Ads

Kamis, 06 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 58

"Ihh, anak nakal! Tentu saja, engkau malah adikku dan Cin-moi ini adik misan, lebih dari saudara!"

"Nah, kalau begitu, kenapa dimalam yang indah ini berkeluh kesah dan mengatakan sepi sendiri? Hayo, Koko, kita harus merayakan malam seindah ini bertiga! Atau, engkau lebih senang bercakap-cakap dengan janda itu?"

"Hushh! Tentu saja aku senang bersamamu dan adik Cin Nio....." kata Cang Sun dengan muka berubah merah.

"Kalau begitu, tunggu sebentar, aku akan memanggil pelayan untuk menghidangkan anggur dan kueh. Enci Cin, kau temani Sun-ko sebentar!" tanpa menanti jawaban, gadis yang lincah ini sudah berlari meninggalkan mereka berdua.

Memang inilah yang ia kehendaki. Ia ingin memberi kesempatan kepada kakaknya dan Cin Nio untuk berdua saja agar mereka dapat leluasa bicara. Selama ini, hampir tidak ada kesempatan bagi mereka berdua untuk bicara empat mata, dan tanpa adanya pertemuan berdua saja, bagaimana mungkin niat orang tuanya menjodohkan mereka dapat terlaksana? Dan ia harus membantu mereka, membantu agar kedua orang yang disayangnya itu mendapatkan kesempatan!

Setelah Cang Hui pergi meninggalkan mereka, dua orang muda itu duduk berhadapan dan keduanya berdiam diri. Cin Nio yang berwatak pendiam itu tidak berani berkutik. Biasanya, kalau ada Cang Hui, ia masih berani bicara kepada kakak misannya itu, karena bagaimanapun juga mereka telah saling mengenal dan bergaul sejak ia masih kecil. Akan tetapi, setelah kini duduk berdua saja, ia merasa rikuh dan tidak berani berkutik, apalagi memandang pemuda itu. Bahkan bernapaspun hanya lirih dan lembut sekali.

Cang Sun juga merasa rikuh sekali. Dia tahu bahwa orang tuanya hendak menjodohkan dia dengan Cin Nio. Gadis ini memang cukup cantik jelita dan halus budi pekertinya. Akan tetapi, sejak dahulu dia menganggap Cin Nio sebagai adik misan, sebagai anggauta keluarga sehingga sukarlah baginya untuk mengubah perasaan sayang seorang kakak terhadap seorang adik ini menjadi cinta asmara seperti cintanya terhadap Kui Hong. Dia merasa iba kepada Cin Nio. Para gadis, terutama sekali gadis keluarga bangsawan, selalu hanya dapat tunduk atas kehendak orang tua, harus menerima calon suami yang dijodohkan orang tua!

Dan selama ini, kalau dia memperhatikan sikap gadis itu, agaknya Cin Nio mulai menaruh harapan kepadanya! Memang dia tidak merasakan getaran cinta, dalam pandang mata gadis itu, akan tetapi jelas bahwa Cin Nio tertarik dan kagum kepadanya. Dapat dia bayangkan betapa akan sengsara hati Cin Nio kalau sampai jatuh cinta kepadanya dan dia tidak dapat menyambut cinta itu. Dia telah merasakan betapa pahitnya cinta sepihak, seperti dia mencintai Kui Hong dan tidak terbalas oleh gadis itu!

Tidak, dia harus membuyarkan harapan Cin Nio, harus membuka mata gadis itu sebelum terlambat, sebelum gadis itu benar-benar jatuh cinta kepadanya! Dan sekarang inilah saatnya yang baik, karena kalau tidak sekarang selagi mereka duduk berdua, kapan lagi?

"Cin-moi......" katanya lirih. bagaimanapun juga, jantungnya berdebar tegang untuk membuka kenyataan yang pahit bagi gadis itu.

Cin Nio mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali ketika melihat betapa kakak misannya itu menatap wajahnya,

"Ya, Sun-ko? Ada apakah?" jawabnya dengan suara dibuat wajar dan tenang, namun tetap saja suaranya agak gemetar.

"Cin-moi, kebetulan sekali kita duduk berdua saja. Aku memang ingin sekali bicara denganmu, akan tetapi selalu tidak ada kesempatan."

"Bicara soal apakah Sun-ko?" gadis itu bertanya, suaranya lebih tenang.

"soal kita berdua. Engkau tentu tahu bahwa orang tua kita berniat untuk menjodohkan kita. Bagaimana pendapatmu tentang hal itu, Cin-moi?"

Biarpun sudah menduga ke arah mana pembicaraan itu, tetap saja wajah itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan ini. Ia tetap menunduk ketika menjawab,

"Apa yang dapat kukatakan, Sun-ko? Aku hanya dapat mentaati semua keinginan orang tua...."

Cang Sun menghela napas panjang.
"Aku tahu, dan begitulah memang nasib para gadis bangsawan. Akan tetapi aku seorang laki-laki, Cin-moi. Aku mempunyai pendirian sendiri dan aku hanya dapat menikah dengan seorang gadis yang saling mencinta dengan aku. Terus terang saja, Cin-moi, aku sayang kepadamu sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Sejak kecil kita sudah bergaul dan sejak kecil engkau kuanggap sebagai adikku. Sukar bagiku untuk mengubah perasaan itu sehingga terasa janggallah kalau kita harus berjodoh. Aku tidak ingin membiarkan engkau dalam keraguan, Cin-moi, oleh karena itu, aku berterus terang bahwa tidak mungkin aku dapat menuruti kehendak orang tua agar aku menikah denganmu. Bukan sekali-kali aku menolak karena engkau kurang baik, Cin-moi, melainkan karena aku tidak dapat menikahi seorang gadis yang kuanggap seperti adik sendiri."






Cang Sun berhenti bicara. Dadanya terasa lapang bukan main seolah ada batu besar yang selama ini menghimpit perasaannya, kini telah terlontar keluar.

Kepala itu semakin menunduk. Tidak, Cin Nio tidak merasa ditolak, tidak merasa dikesampingkan, tidak merasa terhina. Namun, ia merasa kecewa dan bersedih. Harus diakuinya bahwa selama ini, timbul perasaan gembira kalau ia membayangkan betapa ia akan menjadi isteri Cang Sun. Ia kagum kepada kakak misannya itu dan betapa akan mudahnya untuk jatuh cinta kepadanya! Ia tidak merasa sakit hati karena kakak misannya berterus terang. Bahkan diam-diam ia merasa bersukur karena kakak misannya berani berterus terang. Dengan begini kesemuanya jelas sudah, dan ia tidak perlu lagi menggantungkan harapannya terhadap perjodohan itu.

Akan tetapi, bagaimanapun juga, runtuhnya harapan itu menusuk perasaannya dan biarpun ia menahan diri sehingga tidak sampai terisak, tetap saja kedua matanya menjadi basah dan cepat ia menyusutnya dengan sapu tangannya. Akan tetapi, air mata itu keluar lagi dan ia segera bangkit berdiri, membelakangi Cang Sun dan menguatkan hatinya berkata tanpa menoleh,

"Maafkan aku,.... aku kembali.... ke kamarku"

Melihat gadis itu melangkah lunglai, Cang Sun merasa iba sekali.
"Cin-moi, kau maafkanlah aku...."

Akan tetapi gadis itu tidak menjawab, lalu berlari kecil meninggalkan taman, kembali ke kamarnya dimana ia membanting diri ke atas pembaringan dan menangis sepuas hatinya.

Cang Hui merasa heran ketika kembali ke dalam taman bersama dua orang pelayan yang membawa makanan dan minuman dan tidak melihat Cin Nio disitu, hanya kakaknya duduk melamun seorang diri.

"Ehh? Kemana perginya enci Cin?" tanyanya.

Cang Sun memandang kepada dua orang pelayan itu dan Cang Hui menyuruh mereka pergi setelah mereka menaruh makanan dan minuman di atas meja.

"Apakah yang telah terjadi, Koko?" tanyanya setelah mereka duduk berdua saja.

Pemuda itu menghela napas panjang.
"Ia telah kembali ke kamarnya. Aku telah bicara terus terang kepadanya tentang kami, yaitu tentang perjodohan diantara kami yang dikehendaki para orang tua...."

Cang Hui membelalakkan matanya.
"Apa yang kau katakan kepadanya, Koko?"

"Aku berkata terus terang bahwa aku tidak mungkin dapat menikahinya karena aku sayang kepadanya seperti adik sendiri, bukan mencintanya seperti seorang pria kepada seorang wanita.”

"Ihh, kau kejam, Koko!"

"Hemm, apakah engkau lebih senang melihat aku berpura-pura, membiarkan ia menanti dan mengharap?"

Cang Hui termenung. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya. Akan tetapi ia kasihan kepada Cin Nio,

"Engkau menghancurkan perasaan hatinya, Koko. Aku tahu bahwa ia cinta padamu."

"Habis, apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin cinta bertepuk tangan sebelah, aku telah merasakan kepahitannya...."

"Aih, Koko. Kenapa engkau tidak dapat melupakan enci Kui Hong? Ia tidak dapat kau harapkan lagi karena ia mencinta pria lain. Bukankah enci Cin amat baik? Kenapa engkau tidak dapat mencintanya? Apakah cintamu hanya untuk enci Kui Hong seorang saja?"

"Sampai saat ini aku belum dapat melupakannya dan belum ketemu penggantinya." kata pemuda itu dengan wajah murung.

"Betapa lemah hatimu, Koko. Engkau harus dapat melihat kenyataan. Enci Kui Hong jelas bukan jodohmu. Mungkin sekarang ia telah menjadi isteri lain orang. Untuk apa kau kenang dan pikirkan terus menerus? Sudah sepatutnya kalau engkau memperhatikan gadis lain. Hati-hati, jangan engkau terpikat oleh enci Liong Bi itu."

Cang Sun menggeleng kepala, kembali menghela napas panjang.
"Aku tidak akan tertarik kepadanya. Memang nasibku agaknya, harus selalu kecewa dalam urusan yang satu ini. Ada gadis yang menarik hatiku dan amat kukagumi, akan tetapi iapun sudah bertunangan dengan orang lain...."

Cang Hui terlonjak kaget dan membelalakkan matanya memandang wajah kakaknya,
"Mayang....??" tanyanya terheran-heran.

Kakaknya mengangguk dan kembali menarik napas panjang.
"Akan tetapi ia telah bertunangan dengan Liong Ki, maka akupun tidak berani memikirkannya."

"Ahhh....! Ruwet kalau begini....!" kata Cang Hui dan iapun bertopang dagu, melamun jauh.

Ia merasa ikut prihatin dengan keadaan kakaknya. Kenapa yang dicinta kakaknya itu selalu gadis yang telah menjadi milik pria lain? Ia tidak terlalu menyalahkan kakaknya. Ia sendiripun kalau menjadi seorang pria, akan tergila-gila kepada Mayang. Gadis itu memang hebat! Kecantikannya khas dan istimewa, Ilmu kepandaiannyapun tinggi, rambutnya hitam panjang berombak, kulitnya putih seperti susu, dan bentuk tubuhnya! Bukan main!

Akan tetapi sayang, gadis itu telah bertunangan dengan Liong Ki, dan harus ia akui bahwa pasangan itu serasi. Liong Ki juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan tampan, memang cocok dan tepat kalau menjadi calon suami seorang dara perkasa sepetti Mayang.

Kakak beradik itu duduk termenung seperti patung, lupa kepada anggur dan makanan yang dibawa oleh dua orang pelayan tadi. Akhirnya merekapun menggigil ketika hawa udara mulai dingin sekali. Mereka lalu meninggalkan taman dan kembali ke kamar masing-masing!

**** 58 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar