Ads

Selasa, 11 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 70

"Ayah, aku ingin makan pagi bersama ayah saja, tidak diganggu siapapun juga sehingga selera makan kita tidak berkurang karenanya. Ayah, tambah lagi rotinya?"

Kapten Armando tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia tidak ingin merusakkan suasana yang akrab dan membahagiakan ini dengan kehadiran Gonsalo. Bagaimanapun juga, dia akan memberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih sendiri kekasih dan calon suaminya. Dia ingin puterinya berbahagia, dan kebahagiaan perjodohannya hanya mungkin kalau puterinya itu memilih sendiri jodohnya.

Setelah selesai makan, mereka berdua keluar dan menuju ke ruangan tamu di depan. Di situ Gonsalo telah menanti dan pemuda ini duduk di sebuah kursi tamu yang nyaman. Wajahnya tetap riang dan cerah walaupun di dalam hatinya dia kecewa mengapa Sarah dan ayahnya tidak mengundang dia makan pagi bersama, walau hanya untuk basa-basi saja. Dari pelayan tadi dia tahu bahwa ayah dan anak itu sedang sarapan di ruangan makan. Akan tetapi, sengaja perasaan kecewa itu disembunyikan di balik senyum yang ramah dan wajah yang cerah.

"Selamat pagi, Kapten Armando! Selamat pagi Sarah!" dia menyalam dengan ramah. "Lihat, aku telah siap. Kita berangkat sekarang, Sarah? Kudamu sudah kusuruh siapkan tadi, menanti diluar."

Kapten Armando menyambut salam itu dan mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia merasa heran mengapa puterinya tidak senang kepada pemuda ini. Padahal menurut dia, mata kapten muda itu bagus sekali, tajam dan penuh ketegasan.

"Selamat menikmati hari yang cerah ini, Gonsalo, Sarah, jangan terlalu jauh dari daerah yang aman, dan Gonsalo, jangan terlalu larut kalian pulang. Berhati-hatilah, jaga baik-baik Sarah karena pelaksanaan hukuman terhadap pemberontak ini sedikit banyak menimbulkan keguncangan. Aku serahkan keselamatan anakku di tanganmu."

Kapten Gonsal0 memberi hormat secara militer.
"Siap, Kapten! Saya akan melindungi Sarah dengan taruhan nyawaku sendiri!"

"Aku pergi, Ayah!"

Sarah sudah lari ke depan, agaknya tidak senang mendengarkan percakapan antara ayahnya dan Gonsalo, terutama mendengar janji Gonsalo yang muluk itu.

Tak lama kemudian, Sarah dan Gonsalo sudah menunggang kuda. Sarah melarikan kudanya keluar kota melalui pintu gerbang kota sebelah barat, dan Gonsalo mengikuti dari belakangnya. Ketika mereka keluar dari benteng dan menjalankan kuda mereka di kota Cang-cow tadi, mereka menjadi tontonan yang mengagumkan.

Memang serasi dua orang ini. Yang wanita cantik jelita, rambutnya seperti benang emas tertimpa sinar matahari pagi, tubuhnya yang padat ramping itu duduk di atas sela kuda demikian lentur dan enaknya, tanda bahwa gadis ini memang ahli menunggang kuda.

Yang mengiringkan di belakangnya, Gonsalo juga amat menarik. Rambutnya kecoklatan, demikian pula warna matanya. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, duduk dengan tegak di atas kudanya dengan sikap penuh wibawa. Pakaian kaptennya berkilauan dengan hiasan dari perak dan emas, di pinggangnya tergantung sebuah pistol hitam, di punggung kanan tergantung sebatang pedang, tangannya memegang cambuk kuda. Kepalanya tertutup topi tentara yang membuat wajahnya nampak semakin ganteng.

Begitu keluar dari pintu gerbang kota, Sarah lalu membalapkan kudanya menuju bukit di depan. Melihat ini, Gonsalo tersenyum dan diapun mempercepat larinya kuda, mengejar. Diam-diam Sarah merasa mendongkol bukan main. Kapten Gonsalo ini benar-benar telah merusak kegembiraannya. Kalau saja ia berkuda dengan ayahnya, ia tentu akan menjalankan kudanya perlahan-lahan, menikmati udara luar kota yang sejuk jernih, menikmati munculnya matahari pagi yang diantar kicau burung dan semilirnya angin perbukitan, menyamankan pandang mata dengan pemandangan yang indah, rumput-rumput hijau segar, pohon-pohon yang rimbun, bunga-bunga liar yang beraneka warna.

Akan tetapi, sekarang ia tidak dapat menikmati semua itu. Ia melarikan kudanya, membalap tanpa memperdulikan segala keindahan di sepanjang perjalanan. Seolah-olah ia bukan sedang berkuda menikmati pagi hari dan pemandangan aneh, melainkan sedang melarikan diri dengan kudanya, menjauhi sesuatu yang tidak menyenangkan. Akan tetapi yang tidak menyenangkan itu selalu mengikutinya dari belakang!

Berjam-jam Sarah melarikan kudanya, naik turun bukit sampai Kapten Gonsalo menyusulnya dan berteriak,

"Sarah, berhenti dulu! Kudamu dapat kehabisan napas dan jatuh sakit!"

Mendengar seruan ini, Sarah teringat akan kuda yang disayangnya itu. Ia menghentikan kudanya dan benar saja. Kudanya terengah-engah, mendengus-dengus dan dari hidung dan mulutnya keluar uap, tubuhnya berkeringat. Iapun merasa kasihan sekali dan cepat meloncat turun dari atas punggung kudanya, melepaskan kendali dan membiarkan kudanya beristirahat sambil makan rumput segar.






Gonsalo juga turun dari kudanya yang juga kelelahan. Dia memandang kepada Sarah yang melangkah menjauhkan diri, menuju ke tepi jurang dari mana ia dapat memandang keindahan alam di bawah bukit. Gonsalo menarik napas panjang. Dia merasa heran mengapa dara ini tidak kelihatan gembira, bahkan seperti orang marah. Rambut gadis itu awut-awutan karena tadi melarikan kuda dengan cepatnya. Dia lalu membuka topi, merapikan rambut dengan sisir, lalu mengenakan lagi topinya dan menghampiri Sarah.

"Sarah....," panggilnya ketika dia tiba dibelakang gadis itu.

Sarah membalikkan tubuhnya dan sejenak ia mengamati kapten muda di depannya. Seperti biasa, pakaian kapten ini serba rapi, bahkan biarpun mereka tadi membalapkan kuda, agaknya tidak ada sehelai rambut pun yang kusut. Demikian rapi dan teratur! Dan Sarah tidak menyukai ini. Seperti bukan manusia saja, seperti boneka!

"Ya, Kapten?" jawabnya sambil lalu dan kini matanya kembali memandang ke arah bawah bukit.

"Sarah, namaku Gonsalo!"

"Ya, ada apakah, Kapten Gonsalo?"

"Sarah, kita sudah menjadi sahabat, bukan? Aku adalah pembantu ayahmu, juga sahabatnya, berarti sahabatmu pula. Kenapa engkau masih menyebut aku kapten? Aku tidak suka kau sebut kapten, panggil namaku saja."

"Akan tetapi aku suka menyebut kapten!" kata Sarah, berkeras dan kini ia membalik dan menentang pandang mata kapten itu dengan berani. "Engkau memang seorang kapten, bukan? Lihat pakaianmu, lihat topimu, pistol dan pedangmu! Lihat sikapmu! Engkau seorang kapten tulen, kenapa tidak kusebut kapten?"

"Tapi, aku tidak suka resmi-resmian, terutama denganmu, Sarah."

"Akan tetapi aku suka, Kapten Gonsalo Sudahlah, tidak perlu berdebat, Kapten. Aku akan melanjutkan perjalanan."

Sarah memasang kembali kendali kudanya yang sudah pulih kesegarannya, kemudian meloncat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya. Kini ia tidak melarikan kudanya dengan cepat seperti tadi karena ia merasa kasihan kepada kuda kesayangannya itu.

Gonsalo juga menunggang kudanya dan mencoba menjalankan kuda di samping kuda Sarah. Akan tetapi, setiap kali kuda Gonsalo tiba di samping kuda Sarah, dara itu mempercepat kudanya sehingga ia selalu berada di depan Gonsalo. Hal ini tentu saja membuat hati kapten itu menjadi semakin panas dan mendongkol.

"Sarah, kita sudah terlalu jauh, sebaiknya kembali saja. Ayahmu tadi sudah berpesan agar kita tidak terlalu jauh," berulang kali Gonsalo meneriaki Sarah, akan tetapi dara itu tidak perduli dan terus saja menjalankan kudanya ke bukit di depan.

Tiba-tiba terdengar teriakan ketakutan.
"Setan.....! Setan....!"

Seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, dengan pakaian compang-camping dan yang tadi agaknya sedang menyabit rumput, kini bangkit berdiri, terbelalak memandang kepada Sarah, berteriak-teriak dan mengacung-acungkan sabitnya dengan sikap mengancam.

"Sarah, minggir!"

Gonsalo berteriak. Orang yang memegang sabit itu seperti hendak menyerang dan kuda yang ditunggangi Sarah terkejut karena orang itu berteriak-teriak. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas. Untung bahwa Sarah telah terlatih baik sehingga tidak mudah terlempar dari punggung kudanya.

"Setan rambut emas....! Setan jahat, pergilah....!" orang itu berteriak-teriak ketakutan dan mengacungkan sabitnya lagi.

"Darr....!" terdengar letusan dan orang itupun terjungkal, merintih-rintih memegangi paha kirinya yang berlumuran darah.

"Kapten, kenapa engkau menembaknya?"

Sarah berseru kaget dan ia cepat meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri orang yang tertembak itu. Orang itu memandang kepadanya dengan muka pucat, mata terbelalak ketakutan. Sabitnya tadi entah terlempar kemana ketika dia roboh.

"Setan..... setan..... jangan ganggu aku...! Pergilah....!" Orang itu berteriak lemah.

Sarah sudah pandai berbahasa daerah. Selama ini, ia mempelajari bahasa pribumi dengan tekun. Ia berlutut dekat orang itu.

"Jangan takut, sobat. Aku bukan setan, aku manusia biasa. Biar kuperiksa lukamu....!" Ia pernah pula mempelajari ilmu pengobatan.

"Sarah, jangan dekat dia! Dia berbahaya!" teriak pula Gonsalo sambil meloncat dan mendekati, pistol revolver masih di tangannya.

"Kapten, mundurlah dan jangan turut campur!" Sarah membentak marah, mengejutkan kapten itu.

"Jangan sentuh aku..... kau setan.... pergilah....!" orang itu berteriak-teriak lagi sehingga Sarah tidak berani menyentuhnya.

Pada saat itu, muncul tiga orang dusun dengan sikap takut-takut. Sarah cepat berkata kepada mereka.

"Jangan takut, temanmu ini terluka, aku ingin memeriksa dan mengobatinya."

Mendengar Sarah bicara dengan lembut, tiga orang laki-laki itu menghampiri dan ketika melihat orang yang compang-camping itu terluka pahanya, seorang diantara mereka bertanya,

"Kenapa pahanya terluka ?"

Sarah menjadi bingung.
"Dia tadi muncul tiba-tiba, mengejutkan kami dan kuda kami. Temanku itu mengira dia hendak menyerang, maka menembak kakinya...." ia merasa menyesal sekali, "Maafkan kami...."

"Hemm, dia memang seorang yang sinting," kata pula orang tertua dari mereka. "Dia belum pernah ke kota, belum pernah melihat seorang wanita asing seperti nona." Tiga orang itu lalu membantu orang terluka itu bangun.

"Biar kuperiksa dan kuobati dia, aku dapat mengobatinya " kata Sarah.

"Tidak perlu, Nona. Kami dapat mengobatinya sendiri."

Tiga orang itu memapah orang terluka tadi dan membawanya pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sarah berdiri mematung, merasa menyesal bukan main.

"Sudahlah, Sarah. Perlu apa memikirkan dia? Dia hanya seorang gila." kata Gonsalo.

Mendengar ini, Sarah membalik dan menghadapi Gonsalo dengan sinar mata berapi.
"Justeru karena dia gila maka dosamu semakin bertumpuk! Dia seorang gila yang tidak berdaya, dan engkau begitu saja menembaknya! Engkau curang dan kejam!" Setelah menghardik itu Sarah lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu.

"Sarah, tunggu! Kau tidak adil! Hal itu kulakukan untuk melindungimu!" teriak Kapten Gonsalo, akan tetapi Sarah telah membalapkan kudanya lagi, dikejar oleh kapten itu.

Sarah membalapkan kudanya menuju ke sebuah bukit yang nampak hijau di depan. Dara ini tidak perduli lagi kemana dia menuju, pokoknya hendak menjauhi Gonsalo yang dibencinya.

"Sarah! Jangan ke bukit itu! Disana penuh hutan dan berbahaya!" teriak Gonsalo.

Akan tetapi Sarah tidak perduli, bahkan mendengar larangan itu semakin bersemangat, membalapkan kudanya mendaki bukit. Gonsalo mengejar, akan tetapi kuda yang ditunggangi Sarah memang seekor kuda pilihan yang lebih baik, lebih baik daripada tunggangan Gonsalo. Dan dara itu memang pandai sekali menunggang kuda, maka Gonsalo selalu tertinggal di belakang.

Benar saja peringatan Gonsalo tadi. Ketika tiba di lereng bukit, kuda Sarah memasuki sebuah hutan. Matahari sudah naik tinggi dan hutan itu tidak gelap lagi, walaupun memang merupakan hutan liar dengan pohon-pohon raksasa yang sudah tua. Sarah tidak perduli. Hatinya masih panas dan mendongkol.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar