Ads

Selasa, 11 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 69

Mereka tidak tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu mengejar-ngejar seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal dunia, maka pemuda itulah yang mereka kejar-kejar! Dan pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay seperti telah diceritakan di bagian depan.

Biarpun kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah dia melakukan pembersihan, menangkap pejabat-pejabat yang diangapnya dekat dengan Jaksa Yu. Banyak orang tidak berdosa ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apapun ikut tertangkap dan dihukum mati dengan tuduhan memberontak!

Pagi hari didalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar didalam perbentengan itu, Sarah sudah sejak pagi sekali bangun dari tidurnya, mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang berkicau di pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam perbentengan, bertukar pakaian lalu membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan ia sendiri.

Pagi itu ia merasa gembira bukan main karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya naik kuda ke perbukitan diluar kota Cang-cow. Gadis ini memang sejak kecil mempunyai kegemaran menunggang kuda dan ia bahkan ketika berusia dua belas tahun, pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya. Setelah ia mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini.

Akan tetapi, karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam perbentengan, ia merasa kurang leluasa. Ia hanya dapat menunggang kuda dan berputar-putar di dalam benteng atau kalaupun ia diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, ia tidak boleh seorang diri, harus ada pengawal.

Tidak begitu menyenangkan berkuda di kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga ia harus menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan, iapun menjadi tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh ia baru dapat menikmati kegemarannya itu. Ia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan pagi hari ini, ayahnya kemarin menjanjikan untuk mengajak puterinya berkuda di perbukitan di luar kota!

Setelah menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi kegemaran ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu. Hanya ia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Kalau orang lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali.

Ketika pintu terketuk, terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lalu terdengar sandal diseret dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu, tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman ramah.

Memang pria setengah tua ini amat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah melebihi dirinya sendiri.

"Selamat pagi, Ayah!" kata Sarah, tidak perduli melihat ayahnya masih belum sadar benar agaknya dari tidurnya.

"Selamat pagi, Sarah. Sepagi ini engkau sudah menggugah ayahmu?" teguran ini lebih merupakan salam daripada kemarahan.

"Maafkan aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu terhadapku. Bukankah kemarin Ayah berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan? Semakin pagi kita berangkat, semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah kusediakan!"

Kapten Armando memandang kepada puterinya dengan mata dilebarkan, lalu dia menepuk kepala sendiri,

"Ahhh, terlalu banyak anggur kuminum semalam, terlalu banyak hal penting yang dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu....."

"Ayah.....!"

Sarah merajuk, mulutnya yang berbibir merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah.

Kapten Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lalu diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak.

"Anakku, jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tidak mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman pemberontak."






Dengan punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang mernenuhi pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Ia memandang ayahnya.

"Siapa kali ini pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?"

Kapten Armando menarik napas panjang.
"Tidak kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung "

Sarah membelalakkan matanya yang sudah lebar.
"Perwira Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa kali?"

Kapten Armando mengangguk.
"Benar, dia ditangkap karena ada bukti-bukti bahwa dia bersekongkol dengan keluarga Jaksa Yu yang sudah dihukum beberapa bulan yang lalu."

"Aih, Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap seorang yang tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda dengan aku ke luar kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu."

Akan tetapi ayah itu menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka yang menyaksikan agar jangan mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan."

Sarah mencibir dan bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium.
"Huh, siapa sih yang ingin memberontak? Yang pasti, Ayah tidak, bukan? Ayah, sejak pagi sekali aku sudah bangun dan senang sekali hatiku karena membayangkan akan berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan begini....! Huh, melihat orang dihukum mati!"

Kapten Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang.

"Jangan kecewa, Anakku. Engkau tetap boleh berkuda di perbukitan pagi ini, bahkan tadi malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemaninya."

"Kenapa Gonsalo? Aih, aku tidak suka, Ayah!” kata dara itu, merajuk.

"Eh? Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?"

"Aku tetap ingin pergi berkuda, akan tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik dengan perajurit pengawal biasa saja, Ayah."

Kapten Armando mengerutkan alisnya yang tebal,
"Sarah sayag, kenapa engkau selalu kelihatan tidak suka kepada Gonsalo? Dia adalah pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula? Dia juara tinju, dia ahli tembak cepat, dia...."

"Sudahlah, Ayah! Tidak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang dagangan saja! Bagaimanapun juga, aku tidak tertarik, aku bahkan membencinya!"

"Ehh? Engkau aneh sekali, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci seseorang? Tentu ada sebabnya yang membuat engkau membencinya. Nah, katakan kepada ayahmu, apakah sebab itu?"

Sarah bersungut-sungut. Memang tidak pernah kapten muda itu melakukan sesuatu yang dapat ia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia tidak suka kepada kapten itu. Ia tahu bahwa ayahnya seorang yang berhati keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima pendapatnya tanpa alasan, tidak mau menerima pernyataannya membenci kapten Gonsalo tanpa ia dapat memberikan sebabnya.

"Dia.... dia...., pandang matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandang matanya membuat aku merasa benci..."

"Hemmm? Pandang matanya kenapa, Sarah?"

"Entahlah, Ayah. Pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing kalau sedang marah. Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang perajurit saja, atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja."

"Ahh.....!"

"Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri."

"Tidak, engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal perajurit biasa. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk mengawalmu. Kalau dia yang mengawalmu, sama saja dengan kalau aku sendiri yang mengawalmu dan hatiku akan tenang. Tanpa dia, kalau engkau pergi aku akan selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah, Sarah. Dia sudah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia, dan kalau dia melakukan sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku, aku yang akan menghukumnya."

Kapten Armando meninggalkan puterinya, memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat ditawar-tawar lagi. Tinggal dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal Gonsalo atau tidak pergi sama sekali.

Ia menghela napas panjang lalu keluar dari kamar ayahnya, menuju ke ruang makan dan menanti di atas kursi menghadapi meja makan yang besar itu dengan muka cemberut. Ia sudah siap dengan pakaian untuk berkuda. Kemeja dengan lengan panjang yang digulungnya sampai ke bawah siku dengan leher baju terbuka. Lehernya dikalungi sapu tangan sutera merah yang nampak kontras dengan kemejanya yang putih. Celana panjangnya abu-abu dan sepatu boot dari kulit menutupi kaki sampai ke bawah lutut, menutupi pula celana panjangnya bagian bawah. Pinggang yang ramping itu diikat sabuk kulit dan iapun sudah siap dengan sebatang cambuk kuda dari bulu halus.

Cantik jelita dan manis sekali dara itu ketika ia mematut diri di depan cermin di dekat meja makan itu sambil mengenakan topinya yang terhias bulu burung dan berwarna hijau. Rambutnya yang kuning keemasan berombak menutupi tengkuk dan punggungnya, sampai ke atas pinggang dan di dekat tengkuk diikat pula dengan tali sutera merah.

Tak lama kemudian, Kapten Armando memasuki ruang makan, sudah siap dengan pakaian dinasnya, pakaian kapten yang membuatnya nampak lebih muda, dan gagah.

Akan tetapi, pria setengah tua itu memandang kepada puterinya yang sudah mengenakan pakaian lengkap berikut topi itu dengan kagum dan terpesona. Puterinya ini mengingatkan dia kepada isterinya yang sudah bercerai darinya dan kini berada di negaranya sendiri.

"Sarah, engkau cantik sekali!"

Biarpun ia kecewa, mendengar pujian ayahnya, Sarah tersenyum, bangkit berdiri, menghampiri ayahnya dan mencium pipi ayahnya dengan sikap manja.

"Ayah, aku maafkan Ayah yang tadi mengecewakan hatiku. Baiklah, aku akan pergi berkuda di perbukitan, dikawal oleh Kapten Gonsalo."

Kapten Armando menjadi gembira sekali. Dia merangkul puterinya, mendekap kepala yang disayangnya itu ke dada dan mengecup pipi anaknya sampai mengeluarkan bunyi nyaring.

"Ha-ha-ha-ha, engkau memang anakku yang manis. Engkau darah Armando yang jujur dan keras akan tetapi tegas! Ha-ha-ha, aku girang sekali, Sarah. Pergilah, sayang, akan tetapi marilah kita sarapan dulu."

Ayah dan anak itu sarapan dan nampak mereka gembira. Apalagi Kapten Armando, makannya lahap sekali, dilayani oleh puterinya. Pada saat itu pembantu mengetuk pintu ruangan makan, memberitahu bahwa Kapten Gonsalo sudah tiba di ruangan depan.

"Suruh dia menanti sebentar!" kata Sarah mendahului ayahnya. Pelayan itu memberi hormat dan pergi lagi.

"Aih, Sarah sayang, kenapa engkau tidak mengundang Gonsalo ikut sarapan bersama kita?" tegur Kapten Armando, akan tetapi kata-katanya lembut dan manis. sehingga tidak merupakan teguran, lebih pantas pertanyaan.

Sarah tersenyum. Sudah kembali kelincahannya dan kekecewaannya yang tadi sama sekali tidak ada bekasnya lagi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar