Ads

Kamis, 20 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 90

Mayang tertegun, mukanya menunduk, jantungnya berdebar. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Cang Sun akan membuat pengakuan cinta yang demikian terbuka dan jujur. Di dasar hatinya, ia merasa bangga dan senang karena ia sendiri memang mengagumi pemuda ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia dapat membalas cinta Cang Sun? Banyak hal mengenai dirinya yang tidak diketahui pemuda bangsawan itu.

Pertama, ia adalah anak Ang-hong-cu, seorang penjahat besar yang amat terkenal. Ke dua, ia hidup sebatangkara, seorang gadis miskin dengan seorang ibu yang janda dan tinggal jauh di puncak Awan Kelabu, di pegunungan Ning-jing-san dekat perbatasan Tibet. Dan yang ketiga, ini merupakan hal yang paling gawat, ia memasuki istana keluarga Menteri Cang secara curang dan rendah, betapa Liong Ki dan liong Bi bersiasat menolong Cang Sun sehingga mereka diterima bekerja disitu dan ia terbawa masuk. Semua ini harus ia ceritakan kepada cang Sun! Sebelum pemuda itu mengetahui segala hal ini dan mau memaafkannya, bagaimana mungkin ia berani menerima uluran cintanya?

"Mayang, kenapa engkau diam saja dan hanya menunduk? Pandanglah aku, jawablah. Aku telah bersikap sejujurnya kepadamu dan kuharap engkaupun bersikap jujur. Aku telah siap andaikata aku harus menderita gagal cinta untuk kedua dan terakhir kali. Kalau engkau memang tidak ada perasaan cinta kepadaku dan tidak dapat menerima cintaku, katakan saja terus terang, aku tidak akan menyalahkanmu. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan berilmu tinggi sedangkan aku hanya seorang pemuda yang lemah……."

“Kongcu, jangan berkata demikian.”

Mayang memotong cepat, mengangkat muka dan memandang dan suaranya agak gemetar,

"biarpun engkau seorang pemuda sastrawan yang tidak pernah belajar ilmu silat, namun aku kagum kepadamu, aku menghormatimu dan aku suka padamu. Akan tetapi tentang cinta, bagaimana seorang gadis seperti aku ini berani……….? Bagaikan seekor burung gagak dengan seekor burung dewata. Kongcu, berilah aku waktu beberapa hari. Pernyataan Kongcu ini terlalu tiba-tiba bagiku, tak tersangka-sangka, membuat aku bingung………”

Cang Sun mengangguk dan tersenyum, lalu bangkit berdiri.
"Baiklah, Mayang. Aku juga mengerti bahwa sebagai seorang gadis, tidaklah semudah itu mengaku tentang cinta. Pergunakan waktumu untuk berpikir dan mengambil keputusan, aku tidak tergesa-gesa. Dan kalau engkau merasa sungkan untuk menyampaikannya kepadaku, boleh kau sampaikan lewat adikku Hui-moi, karena engkau lebih akrab dengannya. Nah, aku harus pergi sekarang. Tidak baik bagimu kalau terlihat orang lain kita berdua saja disini.”

Pemuda itu meninggalkan taman dan Mayang mengikuti langkahnya yang tegap dari belakang. Jantungnya berdebar keras. Dia mencintaku! Cang Sun mencintaku! Demikian hati itu bersorak. Akan tetapi, ia merasa rendah diri, juga merasa khawatir sekali. Bagaimana kalau kelak Cang Sun mengetahui siapa dirinya lalu memutuskan cintanya? Mengapa tidak tadi saja ia berterus terang?

Akan tetapi, sekali berterus terang, ia harus membongkar semua rahasia Liong Ki dan Liong Bi dan tentu terjadi kegemparan. Dan rasanya terlalu berat baginya kalau perasaan bahagia karena pengakuan cinta Cang Sun ini dihancurkan oleh kenyataan tentang dirinya yang membuat Cang Sun menjauhkan diri. Mengerikan kalau sampai terjadi demikian. Biarlah untuk sementara waktu ini ia menikmati perasaan ini, perasaan bahwa ia dicinta oleh Cang Sun, pemuda yang diam-diam dikaguminya itu.

Malam itu di kamarnya Mayang tak dapat tidur pulas sampai jauh malam, hanya rebah telentang sambil melamun. Setelah akhirnya ia pulas, ia bermimpi indah bersama Cang Sun ia berlayar mengarungi samudera luas, berdua saja dan segala kebahagiaan menyelimuti mereka berdua.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Menteri Cang memanggil Liong Ki, Liong Bi dan juga Mayang menghadap.

“Kami hari ini akan melaksanakan tugas perjalanan ke utara yang akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Oleh karena itu, keselamatan keluarga kami disini kami serahkan perlindungannya kepada kalian bertiga.” Demikian, pesan pembesar itu yang di sanggupi oleh tiga orang pembantunya.

Kepergian Menteri Cang membuat Mayang lebih Waspada mengamati gerak-gerik Liong Ki dan Liong Bi, juga Hek Tok Siansu yang tinggal di kamar Liong Ki. Akan tetapi mereka bertiga itu tidak memperlihatkan sikap mencurigakan sehingga hatinya merasa lega. Iapun memesan kepada Cang Hui dan Cin Nio untuk berhati-hati menjaga diri.






Mayang belum berani menceritakan kepada Cang Hui akan pernyataan Cang Sun kepadanya. Apalagi Cin Nio. Ia bahkan merasa kasihan sekali kepada Cin Nio. Cang Hui pernah bercerita kepadanya betapa Cin Nio mencinta Cang Sun dan mengharapkan menjadi jodoh Cang Sun seperti yang diharapkan orang tua pemuda itu, namun Cang Sun tidak membalas cintanya.

Cinta Cang Sun tadinya hanya pada Cia Kui Hong, namun kemudian berpindah kepadanya karena Kui Hong tidak membalas perasaannya itu. Cin Nio adalah seorang gadis yang baik dan Mayang merasa kasihan, tidak sampai hati untuk menceritakan tentang Cang Sun.

Malam itu adalah malam keempat semenjak Menteri Cang meninggalkan istananya. Cang Hui dan Cin Nio mengundang Mayang untuk makan malam di kamar mereka. Dua orang gadis bangsawan ini memang tidur sekamar, sebuah kamar besar dengan dua buah tempat tidur mereka. Makan malam di hidangkan di kamar itu oleh para pelayan yang dipimpin oleh Pek Lan, seorang pelayan kepercayaan Cang Hui.

Tiga orang gadis itu makan minum dengan gembira di dalam kamar itu, dilayani oleh Pek Lan yang menuangkan anggur dalam cawan mereka. Karena beberapa malam mereka kurang tidur, mereka merasa letih dan kini mereka menghibur diri dengan minum anggur yang keras namun lembut.

Setelah makan dan minum beberapa cawan anggur, pipi mereka menjadi kemerahan dan sikap merekapun lebih lincah.

“Mayang, mari kau terima pemberian selamat dariku dengan secawan anggur!” kata Cang Hui sambil memberi isyarat kepada Pek Lan yang dengan sigap sudah mengisi, kembali cawan mereka dengan anggur dari sebuah guci arak.

“Aih, adik Hui, pemberian selamat untuk apa?” tanya Mayang, tersenyum akan tetapi memandang heran.

Cang Hui yang sudah dipengaruhi hawa minuman keras tertawa.
"Hi-hik, ini namanya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Mayang, aku sudah mendengar semua dari Sun-ko tentang kalian, hi-hik."

Panas rasa kedua pipi Mayang mendengar ini dan iapun mengerling ke arah Cin Nio dan mencela,

"Ih, adik Hui kenapa bicara urusan itu…..”

Ia merasa tidak enak sekali terhadap Cin Nio. Ia mengerling dan melihat betapa Cin Nio tersipu, akan tetapi gadis itu dengan gagah mengangkat cawan araknya dan berkata.

"Mayang, akupun merasa senang sekali mendengar itu dan akupun ingin mengucapkan selamat!"

Akan tetapi Mayang menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Terima kasih atas kebaikan kalian, akan tetapi sungguh aku sendiri belum dapat mengambil keputusan dalam hal itu. Nah, mari kita minum untuk kesehatan kita bertiga!"

Setelah makan selesai, mereka minum banyak dan Mayang kelihatan lelah dan mengantuk sekali. Beberapa kali ia harus menyembunyikan kantuknya dan menguap di balik telapak tangan.

“Mayang, kalau engkau mengantuk sekali, rebahlah dulu di pembaringanku.” kata Cin Nio.

Mayang bangkit.
“Sebaiknya aku kembali ke kamarku saja…..”

Akan tetapi ketika ia bangkit berdiri, tubuhnya terhuyung dan cepat Cin Nio merangkulnya dan membimbingnya ke pembaringannya.

"Engkau kelihatan pusing, tidurlah dulu disini."

Mayang tidak membantah karena memang ia merasa betapa kepalanya berat dan matanya sukar dibuka lagi, demikian hebat rasa kantuk menguasainya. Begitu ia merebahkan diri, tanpa membuka sepatu dan baju luar, iapun sudah tidur pulas!

Cin Nio dan Cang Hui saling pandang. Mereka juga merasa lelah dan mengantuk, dan mereka juga tadi minum banyak anggur. Akan tetapi, mereka tidaklah selelah Mayang. Mereka lalu memerintahkan Pek Lan memanggil pembantu dan membersihkan meja makan. Setelah para pelayan pergi, Cang Hui berkata,

"Kasihan sekali Mayang, tentu ia selama beberapa hari dan malam ini tidak pernah mengaso dan kini tertidur saking kelelahan." .

"Sebaiknya biarkan ia tidur di tempatku malam ini, dan aku yang tidur di kamarnya. Kasihan kalau ia harus dibangunkan dan disuruh pindah kamar."

Kata Cin Nio dan Cang Hui mengangguk setuju. Cin Nio membawa pedangnya dan iapun meninggalkan kamar besar menuju ke kamar Mayang di sebelah belakang. Ia membuka pintu kamar yang hanya dirapatkan saja, mengunci pintu dan memeriksa keadaan dalam kamar, kemudian ia melepaskan sepatu dan pakaian luar, meniup padam lampu penerangan dan merebahkan diri di tempat tidur Mayang karena iapun merasa lelah dan mengantuk akibat minum anggur terlalu banyak. Pedangnya ia letakkan di bawah bantal untuk persiapan.

Jauh lewat tengah malam, sesosok bayangan hitam yang mukanya tertutup kain hitam, menyelinap ke kamar Mayang, dengan mudah mencokel daun jendela dan bayangan itu menyelinap masuk, menutupkan kembali daun jendela. Gerakannya demikian gesit dan ringan dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam kamar itu sejak dia menyelinap masuk sehingga para petugas yang melakukan ronda malam tidak melihat atau mendengar sesuatu.

Menjelang pagi, daun pintu kamar itu dibuka dari dalam, bayangan hitam itu menyelinap keluar dan beberapa kali loncatan saja diapun setelah tadi menutupkan kembali daun pintu kamar. Kini, kalau ada orang menempelkan telinganya di daun pintu, tentu dia akan mendengar lapat-lapat suara orang menangis sesenggukkan dari dalam kamar itu.

Mayang membuka matanya, terkejut dan heran melihat dirinya rebah diatas pembaringan dalam kamar Cang Hui dan Cin Nio. Cepat ia bangkit duduk dan melihat Cang Hui juga agaknya baru saja terbangun, ia meloncat turun dan menghampiri pembaringan gadis itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar