong terbayang-bayang, dan perasaannya mengatakan betapa sangat ia mencinta Ki Liong, betapa ia amat merindukannya? Kenapa ia seperti didorong-dorong untuk menuju ke kamar kekasihnya itu, untuk melepaskan rindu dendamnya?

“Hemm, ini tidak wajar!”

Begitu pikiran ini menyelinap ke dalam hatinya, Mayang memejamkan kedua matanya, mengerahkan tenaga batin seperti yang ia pelajari dari subonya dan seketika perasaan yang mendorong-dorongnya itupun lenyap! Seolah angin malam semilir mendinginkan hati dan kepalanya, membuat ia dapat melihat betapa janggalnya keadaannya. Malam-malam begini mendadak timbul keinginan untuk mengunjungi Ki Liong di kamarnya! Sungguh mustahil!

“Keparat, siapa berani main-main dengan aku? tidak perlu menggunakan ilmu setan untuk menakuti anak kecil, keluarlah kalau memang engkau berani dan memiliki kepandaian!” tantangnya, suaranya mengandung tenaga batin yang masih menggelora di dadanya.

Namun, sepi dan hening saja. Hanya suara jengkerik yang menjawabnya. Dengan hati kesal iapun kembali ke kamarnya melalui jendela. Benarkah ada orang yang bermain-main dengannya? Ataukah Ki Liong yang menggunakan batin untuk memanggilnya agar ia mau menyerahkan dirinya malam itu? Ataukah memang dorongan itu datang dari perasaan cinta dan rindunya?

Ia tidak tahu betapa di tempat gelap tersembunyi, Su Bi Hwa menggeleng-geleng kepala dengan kecewa.

“Sialan,” gerutunya dalam hati. “Anak perempuan itu bahkan mampu menolak kekuatan sihirku!” Ia menyelinap pergi dan mengomel, “Harus kupergunakan cara lain untuk menundukkan bocah itu!”

Pada keesokan harinya, Mayang tidak jadi bertanya kepada Ki Liong. Tidak ada bukti bahwa pemuda itu yang mempergunakan kekuatan tidak wajar untuk mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak pantas.

Akan tetapi bagaimanapun juga, sejak malam itu ia menjadi semakin waspada, diam-diam melakukan pengamatan terhadap Bi Hwa dan terhadap kekasihnya sendiri. Di samping kekesalan hatinya ia terhibur juga oleh pergaulannya dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio.

Diam-diam ia merasa kasihan kepada Cang Sun yang selalu bersikap ramah dan sopan kepadanya. Kadang-kadang ia melihat betapa wajah pemuda itu seperti diliputi mendung kedukaan, dan ia menaruh iba karena tahu bahwa pemuda itu telah gagal dalam cintanya terhadap Cia Kui Hong.

**** 48 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar