Ads

Selasa, 18 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 81

Sarah menahan kendali kuda dan membiarkan kudanya berjalan congklang. Ketika kuda itu berjalan congklang seperti itu, Hay Hay merasa semakin tersiksa. Tubuhnya terangkat angkat seperti diadu dengan tubuh Sarah! Dia tidak dapat bertahan lagi dan melompat turun.

"Eh, kenapa?" tanya Sarah sambil menahan dan menghentikan kudanya.

Wajah Hay Hay seperti kepiting direbus.
"Tidak apa-apa, aku….. aku hanya kasihan kepada kudamu…… lebih baik aku berjalan saja."

Sarah menatap wajah Hay Hay penuh perhatian, dan tiba-tiba ia tertawa, tawa yang bebas lepas. Hay Hay mengerutkan alisnya, dan dari pandang mata gadis itu dia dapat menduga bahwa agaknya Sarah tentu dapat mengerti apa yang menyiksanya dan yang memaksanya turun. Dia semakin tersipu.

"Sarah, kenapa engkau tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku, Sarah?"

Sarah menghentikan tawanya dan tersenyum kepadanya.
"Engkau memang lucu, Hay Hay. Lihat, kudaku tidak apa-apa, kenapa engkau yang ribut-ribut? Kudaku ini kuat sekali. Naiklah, mari kita lanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Kalau engkau berjalan kaki, akupun akan berjalan kaki. Kenapa sih kalau berboncengan dengan aku? Apakah engkau malu?"

Hay Hay tersenyum, di dalam hatinya mengeluh. Gadis ini memang aneh, agaknya memang tidak akan sungkan-sungkan lagi dengannya. Tentu saja dia malu untuk mengaku betapa himpitan tubuh diantara mereka tadi membuat dia tidak dapat menahan gejolak berahinya.

"Tidak apa-apa, Sarah, hanya…… tidak enak dilihat orang kalau kita menunggangi seekor kuda berdua, akan dianggap tidak mempunyai perasaan kasihan kepada kuda ini."

Tiba-tiba Sarah tertawa lagi.
"Aih, Sarah, benar-benarkah engkau mentertawakan aku?"

Sarah menggeleng kepalanya.
"Hay Hay, ucapanmu itu mengingatkan aku akan dongeng kuno yang pernah diceritakan pelayan kami kepadaku," katanya menahan tawa.

"Dongeng apa?"

Hay Hay cepat menyambut karena dia mendapatkan bahan percakapan lain untuk mengalihkan urusan berboncengan itu.

"Dongeng tentang dua orang, seperti kita ini, yang hanya mempunyai seekor kuda, mereka adalah suami isteri yang melakukan perjalanan, seperti kita pula. Nah, si suami mendesak agar isterinya naik kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat suami isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan suaminya berjalan sampai bermandi peluh. Nah, mendengar omelan itu, sang isteri segera turun dan mendengar agar suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang isteri kini yang berjalan menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan seorang wanita setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami isteri itu, lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya berjalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan betapa tidak pantasnya sikap suami itu. Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya ke atas punggung kuda dan mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi. Akan tetapi kembali mereka bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan dengan marah menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan kuda mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini, suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan tubuh di bawah. Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka disoraki dan ditertawakan orang!"

Sarah mengakhiri ceritanya dengan tertawa geli. Hay Hay juga tertawa.
"Hay Hay tidakkah sama benar keadaan Itu dengan keadaan kita kalau engkau menolak untuk berboncengan? Kalau engkau jalan kaki, aku tidak mau naik kuda, sebaliknya kalau aku yang berjalan kaki, jelas engkau tidak mau naik kuda. Dan sekarang engkau menolak untuk berboncengan. Apakah sebaiknya kita mencari bambu dan memikul kuda ini seperti suami isteri itu? Heh-heh-hi-hik, alangkah akan lucunya!" kata Sarah.

Hay Hay juga tertawa.
"Sarah, rasanya tidak pantas kalau aku sebagai laki-laki harus membonceng."

"Kalau begitu aku yang membonceng!”

Hay Hay menghela napas. Sukar untuk membantah gadis yang lincah dan pandai berdebat ini.

"Baiklah engkau yang membonceng."

Diapun melompat ke atas punggung kuda, ke depan Sarah yang sudah menggeser duduknya ke belakang. Mereka melanjutkan perjalanan dan biarpun tubuh Sarah menempel ketat di belakangnya dan kedua lengan gadis itu merangkul pinggangnya, namun Hay Hay tidak merasa begitu tersiksa seperti tadi. Bagaimanapun juga, setan seperti berbisik-bisik, mengingatkan dia akan perasaan aneh di tubuh belakangnya yang berhimpitan dengan tubuh Sarah, sehingga terpaksa dia harus mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan.

Untuk membuyarkan perhatiannya yang selalu terarah kepada perasaan di punggungnya, Hay Hay mengajak Sarah bercakap-cakap. Dia tahu bahwa setelah berhasil dengan penyelidikannya, dia akan ke kota raja menyerahkan surat laporan Yu Siucai kepada Menteri Yang Ting Hoo atau Cang Ku Ceng. Dan tentu pemerintah di kota raja akan merigirim pasukan untuk menggempur Cang-cow dan mengusir orang-orang Portugis. Akan tetapi perang menumpas para pemberonrak. Dia amat mengkhawatirkan Sarah.

"Sarah, setelah engkau kembali kepada ayahmu, kita akan saling berpisah."






Kedua lengan yang memeluk pinggangnya itu semakin kuat, seolah gadis itu tidak ingin berpisah darinya.

"Akan tetapi, bukankah engkau hendak mencari pekerjaan, Hay Hay? Aku dapat membantumu, aku dapat minta kepada ayah agar engkau diberi pekerjaan. Dengan demikian, kita akan dapat selalu berdekatan. Aku ingin persahabatan kita ini dapat berlanjut selamanya……”

“Sarah, hal itu tidak mungkin, dan terima kasih atas maksud baikmu. Akan tetapi, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, Sarah. Dan aku ingin meninggalkan pesan yang teramat penting bagimu."

Sarah adalah seorang gadis yang berhati baja dan tabah. Akan tetapi membayangkan bahwa setelah ia kembali kepada ayahnya ia akan berpisah dari penolongnya yang amat dikaguminya ini, ingin rasanya ia menangis.

"Katakan, pesan apakah itu?"

"Engkau tentu tahu sendiri betapa bangsamu, orang-orang Portugis, mengadakan persekutuan dengan para pembesar di Cang-couw, juga dengan para bajak laut Jepang. Mereka bersikap memberontak terhadap pemerintah di kota raja. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan perang. Pemerintah tidak tinggal diam dan pasti Cang-couw akan diserbu."

Sarah terkejut.
"Ah, begitukah? Aku malah tidak tahu akan hal itu, Hay Hay. Aku tidak pernah mencampuri urusan politik ayah. Setahuku menurut ayah, kepala daerah Cang-couw menghukum mati banyak pejabat penting yang dituduh memberontak. Bukankah itu berarti bahwa kepala daerah Cang-couw setia kepada rajanya?" .

"Hemm, itu pemutar balikan kenyataan, Sarah. Akan tetapi engkau tidak akan mengerti. Pesanku hanya ini, yaitu agar engkau segera meninggalkan Cang-cow, kembalilah ke negerimu sebelum terlambat, sebelum terjadi perang. Karena kalau terjadi perang, aku sungguh amat mengkhawatirkan keselamatanmu."

"Bagaimana mungkin, Hay Hay? Aku tidak dapat meninggalkan ayah, apalagi ada Asron……"

"Nah, bukankah pernah kau ceritakan bahwa kekasihmu itu bertahan disini hanya karena engkau? Bahwa ayahmu selalu menekannya dan tidak pernah memberi kenaikan pangkat? Ajaklah dia pulang saja ke negeri kalian, Sarah. Aku tidak ingin mendengar engkau menjadi korban perang. Pulanglah dan hiduplah berbahagia dengan kekasihmu itu disana. Gadis seperti engkau ini tidak layak menjadi korban dalam perang yang kejam, engkau layak untuk hidup berbahagia di samping pria yang mencintamu. Ingat baik-baik pesanku ini, Sarah……”

Sarah tidak sempat menjawab lagi karena tiba-tiba bermunculan banyak kuda yang mengepung mereka dan ternyata mereka adalah pasukan orang Portugis yang dipimpin oleh Kapten Armando dan Kapten Gonsalo!

Kapten Gonsalo dengan pistol ditodongkan ke arah Hay Hay, sudah mengajukan kudanya dan membentak.

"Jahanam busuk, angkat tangan atau kuhancurkan kepalamu yang terkutuk dengan peluru pistolku!"

"Kapten Gonsalo, hentikan kata-katamu yang busuk dan kotor itu!" bentak Sarah dengan marah sekali. "Dia adalah seorang pendekar, dan dialah yang telah menyelamatkan aku dari tawanan para gerombolan penjahat! Hati-hati kau dengan mulutmu!"

"Hemm, mereka semua adalah orang-orang biadab! Mereka layak dibunuh!"

Gonsalo masih menodongkan pistolnya ke arah Hay Hay yang bersikap tenang saja sambil tersenyum.

"Kapten Gonsalo, bersabarlah dan jangan lancang tangan," kata Kapten Armando. "Sarah, turunlah dan kesinilah, biar kami yang akan menyelesaikan urusan ini. Aku girang sekali melihat engkau selamat."

Sarah tidak mau turun, akan tetapi Hay Hay yang biarpun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, dapat menduga kehendak kapten setengah tua yang rambutnya keemasan dan matanya biru seperti rambut dan mata Sarah itu.

"Sarah, turunlah dan pergi kepada ayahmu. Jangan lupakan pesanku tadi."

"Tapi, Hay Hay….. aku khawatir mereka mengganggumu……"

“Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Hay Hay yang sejak tadi telah menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya.

Sarah percaya kepada Hay Hay dan iapun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah tentang ciuman dan diapun tersenyum.

"Jahanam biadab, sekarang terimalah hukumanmu!" Kapten Gonsalo membentak dan mengacungkan pistolnya.

"Gonsalo, jangan…..!” Sarah menjerit.

Hay Hay tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo.
"Kapten Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?"

Gonsalo tertegun.
“Ular……? Ehhh….. ular….!!"

Matanya terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desis dan siap mematuk hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya.

Semua orang yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan!

Sarah lalu cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo dan iapun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang terdengar oleh semua orang.

"Kapten Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo, majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!"

"Sarah…..!" teriak Kapten Armando kaget.

"Biarlah dulu, Ayah!"

Sarah berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini. Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak kepalanya!

"Sarah, aku hanya bermaksud membelamu……" dia berkata.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar