Ads

Kamis, 20 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 86

Kita dianugerahi hati akal pikiran yang mengangkat kita menjadi mahluk termulia. Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu. Namun, justeru hati akal pikiran manusia yang menimbulkan malapetaka di dunia ini, karena nafsu yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana?

Jalan satu-satunya hanya kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran dimana seluruh anggauta tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Kalau sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan.

Setelah dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah makan terbesar, Hek Tok Siansu menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena diisi banyak makanan dan arak.

"Heh-heh-heh, kalian dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, engkau tadi mengatakan kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taijin, siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik kepadaku?"

"Lo-cian-pwe, nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya bernama Liong Bi. Kami berdua bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang."

"Hemm, lalu mengapa kalian bersikap baik kepada piceng? Pinceng Hek Tok Siansu tidak pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik kepadaku?"

Liong Ki dan Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang sakti dan berwatak aneh. Terhadap orang seperti itu mereka harus bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama sekali tidak boleh dijadikan lawan.

Dari julukan kakek itu saja mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya saja Racun Hitam (Hek. Tok), dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya.

"Lo-cian-pwe, kami kakak beradik amat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai. Begitu bertemu dengan Lo-cian-pwe, kami dapat menduga bahwa Lo-cian-pwe adalah seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Lo-cian-pwe merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan kami yang dangkal." kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat.

Kakek gundul gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang makin mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk dan mengamati kedua orang muda itu.

"Kalian mengaku sebagai pembantu-pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang amat terkenal sebagai seorang pembantu kaisar yang amat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa ?”

"Lo-cian-pwe, harap jangan salah mengerti," kata Liong Ki cepat. "Kami hanya ingin mengajak Lo-cian-pwe untuk menghadap Cang Tai-jin. Beliau adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai tingkat orang-orang pandai. Kalau Lo-cian-pwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Tai-jin. Pasti Lo-cian-pwe akan diterima dengan senang."

"Heh-heh-heh, pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apalagi yang remeh. Kalau kaisar sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan."

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang.
"Lo-cian-pwe, pendapat Lo-cia-pwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua. Kami sendiripun ingin mendapatkan kedudukan di istana kaisar, akan tetapi tidaklah mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping Cang Taijin, akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah, Lo-cian-pwe, kami perkenalkan Lo-cian-pwe dengan Cang Taijin dan akan kami akui sebagai guru kami. Kami siap membantu Lo-cian-pwe agar kita bertiga kelak akan mampu menduduki tempat yang berarti di istana kaisar.”

Hek Tok Siansu merasa tertarik. Sejak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun lamanya bersama mendiang Ban Tok Siansu, dia tidak pernah hidup senang, selalu dalam perantauan yang membosankan, kadang harus menahan rasa lapar dan haus, kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang pantas. Kini Ban Tok Siansu sudah tidak ada, dan dia sendiripun sudah tua. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya dalam kemuliaan dan kesenangan? Pula, selama puluhan tahun dengan susah payah dia mempelajari segala macam ilmu itu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau hasilnya tidak dinikmati?






Akan tetapi, yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu pantas mengaku dirinya sebagai guru mereka.

"Omitohud, kalau kalian mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Akan tetapi pinceng harus mengenal benar kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian murid sendiri? Mari kita ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak ragu-ragu lagi."

Setelah berkata demikian, kakek itu keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan Liong Bi.

Mereka tiba di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti dan Hek Tok Siansu tertawa senang.

"Nah, sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin mengaku sebagai murid pinceng." tantangnya sambil berdiri tegak, perut gendutnya menonjol ke depan, kedua lengan yang pendek tergantung di kedua sisi badan.

"Kak Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Lo-cian-pwe Hek Tok Siansu lebih dahulu." kata Liong Bi dan iapun melangkah maju menghampiri kakek itu.

Hek Tok Siansu tersenyum. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini cukup gagah karena mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan hatinya dan membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu.

"Liong Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat menilalnya."

"Baik, Lo-cian-pwe. Sambut seranganku!"

Liong membentak dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat sekali. Kedua tangannya menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara bertubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena iapun ingin menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan sekutunya.

Kakek itu diam-diam terkejut dan kagum. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan kecepatan yang jauh diatas dugaannya semula. Dia masih menggeser kaki ke belakang dan kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu. Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya! Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya.

"Dukk!"

Akibatnya, tubuh Liong Bi terpental dan iapun membuat gerakan salto jungkir balik tiga kali, sedangkan tubuh Hek Tok Siansu terdorong mundur dua langkah.

“Omitohud……..engkau boleh juga, Nona!” kakek itu memuji. "Coba kau sambut seranganku ini!"

Dan kini kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar itu menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah. Gerakannya tidak nampak terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu mendatangkan angin dahsyat yang menggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon rontok!

Liong Bi terkejut dan ia mempergunakan gin-kangnya untuk berkelebatan ke sana sini, menghindarkan diri dari sambaran tangan dan ujung lengan baju itu. Bahkan Liong Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti yang telah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan menguntungkan sekali kalau dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini menjadi sekutu dan kawan.

Di lain pihak, Hek TokSiansu menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang dahsyat ini.

Akan tetapi, gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih! Untung saja ia tadi maju seorang diri. Kalau kakaknya memiliki kepandaian seperti adiknya, dan mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Kiranya dia berhadapan dengan dua orang muda yang hebat; yang tidak akan mengecewakan untuk dijadikan sekutu atau pembantunya.

Ketika dahulu dia berdua dengan Ban Tok Siansu, dialah yang menjadi pembantu karena Ban Tok Siansu sebagai suhengnya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda ini bekerja sama dengan dia, apalagi mengaku muridnya, berarti mereka ini dapat menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan!

Tiba-tiba Hek Tok Siansu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah dan gerakan tubuhnya berubah. Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu menyerang bagaikan gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman keluar dari gulungan serangan itu!

Liong Bi terkejut bukan main. Iapun bertanding dengan sungguh-sungguh karena ia hendak menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan iapun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh, yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini ia pelajari dari mendiang tiga orang gurunya, yaitu Pel-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua tangannya ketika ia memainkan ilmu ini.

Akan tetapi, begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek Tok Siansu, Liong Bi terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung.

“Brettt……!!”

Liong Bi meloncat ke belakang sambil berteriak kaget dan mukanya berubah merah, kedua tangannya menutupkan kembali bajunya yang terobek dan terbuka.

“Aih, Lo-cian-pwe nakal………” katanya manja.

“Omitohud, sekali tanganku menyerang, harus menjatuhkan korban. Karena pinceng tidak ingin merobohkanmu, maka terpaksa pinceng merobek baju itu sebagai gantinya." kata Hek Tok Siansu dan dari sikap dan bicaranya saja tahulah Liong Bi bahwa kakek ini tidak dapat disamakan dengan mendiang tiga orang gurunya.

Kakek kulit hitam ini tidak menjadi hamba nafsu berahinya, dan penyobekan bajunya tadi bukan karena watak cabulnya, melainkan untuk menunjukkan bahwa dia lebih unggul.

"Ilmu kepandaian Lo-cian-pwe hebat, aku mengaku kalah." kata Liong Bi dengan sejujurnya karena ia maklum kalau mereka bertanding sungguh-sungguh, ia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini.

Hek Tok Siansu tertawa senang.
"Engkaupun hebat, Liong Bi, dan pinceng tidak akan malu diakui sebagai guru olehmu. Nah, Liong Ki, sekarang giliranmu. Majulah dan mari kita main-main sebentar”.

"Baik, Lo-cian-pwe. Sambutlah seranganku ini!"

Liong Ki menerjang maju dan seperti juga Liong Bi, dia tidak main-main, mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluarkan ilmu silat yang ampuh, untuk mengalahkan lawan. Karena dia tadi melihat betapa gerakan kakek itu ketika menyerang dan mengalahkan Liong Bi mendatangkan angin dan gelombang dahsyat, maka begitu menyerang diapun menggunakan ilmu Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru angin)! Gerakannya cepat dan mendatangkan angin yang cukup dahsyat.

"Omitohud…...!!”

Hek Tok Siansu berseru kaget dan kagum. Kalau tadi dia mengenal ilmu silat yang dimainkan Liong Bi berasal dari Pek-lian-kauw, sekarag dia menghadapi permainan silat yang sama sekali tidak dikenalnya, namun yang dahsyatnya bukan main. Pemuda ini ternyata lebih lihai daripada adiknya! Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa ilmu yang dimainkan Liong Ki itu adalah ilmu silat yang dia pelajari dari Si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar