Ads

Kamis, 13 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 71

Tiba-tiba nampak banyak orang berloncatan keluar dari pohon-pohon dan semak-semak. Sarah menahan kudanya agar tidak menabrak orang-orang yang menghadang di depan. Ia terbelalak ketika melihat bahwa ia telah dikepung oleh belasan orang iaki-laki yang kelihatan bengis dan mereka semua memegang golok dengan sikap mengancam!

"Wah, ada bidadari rambut emas kesasar kesini!"

"Aduh cantik sekali!"

"Tangkap saja, tentu uang tebusannya lumayan!"

"Sudah lama aku ingin mendapatkan seorang wanita kulit putih!"

Sikap mereka kasar dan kurangajar, dan Sarah yang pernah mendengar cerita tentang keadaan di bagian dalam negeri asing ini, dapat menduga bahwa tentu mereka inilah yang dinamakan gerombolan perampok!

"Jangan bergerak! Angkat tangan semua atau akan kutembak mampus kalian!" tiba-tiba Kapten Gonsalo berteriak dengan suara lantang. Bahasa daerahnya tidak selancar Sarah, namun kata-katanya cukup jelas dan dimengerti.

Para perampok itu memandang kepada Kapten Gonsalo yang sudah meloncat turun dari atas kudanya. Kapten ini menodongkan pistolnya ke arah mereka, sikapnya gagah dan matanya mencorong. Melihat bahwa musuh hanya seorang saja, walaupun ia memegang senjata api yang telah mereka kenal sebagai senjata rahasia yang menakutkan dan berbahaya.

"Serbu, bunuh setan putih itu!" bentak seorang diantara para perampok dan merekapun berteriak-teriak sambil menerjang ke arah Gonsalo sambil mengayun-ayun golok mereka yang berkilauan saking tajamnya.

"Daar-dar-darrr.....!!" sampai tujuh kali senjata api di tangan Gonsalo meledak dan dia memang penembak mahir yang hebat.

Peluru yang tinggal tujuh butir di pistolnya itu meledak dan robohlah tujuh orang perampok! Akan tetapi, ledakan itu bahkan mendatangkaan lebih banyak lagi perampok dan kini dengan pedang di tangan karena pistolnya sudah kosong dan dia tidak keburu mengisinya dengan peluru baru lagi. Kapten Gonsalo dengan gagah berani menanti datangnya serangan.

Dia memang seorang ahli pedang yang hebat, bukan saja penembak mahir, akan tetapi juga ahli bermain pedang dan juga seorang petinju jagoan. Kini dia dikeroyok belasan orang pedangnya diputar cepat dan terdengar suara berdencingan ketika pedangnya bertemu dengan golok para pengeroyoknya. Tinju kirinya saja bergerak dan seperti seekor harimau terluka Kapten Gonsalo mengamuk.

Tinjunya merobohkan beberapa orang, demikian pula pedangnya. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah perampok-perampok ganas yang pandai silat pula. Pihak musuh terlalu banyak dan Kapten Gonsalo sudah menderita luka di paha dan pangkal lengan kirinya. Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan mati konyol. Apalagi ketika dia mencari dengan pandang matanya tidak dapat menemukan Sarah. Dara itu tidak nampak lagi, entah kemana. Berhasil lari menyelamatkan dirikah? Atau tertawan musuh? Jantungnya berdebar penuh kegelisahan ketika timbul dugaan ini.

Celakalah kalau Sarah tertawan penjahat-penjahat ini! Akan tetapi, dia harus dapat menyelamatkan diri lebih dahulu kalau dia ingin mencari tahu tentang Sarah. Sukur kalau dapat menyelamatkan diri. Kalau tertawanpun, dia harus dapat lolos dulu untuk berusaha menolong dara itu.

Kapten Gonsalo mencabut lagi pistolya dan membentak.
"Angkat tangan atau kutembak kalian!"

Mendengar bentakan ini, para pengeroyok terkejut, ada yang menjatuhkan diri bertiarap, ada yang meloncat jauh ke belakang, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kapten Gonsalo untuk lari ke arah kudanya dan meloncat ke punggung kuda, terus melarikan diri. Dia tidak melihat kuda Sarah, dan para perampok itu tidak berkuda, maka dengan mudah ia melarikan diri tanpa dapat dikejar mereka.

Biarpun paha dan bahunya terluka dan terasa nyeri dan perih, dan hanya dapat ia balut dengan kain untuk menghentikan darah mengucur, namun kapten itu tidak mengenal lelah, mencari Sarah dan jejak kaki kudanya. Akan tetapi, biarpun ia berputar-putar di sekitar bukit itu, ia tidak berhasil menemukan Sarah!






Hari sudah menjelang sore, hatinya gelisah bukan main dan akhirnya terpaksa dia pulang seorang diri. Dia harus cepat melapor kepada Kapten Armando, membawa pasukan dan menyerbu sarang perampok untuk menghancurkan mereka dan merampas kembali Sarah, kalau benar gadis itu mereka tawan. Kalau tidak demikian, dia akan membawa pasukan mencari dara itu sampai dapat. Tentu saja dia mengharapkan Sarah sudah dapat melarikan diri dan pulang lebih dahulu, walaupun kemungkinan ini tipis sekali karena dia tidak melihat jejak kuda dara itu.

Hari telah mulai gelap ketika Gonsalo memasuki pintu gerbang perbentengan Portugis. Di pintu gerbang saja dia sudah dihadang oleh Kapten Armando yang kelihatan gelisah, dan marah.

"Gonsalo! Apa artinya ini? Engkau pulang selarut ini dan mana Sarah?"

Pertanyaan ini saja sudah membuat semangat Gonsalo terbang melayang saking gelisahnya karena dia tahu bahwa Sarah, seperti yang dia khawatirkan, belum pulang! Gadis ini lenyap. Entah ditawan perampok, entah lari kemana. Saking kelelahan, kesakitan dan kekhawatiran, Gonsalo tidak mampu menjawab dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh dari atas punggung kudanya seperti kain basah.

Ketika Gonsalo siuman, dia telah berada di dalam kamar, dirawat oleh seorang dokter dan Kapten Armando duduk pula di kamar itu dengan wajah gelisah. Begitu melihat bawahannya siuman, dia lalu menghampiri.

"Gonsalo, apa yang telah terjadi? Engkau luka-luka, dan pulang seorang diri. Dimana Sarah? Apa yang terjadi?" Suara Kapten Armando penuh kegelisahan.

Gonsalo bangkit duduk,
"Sarah tidak menuruti nasehatku dan melarikan kuda ke perbukitan yang penuh hutan itu, Kapten Armando. Kami dihadang perampok, banyak sekali jumlahnya. Aku telah merobohkan beberapa orang dengan pistolku sampai pelurunya habis, dengan pedang dan tinjuku. Akan tetapi mereka terlalu banyak dan dalam keributan itu aku tidak lagi melihat Sarah. Aku hanya mengharapkan dia dapat melarikan diri, kembali ke benteng atau entah kemana. Aku.... aku terpaksa pulang untuk melapor dan mengambil bantuan pasukan."

"Celaka!'" Kapten Armando bangkit berdiri dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. "Jangan-jangan ia ditawan perampok!"

"Aku akan mencarinya, Kapten. Aku bersumpah akan membawanya pulang. Aku akan meminpin pasukan. Demi Tuhan, akan kutumpas habis perampok-perampok jahanam itu. Akan kucari sekarang juga!" Kapten Gonsalo turun dari pembaringan.

"Kita semua harus mencarinya. Sarah harus dapat ditemukan kembali! Ini tanggung jawabmu, Gonsalo. Aku sendiripun akan mencari dan aku akan minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw. Mereka mengenal para pimpinan perampok di daerah ini. Awas, kalau ada yang berani mengganggu anakku, akan kubasmi habis!"

Kapten Armando marah bukan main. Pada malam hari itu juga, kedua orang perwira ini mengerahkan pasukan yang terdiri dari seratus orang bersenjata bedil, dan merekapun berangkat, dan diam-diam Kapten Armando sudah minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw yang menyanggupi dan mereka dengan caranya sendiri akan ikut menyelidiki dan menyelamatkan Sarah!

Tentu saja penduduk kota Cang-cow menjadi terheran-heran melihat pasukan Portugis malam-malam pergi meninggalkan kota. Akan tetapi kepala daerah sudah diberitahu oleh utusan Kapten Armando bahwa pasukan itu bertugas mencari puterinya yang hilang ketika bertamasya di perbukitan.

Kemanakah perginya Sarah Armando? Ketika para perampok menghadangnya, Sarah terkejut bukan main. Dan ketika Gonsalo mengamuk dengan pistolnya, menembaki para perampok sampai ada tujuh orang roboh, kemudian melihat betapa kapten itu mengamuk dengan pedangnya, diam-diam Sarah kagum bukan main.

Kapten itu memang gagah parkasa. Akan tetapi, ia yang meloncat turun dari kudanya karena kuda itu melonjak-lonjak, tidak dapat membantu dengan tembakan pistolnya. Ia sudah mencabut senjata api itu, akan tetapi para perampok itu mengepung dan mengeroyok Gonsalo, sehingga sukar untuk menembakkan pistol tanpa membahayakan diri Gonsalo. Salah-salah tembakannya meleset dan mengenai kapten itu sendiri.

Selagi ia bingung, tiba-tiba tengkuknya ditotok orang dan iapun roboh lemas. Pistolnya dirampas dan iapun disambar oleh tangan yang kuat dan dilarikan dari situ. Ia berusaha meronta, namun kaki tangannya tidak dapat digerakkan, juga ia tidak mampu mengeluarkan suara.

"Kawan-kawan, aku membawa tawanan ini lebih dahulu kepada pimpinan!" kata penawannya. "Kalian bunuh setan putih itu!"

Dan penawannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang ternyata kuat sekali, membawanya meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu dari tempat perkelahian.

Ternyata sarang perampok tidak berada di bukit yang penuh hutan itu karena si tinggi kurus itu menjalankan kudanya menuruni bukit sebelah selatan, menuju ke bukit batu-batu yang gundul dan gersang, juga jalannya sukar sekali sehingga kuda itupun hanya dapat berjalan lambat.

Si tinggi kurus itu tidak tahu bahwa ada sepasang mata memandang dengan heran ketika dia membawa Sarah yang direbahkan menelungkup di atas punggung kuda, melintang di depannya, mendaki bukit berbatu-batu itu. Orang yang mengintainya itu bersembunyi di balik sebuah batu besar.

Dia seorahg pemuda berpakaian biru dengan caping lebar, Hay Hay! Seperti kita ketahui, tanpa disengaja, Hay Hay mendapatkan atau dititipi surat laporan yang amat penting oleh mendiang Yu Siucai, surat yang mengungkapkan keadaan di Ceng-cow, tentang persekongkolan antara pejabat-pejabat Cang-cow dan orang-orang Portugis, juga dengan para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw.

Karena ada usaha orang-orang lihai hendak merampas surat yang diterimanya sebagai pesan terakhir mendiang Yu Siucai, Hay Hay menjadi ingin tahu sekali dan dia membuka dan membaca surat itu. Ternyata berisi laporan tentang keadaan di Cang-cow yang ada tanda-tanda akan timbul pemberontakan!

Namun, Hay Hay merasa sangsi untuk segera membawa surat itu kepada Menteri Yang Ting Ho atau Menteri Cang Ku Ceng di kota raja seperti dipesankan kakek Yu Siucai itu. Urusan ini teramat penting! Bagaimana kalau laporan itu tidak benar? Dia dapat dituduh membawa laporan palsu, walaupun dia hanya menjadi utusan. Akan tetapi yang mengutusnya sudah tewas. Tentu dialah yang akan bertanggung jawab!

Karena itu, maka dia tidak jadi pergi ke kota raja, melainkan membelok menuju ke kota Cang-cow. Dia ingin melakukan penyelidikan sendiri lebih dahulu sebelum menyampaikan laporan Yu Siucai itu. Kalau memang benar di Cang-cow terdapat persekutuan yang membahayakan keamanan, barulah dia akan membawa laporan itu kepada seorang diantara kedua menteri bijaksana itu. Kalau tidak benar, maka diapun akan merobek-robek saja surat peninggalan orang yang sudah tidak ada di dunia ini.

Demikianlah, pada hari itu, kebetulan sekali dia tiba di kaki bukit batu-batu besar itu dan ketika dia melihat seorang penunggang kuda datang dari depan, membawa seorahg wanita berambut keemasan yang menelungkup di atas punggung kuda, Hay Hay terkejut dan merasa heran. Dia cepat bersembunyi dan mengintai.

Ketika penunggang kuda itu lewat, dia menjadi bingung. Memang benar. Yang menelungkup dan melintang di pungung kuda, di depan penunggang kuda itu, adalah seorang wanita kulit putih yang berambut kunihg keemasan! Apa artinya ini? Dia tidak dapat turun tangan sembarangan saja sebelum mengetahui persoalannya.

Dia sudah mendengar bahwa di Cang-cow memang banyak orang kuklit putih. Dia sendiri sudah beberapa kali melihat orang kulit putih berambut warna-warni dan matanya juga berwarna, keadaan yang membuat dia merasa heran dan juga ngeri. Mereka itu seperti bukan manusia, mirip hantu! Bayangkan saja, kulitnya seperti tanpa darah, berbulu seperti monyet, rambutnya ada yang kuning ada yang putih ada yang merah, matanya ada yang biru ada coklat! Tidak wajar! Apalagi hidungnya. Seperti paruh burung dan pakaiannya juga aneh-aneh!

Akan tetapi belum pernah dia melihat wanita bangsa kulit putih itu. Dan mengapa pula wanita ini menjadi tawanan? Dia tidak dapat melihat wajah wanita itu karena menenungkup dan rambut yang kuning emas itu awut-awutan dan riap-riapan menutupi pipinya yang miring. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang terbungkus pakaian yang ketat dari celana dan kemeja itu, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang yang masih muda usia. Kulit lengan dari siku ke bawah yang tidak tertutup lengan baju itu dan tergantung lemas di perut kuda, nampak lebih mulus, dengan kuku jari tangan yang terpelihara rapi dan meruncing, dicat merah muda.

Biarpun dia tidak mau lancang mencampuri urusan si tinggi kurus yang menawan gadis kulit putih itu, namun hati Hay Hay tertarik dan karena kunjungannya ke Cang-cow memang untuk melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan yang dilakukan oleh orang-orang yang hendak memberontak, diantaranya orang kulit putih, maka tentu saja dia merasa curiga dan diam-diam diapun membayangi kuda yang tidak dapat lari cepat mendaki bukit yang penuh batu itu. Setelah tiba di lereng dekat puncak bukit itu, dimana terdapat banyak guha-guha di dinding batu, kuda itu berhenti.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar