Ads

Selasa, 25 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 91

"Apa yang terjadi? Kenapa aku tidur disini?" tanyanya sambil menekan-nekan kedua pelipis kepalanya karena masih terasa agak pening.

"Tidak apa-apa, Mayang. Hanya semalam engkau terlalu lelah atau terlalu banyak minum sehingga ketika rebahan disitu engkau terus pulas dan kami biarkan sampai pagi ini."

Hemm, tidak mungkin ia tertidur pulas karena kelelahan atau hanya karena minum anggur! Mayang menjadi curiga sekali dan menoleh ke kanan kiri.

"Mana adik Cin Nio?" tanyanya.

“Melihat engkau pulas di pembaringannya, ia tidak tega untuk menggugahmu, dan ia memhiarkan engkau tidur di pembaringannya, sedangkan ia sendiri pergi tidur di kamarnya.”

Mayang terbelalak, mukanya berubah pucat. Ia sudah curiga. Tidak mungkin rasanya ia mabuk hanya karena minum anggur, juga tidak mungkin ia sedemikian lelahnya sampai tidur semalam suntuk tanpa bangun sebentarpun. Pasti ada hal yang tidak beres, pikirnya. Dan kini Cin Nio tidur di kamarnya!

"Celaka…..!" katanya dan sekali berkelebat ia sudah berlari keluar dari kamar itu, menuju ke kamarnya.

Hari masih pagi sekali, lampu-lampu penerangan masih belum dipadamkan karena diluar masih gelap. Ia tiba di depan kamarnya dan membuka daun pintu yang ternyata tidak terkunci dari dalam. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kamar itu gelap, remang-remang saja mendapat penerangan dari lampu luar kamar.

Mayang menahan jeritnya ketika ia melihat tubuh yang tergantung di sudut kamar. Tubuh Cin Nio! Lehernya terikat kain ikat pinggang dan tubuh itu tergantung dari tihang. Sekali melompat, Mayang sudah menyambar pedang Cin Nio yang berada diatas pembaringan, lalu melompat ke atas tangan kanan memondong tubuh yang tergantung, tangan kiri membabat ikat pinggang di atas kepala gadis itu. Ia melompat turun lagi sambil memondong tubuh yang masih hangat itu.

Ketika ia merebahkan tubuh itu dan melepaskan ikatan pada leher, hatinya terasa lega. Biarpun tinggal satu-satu, Cin Nio masih bernapas! Cepat ia mengurut sekitar leher gadis itu, perlahan-lahan dan menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan kedua pundak.

Gadis itu kini teregah-engah dan pernapasannya mulai pulih. Mayang membuka daun jendela sehingga lampu yang tergantung di luar jendela menyorot ke dalam kamar. Mayang kembali menghampiri Cin Nio yang sudah siuman. Gadis ini membuka matanya dan melihat Mayang duduk di tepi pembaringan ia menangis terisak-isak.

Mayang sudah melihat keadaan gadis itu. Pakaiannya tidak karuan, hampir telanjang dan di atas tilam kasur yang putih bersih nampak noda darah. Biarpun ia masih gadis, namun Mayang sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri gadis itu. Cin Nio telah diperkosa orang! Dan yang lebih jelas lagi, ada orang memasuki kamarnya dengan maksud memperkosa dirinya, akan tetapi yang menjadi korban bukan dirinya, melainkan Cin Nio yang kebetulan bertukar tempat tidur dengannya!

"Adik Cin, siapa yang melakukannya ? Katakan, siapa yang melakukan ini kepadamu?" tanyanya lirih.

Tangis Cin Nio semakin menjadi-jadi, dan Mayang memeluknya, berbisik di dekat telinganya,

"Adik Cin, demi Tuhan, aku yang akan membalaskan penghinaan ini, aku bersumpah! Jahanam itu sebenarnya mengarah diriku, akan tetapi engkau menjadi korban. Sekarang hentikan tangismu, urusan ini hanya diketahui oleh kita berdua saja. Aku berjanji akan menutup rahasia ini, bahkan adik Hui juga tidak perlu tahu. Nah jangan menangis lagi, cepat bereskan pakaianmu, aku akan membersihkan pembaringan."

Cin Nio maklum bahwa itulah jalan satu-satunya kecuali kalau ia membunuh diri. Biarpun ia mati membunuh diri sekalipun, dirinya tidak akan menjadi bersih, bahkan dengan membunuh diri, maka semua orang tentu akan dapat menduga apa yang telah terjadi dan ia akan dibicarakan orang, namanya akan tercemar.

Ia harus mencuci aib ini dengan darah orang yang telah menodainya, sementara itu, ia menanggung aib dengan diam-diam tak diketahui orang lain kecuali Mayang, gadis yang berjanji hendak membalas dendam ini. Maka, ia lalu menghentikan tangisnya, masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, merapikan kembali pakaiannya sedangkan Mayang cepat membersihkan tempat tidur, dan menghilangkan bekas-bekas yang dapat mencurigakan hati orang lain.

Ketika Cang Hui tiba disitu dan mengetuk pintu kamar, semua telah beres dan Cang Hui disambut oleh Mayang dan Cin Nio yang sudah dalam keadaan rapi.






"Apakah yang telah terjadi? Cin Nio, kenapa engkau kelihatan pucat?” Cang Hui segera menegur.

"Ah, tidak ada apa-apa, adik Hui. Tadi aku hanya salah duga. Karena terbangun di kamarmu, aku menduga telah terjadi hal-hal yang mencurigakan. Dan aku menggedor kamar ini sehingga adik Cin terkejut disangkanya terjadi hal-hal yang hebat. "

“Benar aku kaget oleh kedatangan Mayang secara mendadak di pagi buta," kata Cin Nio yang sudah dapat bersikap wajar.

Ketika mendapat kesempatan bicara empat mata dengan Cin Nio, Mayang minta keterangan dari gadis itu.

"Sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi, dan siapa yang telah melakukan perbuatan terkutuk itu, adik Cin."

"Kamar itu gelap, aku terbangun dan tak mampu bergerak. Aku hampir pingsan karena menderita penghinaan itu, Mayang. Aku tidak dapat melihat muka orang itu, selain gelap juga mukanya tertutup kain hitam. Diapun tidak mengeluarkan kata-kata apapun. Aku sendiri tidak dapat mengeluarkan suara karena tertotok. Kemudian…. Kemudian….. dia membuka daun pintu dan menyelinap keluar, seperti iblis saja gerakannya, cepat sekali, dan setelah aku mampu terbebas dari totokan, aku lalu lalu….. lalu….” Cin Nio menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Ssttt, tenangkan hatimu, enci Cin. Ingat, engkau harus dapat menyimpan rahasia dan kuatkan hatimu. Sekarang ini pikiranmu harus selalu dipusatkan untuk membalas dendam kepada orang itu sehingga tidak kau bayangkan lagi peristiwa itu, tidak membayangkan kehancuran hatimu. Untung aku datang tidak terlambat. Kalau terlambat, tentu semua orang akan mengetahui. Percayalah, engkau menjadi korban karena diriku, maka aku bersumpah untuk membalaskan dendammu ini, adik Cin.”

"Terima kasih, Mayang, akan tetapi kalau bisa…. aku…. aku ingin membununya dengan kedua tanganku sendiri!" Cin Nio meraba gagang pedang dan matanya mengeluarkan sinar penuh dendam.

Mayang mengangguk.
"Mudah-mudahan aku akan dapat menangkapnya. Akan tetapi, satu hal yang ingin aku mendapat penjelasan darimu. Yakin benarkah engkau bahwa jahanam itu bukan seorang yang berperut gendut?"

Cin Nio menundukkan mukanya yang berubah merah padam lalu pucat, dan ia menggeleng kepalanya, tidak tahu mengapa Mayang bertanya demikian, dan iapun malu untuk bertanya.

Mayang mengangguk-angguk lagi dan mengepal tinju. Biarpun tadinya ia ragu-ragu, namun kini ia merasa bahwa tidak ada orang lain lagi yang patut dicurigai kecuali Sim Ki Liong atau Liong Ki! Bukankah Liong Ki pernah mencoba untuk merayunya, mengajaknya berbuat mesum? Dan pemuda itu memang pernah menjadi seorang sesat dan jahat! Kini agaknya dia bukan bertaubat dan kembali ke jalan benar, melainkan kumat kembali.

Biarpun belum ada bukti kuat, namun ia akan menyelidiki sampai tuntas! Tadinya timbul juga persangkaannya bahwa kakek gendut gundul yang diaku sebagai guru oleh Ki Liong itu yang melakukannya, namun keyakinan Cin Nio bahwa pemerkosanya itu tidak gendut, membuat dugaannya kembali kepada Liong Ki.

Akan tetapi, tentu saja tanpa bukti ia tidak mungkin dapat menuduh pemuda itu begitu saja, dan bagaimanapun juga, tentu Liong Ki akan menyangkal. Lalu tiba-tiba matanya bersinar-sinar! Di kamarnya itu gelap dan selain si pemerkosa, juga Cin Nio yang tertotok tidak pernah dapat mengeluarkan suara. Besar sekali kemungkinannya, si pemerkosapun tidak tahu bahwa yang diperkosa bukan ia melainkan Cin Nio! Ia harus dapat mempergunakan akal untuk memancing, bersikap seolah-olah ia yang diperkosa dan ia menerima perlakuan ini sebagai hal yang telah terlanjur! Ia akan pura-pura menuntut pertanggungan jawab, hanya untuk memancing pengakuan Liong Ki bahwa dialah pemerkosa itu.

"Adik Cin, harap kau tenangkan hatimu. Aku pasti tidak akan mau sudah sebelum jahanam itu dapat kutangkap dan kuseret di depan kakimu. Hanya saja, hal ini harus dilakukan dengan diam-diam, tidak menimbulkan keributan agar rahasia ini jangan sampai bocor. Kau setuju, bukan?"

Cin Nio mengangguk pasrah. Dalam, keadaan seperti itu, hanya Mayang satu-satunya orang yang dipercayanya, satu-satunya orang yang dapat diharapkannya.

**** 91 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar