Ads

Kamis, 06 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 57

Cang Hui, dara jelita yang lincah jenaka itu maklum akan maksud ayah ibunya untuk menjodohkan saudara misannya, Teng Cin Nio, dengan kakaknya, Cang Sun. Ia amat sayang kepada kakaknya, dan juga ia sayang kepada Cin Nio yang dianggapnya bukan saja manis wajahnya, akan tetapi juga manis budinya dan akan menjadi isteri yang baik sekali bagi kakaknya, sepenuhnya mendukung niat orang tuanya itu.

Seringkali, secara cerdik dan tidak menyolok, ia menceritakan semua kebaikan kakaknya kepada Teng Cin Nio, dan gadis yang memang kagum kepada Cang Sun itu menjadi semakin tertarik. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani menyatakan rasa kagumnya, walau kepada Cang Hui sekalipun. Mengaku cinta kepada seorang pria kepada orang lain merupakan pantangan besar bagi seorang gadis baik-baik!

Cang Hui memang cerdik, lincah dan jenaka. Ia tidak kekurangan akal untuk "menjodohkan" saudara misannya itu dengan kakaknya, yaitu dengan jalan mempertemukan mereka berdua empat mata saja. Ia mulai mengatur siasat. Ia menanti sampai malam bulan purnama tiba, karena dibawah sinar bulan purnama biasanya orang mudah jatuh cinta! Ia tahu bahwa kakaknya seringkali menikmati bulan purnama ditaman bunga mereka yang indah, dimana terdapat sebuah kolam ikan dan tempat duduk yang terlindung atap tanpa dinding, dan di tempat ini biasanya kakaknya menulis sajak atau membaca buku, sampai jauh malam.

Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba dan ia tahu benar bahwa kakaknya malam itu berada di taman, ia lalu mengajak Cin Nio untuk berjalan-jalan di taman bunga menikmati keindahan bulan purnama.

Cin Nio yang tidak mencurigai misannya yang disayangnya itu, menjadi gembira dan tak lama kemudian kedua orang gadis bangsawan itu melangkah perlahan-lahan memasuki taman, berbeda dengan para puteri bangsawan lainnya yang selalu ditemani pelayan, dua orang gadis ini tidak. Mereka adalah gadis-gadis yang mempelajari ilmu silat dan merasa. diri mereka cukup kuat untuk melindungi diri sendiri sehingga tidak membutuhkan penjagaan pelayan, atau pengawal.

Ketika mereka berjalan-jalan di dekat kolam ikan, tiba-tiba Cang Hui menarik tangan Cin Nio dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara, lalu mereka bersembunyi di balik rumpun bunga mawar, Cin Nio memandang ke depan dan pipinya terasa panas. Iapun kini melihat seorang pemuda duduk membelakangi mereka, menghadapi kolam ikan, agaknya menikmati bulan yang tenggelam di dalam kolam, lalu terdengar pemuda itu membaca sajak yang agaknya baru saja dibuatnya.

Suaranya lembut dan merdu, menambah keindahan malam itu. Malam gemilang dengan cahaya bulan purnama, langit bersih, taman yang penuh bunga-bunga musim semi yang sedang bersaing dalam lomba kecantikan, semerbak harum dan silir angin lembut, lalu suara merdu memuat sajak, diiringi paduan suara jengkerik dan belalang!

"Bunga setaman aneka wama
bermandikan cahaya pumama
bersaing cantik indah berseri
berlomba sedap harum mewangi
betapa bahagianya hati ini!
Namun, bagaikan mimpi hampa
tak lama lagi bulan sirna
meninggalkanku dalam gulita
bunga akan habis gugur layu
tinggal aku disini sepi sendiri.
Wahai ikan-ikan dalam kolam taman
kalian akan tetap gembira dengan teman-teman
tapi... aku? sepi sendiri termenung iri...."

Terdengar tepuk tangan mendahului munculnya seorang wanita cantik. Cang Hui dan Cin Nio menahan diri, bahkan Cang Hui memegang lengan Cin Nio dan memberi isyarat agar tidak mengeluarkan suara. Tadi ia sudah siap bertepuk tangan memuji kakaknya, akan tetapi begitu mendengar tepuk tangan dari lain jurusan, ia tidak jadi bertepuk tangan.

Dua orang gadis itu melihat bahwa yang muncul adalah Liong Bi yang kini telah menjadi pengawal keluarga Cang. Cang Hui ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan wanita yang biarpun ia kagumi kelihaiannya namun sikapnya yang dianggap genit itu menimbulkan perasaan tidak suka dalam hatinya itu.

Sementara itu, ketika Cang Sun melihat bahwa yang muncul dan bertepuk tangan memuji adalah Liong Bi, wanita cantik yang kini menjadi pengawal keluarga ayahnya, segera bangkit dari duduknya.

"Hebat, Cang-kongcu. Tak kusangka bahwa Kongcu sepandai ini, dapat membuat sajak sedemikian indahnya!"






Liong Bi atau Su Bi Hwa memuji sambil memperlihatkan senyum manis dan kerling mata memikat.

Wajah Cang Sun berubah kemerahan.
"Ah, Liong-lihiap (pendekar wanita Liong) terlalu memuji. Aku hanya iseng menikmati bulan purnama."

Liong Bi mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama sambil tersenyum dan giginya nampak berkilauan tertimpa sinar bulan.

"Memang cantik dan indah sekali malam ini, Kongcu, tidak mengherankan kalau keindahan ini menggerakkan jiwa senimu untuk membuat sajak. Alangkah akan semakin meriahnya kalau malam yang indah ini diisi dengan tarian pedang. Maukah Kongcu melihat saya menari pedang untuk mengimbangi sajakmu tadi?"

Cang Sun adalah seorang pemuda yang sopan. Biarpun dia merasa tidak sepatutnya seorang pria seperti dia mengadakan pertemuan berdua saja dengan seorang wanita muda dan cantik di malam hari dalam taman, akan tetapi dia merasa tidak baik kalau menolak. Apalagi, wanita itu adalah pengawal keluarga, dan kini hanya ingin melakukan tari pedang untuk memeriahkan suasana malam bulan purnama. Maka diapun mengangguk dan hanya berkata,

"Silakan."

Liong Bi sudah mencabut pedangnya dan mulailah ia menari. Tarian itu mengandung gerakan silat pedang, akan tetapi dilakukan dalam gaya tarian yang nampak indah dan menonjolkan keindahan lekuk lengkung tubuh wanita itu. Apalag Liong bi sengaja bergerak lambat, dengan gerakan seindah mungkin, disertai senyum manis dan kerling memikat sehingga Cang Sun terpesona juga.

Memang, Liong Bi adalah seorang wanita yang cantik menarik dan berpengalaman. Ia tahu bagaimana harus bergaya untuk memikat hati pria. Tubuhnya yang memang padat menggairahkan dengan kulit yang halus putih itu sengaja dibungkus pakaian yang ketat dan ketika ia menarikan silat pedang, tubuh yang ramping itu membuat gerakan dan goyangan seperti seekor ular, menggairahkan dan memikat. Dan tarian itu, memang indah, pedangnya, membuat gulungan sinar berkeredepan. Wanita cantik itu nampak gagah perkasa, mengingatkan Cang Sun akan Kui Hong, gadis pendekar yang dicintanya, dan diapun terpesona.

Setelah Liong Bi menghentikan tariannya, Cang Sun bertepuk tangan memuji.
"Bagus sekali, Liong-lihiap. Tarianmu indah dan gagah!" serunya gembira.

Setelah menyimpan pedangnya, Liong Bi menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang ganteng, pikirnya, bukan saja ganteng, akan tetapi juga putera seorang menteri yang terkenal dan besar kekuasaannya. Alangkah akan senangnya kalau ia dapat menjadi isteri pemuda ini, dan amat besar manfaatnya bagi Pek-lian-kauw! Kalau berhasil, ia akan mendapat keuntungan ganda. Ia sendiri akan menikmati kemuliaan, dan ia akan dapat berbuat banyak demi keuntungan Pek-lian-kauw.

"Aihh, sekarang engkau yang terlalu memujiku, Kongcu. Sajakmu tadi yang patut dikagumi, hanya sayang sekali engkau bersedih pada akhir sajak itu, Kongcu. Kenapa engkau iri terhadap ikan-ikan di kolam ini, Kongcu?' Liong Bi memandang ke arah ikan-ikan emas yang berenang berkejaran di dalam kolam.

Cang Sun juga memandang ke arah kolam.
"Mereka itu selalu bergembira dengan teman-teman mereka, tak perduli ada bulan atau tidak, bunga bersemi atau tidak, sedangkan aku...." Cang Sun tidak melanjutkan ucapannya, merasa bahwa dia kelepasan bicara.

"Kongcu sepi sendiri? Aihh, Cang Kongcu, kenapa Kongcu membuat sajak seperti itu bunyinya? Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti Kongcu dapat kesepian? Semua orang, terutama para gadis di seluruh negeri, akan merasa bangga untuk menjadi teman Kongcu!" Ia mendekat, lalu dengan lembut ia duduk di atas bangku, di samping pemuda itu, lalu dengan pandang mata penuh daya pikat, ia berbisik, "Setidaknya aku siap sedia menemani dan menghibur Kongcu, setiap saat, dalam suka maupun duka...."

Cang Sun terbelalak, mukanya semakin merah dan jantungnya berdebar. Dia bangkit dan berseru,

"Long-lihiap...."

Akan tetapi ia menahan diri untuk melanjutkan tegurannya karena dia teringat betapa wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya ketika dia diserang penjahat di telaga tempo hari.

"Kongcu, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah kagum sekali kepadamu dan aku siap untuk melindungimu, menghiburmu, menemanimu dan membahagiakanmu selamanya....."

Suaranya merayu-rayu dan dengan lembut dan hangat jari tangan wanita itu menyentuh lengan Cang Sun. Pemuda itu menjadi salah tingkah. Harus diakui bahwa dia amat tertarik. Wanita ini nampak demikian cantik menggairahkan, demikian gagah, dan demikian menantang. Akan tetapi, hati nuraninya menolak karena dia belum mengenal benar siapa sesungguhnya wanita ini, orang macam apa dan apakah benar tulus semua perasaan yang diucapkannya itu. Maka, diapun melangkah mundur, tiga langkah.

Liong Bi yang sudah bangkit berdiri dan melihat usahanya hampir berhasil, tidak mau melepaskan mangsa yang sudah di depan mulut begitu saja. Iapun melangkah maju mendekat lagi, suaranya menggetar penuh perasaan,

"Kongcu...."

Pada saat itu terdengar suara Cang Hui,
"Sun-ko, engkau disitukah?" dan muncullah Cang Hui dan Cin Nio.

Begitu mendengar suara gadis itu, Liong Bi cepat mundur beberapa langkah sehingga ia berdiri cukup jauh dari pemuda itu ketika dua orang gadis itu muncul dan tiba disitu.

"Engkau baru apakah, Sun-ko? Eh, kiranya Enci Liong Bi juga berada disini? Sedang apakah engkau, Enci Liong Bi?" tanya Cang Hui sambil memandang tajam.

Dengan sikap tenang Liong Bi menjawab,
"Saya kebetulan lewat disini ketika meronda, Siocia. Permisi, saya akan melanjutkan perondaan, menjaga keanaman malam ini."

"Lebih baik begitu, Enci Liong Bi," kata Cang Hui, menyembunyikan makna yang tajam dalam ucapan itu walaupun dapat pula dianggap wajar.

Liong Bi memberi hormat,
"Permisi, Siocia, Kongcu.... !" iapun, pergi dari situ.

Setelah Liong Bi pergi, Cang Hui menghampiri kakaknya.
"Koko, mau apa sih enci Liong Bi berada disini?"

Cang Sun menghela napas dan dia memandang kepada Cin Nio yang hanya berdiri disitu sambil menundukkan mukanya.

"Dia hanya kebetulan lewat ketika meronda dan melihat aku berada disini, ia lalu datang menghampiri aku dan kami bercakap-cakap. Kenapa engkau menanyakan?"

Cang Sun membalas dan memandang adiknya yang dianggap terlalu mencampuri urusan pribadinya.

"Tidak apa-apa, Koko, hanya aku merasa heran melihat keberaniannya menemui engkau seorang diri di malam hari begini. Hati-hati, Koko, aku mendengar dari enci Mayang bahwa enci Liong Bi adalah seorang janda. Jangan-jangan engkau akan terpikat olehnya!"

"Huh, bicaramu sudah menyimpang, Hui-moi!" Cang Sun menegur adiknya. "Engkau lupa telah mengajak Cin-moi dan kau diamkan saja. Silakan duduk, Cin-moi."

Cin Nio yang sejak tadi hanya mendengarkan, tersenyum dan mengangguk, lalu maju menghampiri Cang Hui,

"Terima kasih, Sun-ko," katanya lirih.

Seperti tidak disengaja, Cang Hui menemukan kertas yang ditulisi sajak oleh kakaknya dan membacanya dengan suara berirama dan merdu. Cang Sun tidak melarang, hanya memandang adiknya sambil tersenyum. Adiknya itu selalu manja dan dia amat sayang kepadanya karena hanya seorang itulah saudaranya.

Setelah selesai membaca sajak itu, Cang Hui berseru,
"Aih, indah sekali sajakmu ini, Koko. Hanya sayang, sajak ini memandang ringan, bahkan seolah menganggap aku dan enci Cin ini tidak ada saja. Kau keterlaluan, Koko."

"Ehh? Apa maksudmu?"

"Coba saja pikir, dalam sajakmu engkau berkeluh kesah, merasa kesepian tiada teman. Apakah kami berdua ini bukan teman yang baik?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar