Ads

Minggu, 16 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 76

Hay Hay mengangguk-angguk dan diapun berpikir dengan keras. Kebetulan sekali dia bertemu puteri komandan benteng Portugis, bahkan menyelamatkannya. Hal ini membuka kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan orang-orang Portugis yang di dalam surat laporan Yu Siucia disebut sebagai sekutu para pejabat di Cang-cow yang hendak melakukan pemberontakan, di samping para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau melihat dara ini, dan mendengar ceritanya tentang Kapten Gonsalo, agaknya bangsa Portugis ini adalah bangsa yang gagah perkasa!

"Heii, kenapa engkau melamun saja, Hay hay? Sekarang tiba giliranmu menceritakan keadaan dirimu, siapa engkau sebenarnya dan bagaimana engkau dapat datang kesini dan menyelamatkan aku."

Hay Hay sadar dari lamunannya. Dia harus mempergunakan kesempatan ini untuk mendekati Sarah dan memancing keterangan apa saja yang dapat dia peroleh dari puteri komandan ini.

"Aku? Sudah kukatakan, namaku Hay Hay dan adalah seorang perantau yang sedang berusaha mencari pekerjaan yang layak di Cang-cow. Ketika tadi aku lewat di bukit sana, aku melihat engkau dilarikan si tinggi kurus ke bukit berbatu ini. Aku merasa curiga dan aku paling tidak suka melihat wanita diperhina, maka aku lalu membayanginya dan berhasil menyelundup ke tempat ini. Ketika aku mendapatkan kesempatan, aku memasuki guha dimana engkau ditawan dan kebetulan saja aku dapat menghindarkan engkau dari penghinaan yang akan dilakukan si jangkung itu."

"Jahanam busuk dia!" kata ,Sarah sambil mengepal tinju. "Andaikata engkau tidak muncul, Hay Hay, sudah pasti aku akan menjadi korban kebiadabannya, dan aku akan diperkosanya. Dan sisa hidupku akan kupergunakan untuk membalas dendam kepadanya, entah dengan cara bagaimanapun juga!”

Hay Hay bergidik. Dara muda yang jelita ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa.
"Sarah, kukira, para pemimpin perampok menawanmu dengan maksud untuk menjadikan engkau sebagai sandera dan akan minta uang tebusan yang besar jumlahnya. Hanya si jangkung tadi sajalah yang hendak berbuat tidak senonoh dan kukira dia melakukannya diluar tahu para rekannya, yaitu empat orang pimpinan yang lain. Kulihat engkau sama sekali tidak takut menghadapi orang-orang buas itu."

"Hemm, kenapa takut? Baik Kapten Gonsalo sudah tewas atau mampu meloloskan diri aku yakin bahwa ayah tentu akan memimpin pasukan untuk mencariku, dan kalau pasukan ayah dapat tiba di tempat ini, tentu seluruh perampok itu akan dibasmi habis!"

"Sarah, sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu." Hay Hay mengamati wajah yang jelita itu.

Sarah balas memandang dan alisnya berkerut, pandang matanya berubah heran dan menyelidik.

"Hay Hay, engkau seorang diri berani menyusup ke tempat berbahaya ini dan menolongku. Sepatutnya akulah yang kagum kepadamu atas keberanian, kegagahan dan kemuliaan hatimu. Bukan engkau yang mengagumiku. Kenapa engkau mengatakan kagum sekali kepadaku?"

Hay Hay tersenyum. Dia tidak sekedar merayu. Dia memang kagum kepada gadis kulit putih ini, kagum akan kecantikannya, kagum akan keberaniannya.

"Kenapa? Sikapmu begini gagah berani, sedikitpun engkau tidak penakut dan tidak cengeng seperti kebanyakan wanita. Dan engkau begini cantik jelita dan manis. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang gadis sejelita engkau, Sarah. Rambut di kepalamu seperti mahkota emas, seolah-olah mengeluarkan cahaya. Dan wajahmu amat manis, terutama sekali sepasang matamu. Bagaikan dua buah bintang kejora, dan warnanya demikian penuh rahasia, kebiruan seperti lautan yang dalam. Bentuk dahimu, pipimu, hidungmu, dagumu dan terutama bibirmu! Bukan main, seperti engkau inilah kiranya wajah bidadari dari dongeng. Dan bentuk tubuhmu! Engkau wanita yang sempurna kecantikanmu. Sarah, dan aku kagum bukan main."

Kerut di alis itu semakin mendalam dan kini sepasang mata itu menyinarkan kemarahan,

"Hay Hay, kelirukah penilaianku terhadap dirimu? Tadi aku menilaimu sebagai seorang pendekar, seorang yang gagah perkasa dan berbudi mulia! Apakah engkau ternyata hanya seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar!"

"Hemmm, kenapa engkau menganggap aku mata keranjang dan kurang ajar, Sarah?"

"Engkau mencoba untuk merayu aku, ya? Hay Hay, biarpun kuakui bahwa engkau telah menolongku, akan tetapi jangan kira bahwa setelah menolongku, engkau dapat berbuat sesuka hatimu, dapat merayu dan menggodaku!"

"Wah, sungguh sayang, Sarah. Pujianku kepadamu tetap. Engkau cantik jelita dan gagah perkasa, akan tetapi sekarang setelah engkau bicara, sayang sekali harus kukatakan bahwa engkau berprasangka buruk dan karenanya bodoh sekali!"

Bagaimanapun juga, Sarah tetap seorang wanita. Tidak ada wanita yang tidak haus akan pujian. Baik pujian itu sejujurnya ataupun hanya rayuan, tetap saja segala macam bentuk pujian membesarkan hati seorang wanita, dan mengangkat harga dirinya. Biarpun tadi marah-marah, tetap saja di sudut hatinya, Sarah merasa senang dan bangga mendengar pujian pria yang dikaguminya, yang telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya yang amat hebat. Kini, mendengar pemuda itu mengatakan ia berprasangka buruk dan bodoh, tentu saja ia menjadi kecewa.

"Hay Hay……..!"

“Ssttt……., jangan berteriak…….”

Sarah teringat,
"Hay Hay," katanya, kini lirih. "Engkau sombong! Engkau mengatakan aku berprasangka buruk dan bodoh? Betapa sombongnya engkau!"

Hay Hay tersenyum.
"Nah, itulah bukti kebodohanmu. Ketika aku memujimu, engkau marah dan menganggap aku merayu dan menggoda, mata keranjang. Ketika aku mengatakan engkau berprasangka buruk dan bodoh engkau mengatakan aku sombong."






"Tentu saja! Engkau seorang laki-laki, dan baru saja menolongku. Sekarang engkau memuji-muji kecantikanku dengan kata-kata yang muluk, bukankah itu rayuan gombal namanya?"

"Sarah, rayuan hanya dikeluarkan oleh orang yang ingin menjilat dan menyenangkan ia yang dirayunya, dengan pamrih tertentu. Akan tetapi aku sama sekali tidak merayumu. Kau lihat, aku mempunyai sepasang mata yang sehat dan tidak cacat, bukan?"

Sarah memandang heran.
"Tentu saja, biar bentuk matamu agak sipit, namun sinarnya mencorong seperti mata naga."

"Eh, engkau sudah melihat mata naga?"

"Dalam dongeng yang kubacanya. Nah, ada apa dengan matamu?"

"Aku mempunyai sepasang mata yang sehat. Aku melihat engkau dan pandang mataku melihat betapa wajahmu cantik jelita. Aku mengatakannya dengan terus terang, karena memang aku menyukai keindahan. Aku menggambarkan kecantikanmu seperti kalau aku melihat setangkai kembang yang indah dan mengaguminya. Apakah ini yang kau namakan aku mata keranjang dan merayu? Aku hanya mengemukakan pendapat secara jujur. Engkau memang cantik jelita dalam pandanganku. Apakah aku harus mengatakan bahwa engkau buruk? Apakah kejujuranku ini kau anggap sebagai rayuan gombal?"

Kini pandang mata gadis itu menjadi terbelalak. Agaknya ia bingung. Belum pernah ia mendengar pendapat seorang pria seperti yang baru saja didengarnya.

"Engkau ini…… aneh, Hay Hay! Benarkah pujianmu tadi bukan rayuan, melainkan pernyataan yang jujur? Apakah di balik pujian itu tidak ada suatu pamrih, suatu dorongan berahi? Apakah engkau tidak ingin menyentuhku, memeluk dan menciumku?"

Tiba-tiba Hay Hay merasa betapa mukanya panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya berubah merah. Untung bahwa sinar penerangan yang memasuki kamar batu itupun kemerahan sehingga perubahan warna pada wajahnya tidak akan nampak. Dia menjadi salah tingkah mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Dia harus bersikap sejujurnya. Gadis ini berbeda dengan gadis-gadis bangsanya. Demikian terbuka dan agaknya tidak pantang bicara tentang berahi. Dia harus menarik napas panjang beberapa kali untuk mengumpulkan keberaniannya sebelum bicara.

"Kau ingin aku jujur, bukan? Jangan marah kalau jawabanku yang jujur akan menyinggung perasaan hatimu."

"Kalau engkau tidak jujur dan membohongiku, barulah aku akan tersinggung, Hay Hay."

"Baiklah. Terus terang saja, kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuhmu, memeluk dan menciumi, jawabnya sama dengan kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuh, meraba dan mencium setangkai bunga yang indah mengharum? Aku akan berbohong kalau aku mengatakan tidak, Sarah. Engkau begini cantik jelita seperti setangkai bunga, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa aku mempunyai niat tidak senonoh kepadamu. Aku menyayangi keindahan. Aku akan menyentuh dan mencium setangkai bunga karena mengaguminya, akan tetapi aku tidak akan memetiknya dan merusaknya. Engkau mengerti?"

Hay Hay menduga bahwa gadis itu akan tersinggung dan marah. Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali!

“Aku mengerti, Hay Hay, dan aku semakin kagum kepadamu. Engkau jujur dan jantan. Nah, kalau memang engkau ingin menyentuh, memeluk dan menciumku, kenapa tidak kau lakukan itu?”

"Ehhh……!" Hay Hay terbelalak mengamati wajah gadis itu. Mengejekkah gadis itu?

"Kenapa, Hay Hay? Bukankah engkau ingin memeluk dan menciumku? Nah, aku akan girang sekali kalau kau lakukan itu. Ataukah ucapanmu itu hanya basa-basi belaka dan engkau tidak berani melakukan apa yang kau katakan?"

"Aku takut engkau akan marah kalau kulakukan itu, Sarah."

"Kenapa marah? Kalau memang engkau jujur, aku tidak akan marah bahkan aku akan merasa bangga dan girang sekali. Atau engkau hanya pura-pura jujur saja?"

Bukan main! Hay Hay tercengang. Belum pernah dia bertemu seorang gadis seperti ini. Kalau dia tidak yakin akan kejujuran Sarah, tidak yakin akan kesucian hatinya dan melihat betapa Sarah mati-matian mempertahankan kehormatannya, bahkan akan membalas dendam secara mengerikan kalau sampai kehormatannya dicemarkan, tentu dia akan mengira gadis ini murahan! Begitu saja menantang seorang laki-laki untuk memeluk dan menciumnya untuk menimbulkan kekagumannya dan kejujurannya! Namun, Hay Hay tahu bahwa menghadapi gadis seperti ini, diapun harus berani membuktikan kejujurannya. Apalagi, bukti itu akan amat menyenangkan!

"Kalau begitu, maafkan aku!" katanya dan diapun bangkit, menghampiri Sarah, duduk di dekatnya dan diapun merangkul dengan perasaan sayang, lalu dengan lembut dia mencium dahi yang kulitnya putih seperti susu itu.

Ciuman yang hangat dan mesra. Dalam sentuhan antara hidung dan bibir Hay Hay dengan kulit dahi yang halus dan harum aneh oleh bedak dan keringat itu terkandung perasaan sayang dan kagum dari hati Hay Hay, mendatangkan kehangatan pada hidung dan bibirnya. Kedua lengannya merangkul pundak dan leher dengan lembut namun kuat, seolah dia hendak melindungi wanita asing yang membuatnya kagum ini.

Ketika tadi Hay Hay mendekatkan mukanya, Sarah sudah memejamkan mata dan membuka bibir, menanti ciuman hangat. Ia masih memejamkan mata ketika ciuman itu jatuh ke dahinya dan iapun teringat kepada ayahnya yang biasanya juga mencium dahinya dengan kasih sayang. la membiarkan dirinya dipeluk ketat, membiarkan pemuda pribumi itu sejenak menempelkan bibir dan hidung didahinya, dengan pasrah.

Hay Hay menarik kembali mukanya dan melepaskan rangkulannya dengan lembut, memandang wajah ayu yang masih memejamkan mata. Dahulu, kalau dia mencium seorang gadis, maka gadis itu akan tersipu malu, membuang muka ke samping atau menunduk.

Akan tetapi, Sarah masih tetap tengadah, memejamkan mata dan mulutnya tersenyum dengan bibir setengah terbuka. Sama sekali tidak nampak canggung atau malu-malu. Perlahan-lahan Sarah membuka matanya memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sejenak dan pesona itu pecah ketika Sarah tertawa! Tawanya juga lepas walaupun suaranya hanya lirih karena ditahan. Deretan giginya yang rapi dan putih hampir nampak semua ketika sepasang bibir yang merah itu merekah.

Hay Hay mengerutkan alisnya, wajahnya terasa panas sekali. Dia merasa diejek! Apanya yang salah pada ciumannya? Kenapa Sarah menertawakannya? Tawa itu jelas tawa yang mengandung arti, seperti orang melihat sesuatu yang amat lucu.

"Sstt, jangan keras-keras tertawa, Sarah. Katakan, kenapa engkau menertawakan aku?"

Sarah berhenti tertawa dan memegang lengan Hay Hay.
"Tentu saja aku tertawa karena engkau lucu. Engkau mengingatkan aku kepada ayahku." katanya sambil menahan tawa dengan senyum lebar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar