Ads

Selasa, 25 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 92

Mayang tidak memberitahukan dugaannya itu kepada Cin Nio. Hal itu bahkan akan berbahaya sekali. Ia belum mempunyai bukti, dan kalau sampai Cin Nio mendengar kemudian langsung nekat menyerang Liong Ki, tentu siasatnya akan gagal. Liong Ki akan menyangkal dan tidak ada bukti atau saksi yang akan dapat membuka rahasianya. Juga tidak mungkin dapat memancing pengakuan Liong Ki di dalam istana itu. Kalau sampai terjadi keributan, tentu semua orang akan mengetahuinya.

Besok pagi-pagi ia akan mengajak Liong Ki keluar kota dan bicara di tempat sunyi, memancing pengakuan Liong Ki sebagai pemerkosa malam itu. Hatinya diliputi penuh ketegangan. Bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Liong Ki memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau ia hanya nekat mengandalkan kepandaiannya, sukarlah mengalahkan pemuda itu. Apalagi kalau ada Liong Bi yang membantunya, lebih-lebih lagi kakek gendut yang diakuinya sebagai guru itu. Ia harus berhati-hati. Kalau terpaksa, ia akan nekat mengamuk, kalau perlu berkorban nyawa.

Karena gelisah membayangkan percakapannya dengan Liong Ki esok hari malam itu Mayang merasa tegang dan untuk rnenghilangkan ketegangan hatinya, iapun memasuki taman mencari angin dan udara segar.

Belum lama ia berada disitu, ia mendengar langkah kaki dan muncullah Cang Sun! Agaknya pemuda ini memang hendak memberi waktu kepadanya utuk berpikir dan mengambil keputusan. Buktinya sejak pengakuan cintanya itu, sepekan telah lewat dan Cang Sun tidak pernah menemuinya, seolah pemuda itu sengaja bersembunyi saja untuk memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir. .

"Mayang…..”

“Oh, Kongcu….. !" Mayang berkata, agak gugup karena tadi ia sedang melamun dengan hati yang tegang. "Silakan, Kongcu….." katanya sambil bangkit berdiri, dengan tangannya mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku.

“Mayang, sudah cukupkah waktu yang kuberikan kepadamu untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan? Aku selalu menanti jawabanmu, Mayang."

Mayang menunduk. Ah, andaikata tidak terjadi peristiwa malapetaka yang menimpa diri Cin Nio, agaknya tidak akan sukar baginya untuk menjawab. Kini ia sudah tahu dari sikap Cin Nio bahwa gadis itu merelakan ia menerima cinta kasih Cang Sun seperti yang dilihat dan didengar ketika ia dan kedua orang gadis bangsawan itu makan bersama malam itu.

Akan tetapi kini hatinya sedang risau, dan ia merasa bahwa bukan saatnya yang baik untuk bicara tentang cinta. Kasihan Cin Nio yang menjadi korban karena dirinya! Dan Cin Nio juga tahu akan hal itu, bahwa karena ia tidur di kamar Mayang maka malapetaka itu menimpa dirinya. Dan gadis itu sepatah katapun tidak pernah mengeluarkan penyesalan kepadanya. Ia merasa seperti berhutang budi kepada Cin Nio. Kalau saja Cin Nio tidak kasihan melihatnya dan membiarkan ia tidur di pembaringan gadis itu, kemudian Cin Nio yang mengalah dan tidur di kamarnya, tentu tidak akan terjadi malapetaka itu menimpa dirinya.

"Kongcu, aku masih bingung sekali. Pernyataan Kongcu itu merupakan hal yang terlalu besar bagiku, sehingga bingung aku menghadapinya, sukar untuk mengambil keputusan."

Cang Sun, mengerutkan alisnya.
“Mayang, aku telah bersikap jujur dan aku hanya mengharapkan kejujuranmu pula. Andaikata engkau tidak mempunyai perasaan sayang sedikitpun kepadaku dan karenanya tidak dapat membalas cintaku, katakan saja terus terang. AKu tidak akan marah, tidak akan menyesal kepadamu, hanya menyesali diri sendiri yang tiada untung. Aku, tidak ingin engkau membalas cintaku hanya karena merasa berhutang budi, atau hanya karena kasihan. Sungguh, Mayang, aku menghendaki kejujuran dalam urusan cinta, karena hal ini menyangkut sisa kehidupan kita sampai akhir hayat.”

Mayang merasa terharu. Pemuda ini memang hebat. Biarpun tidak pernah mau mempelajari ilmu silat, namun bijaksana dan wawasannya jauh dan mendalam, dan ia merasa yakin bahwa pemuda seperti ini akan menjadi suami yang baik, menjadi ayah yang bijaksana.

“Sama sekali tidak, Kongcu. Aku tidak akan bersikap tidak jujur dalam hal ini, akan tetapi, terus terang saja, aku sedang menghadapi persoalan yang amat sulit dan yang tak dapat kuceritakan kepada siapapun juga, bahkan kepadamupun belum saatnya kuceritakan. Percayalah kepadaku, Kongcu. Aku menanggapi pernyataanmu itu dengan setulus hatiku, dan sudah pasti akan tiba saatnya aku akan memberi jawaban keputusanku. Harap Kongcu bersabar sampai beberapa lama lagi. Aku harap Kongcu yakin bahwa aku tidak mempermainkan Kongcu, aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Maukah Kongcu memberi waktu lagi kepadaku dan sebelum aku memberi jawabanku, Kongcu tidak akan bertanya sesuatu?” .

"Hemm, sampai kapan, Mayang? Sampai berapa lamanya? Aku seorang manusia biasa, dan menunggu merupakan pekerjaan yang amat berat."

"Maafkan aku, Kongcu. Tunggulah sampai aku menyelesaikan urusan pribadiku, mudah-mudahan tidak lama lagi. Kelak kalau sudah tiba saatnya aku memberi jawaban, semua persoalan ini akan kujelaskan kepadamu dan aku yakin bahwa engkau akan membenarkan sikapku sekarang ini, Kongcu."

Cang Sun tersenyum.
"Mayang, setidaknya, aku merasa terhibur dengan penguluran waktumu ini. Andaikata engkau menolak, sudah pasti engkau tidak akan mengulur waktu. Ini aku yakin. Jadi, dengan mengulur waktu, berarti aku mempunyai harapan. Begitu, bukan?"






Wajah Mayang berubah kemerahan dan iapun tersenyum, lalu mengangguk.
"Mudah-mudahan begitu, Kongcu."

“Ha-ha, wajahmu menjadi merah seperti bunga mawar tersinar matahari pagi! Biarlah, aku tidak akan membuat engkau merasa canggung, Mayang, dan tidak akan mengganggumu lagi. Aku berjanji bahwa selama engkau belum memberikan sendiri jawabanmu kepadaku, aku tidak akan mengganggumu lagi dengan pertanyaan dan desakanku. selamat malam, Mayang."

"Selamat malam, Cang-kongcu."

Setelah Cang Sun meninggalkannya, Mayang semakin termenung. Bermacam pikiran menggeluti pikirannya, membuat ia merasa pusing. Jelas ia akan merasa berbahagia kalau sampai dipersunting Cang Sun sebagai isterinya. Betapa akan mudahnya mencintai seorang pemuda seperti itu. Memang sejak pertama kali bertemu, ia sudah merasa suka dan kagum, dan dua perasaan itu mempunyai garis lurus menuju ke arah cinta kasih.

Apalagi dengan adanya ulah sim Ki Liong, pemuda yang tadinya telah menjatuhkan hatinya. Kekecewaan dan penyesalan hatinya melihat ulah sim Ki Liong seolah kini hilang nyerinya, terobati oleh kasih sayang Cang Sun, walau hanya baru dapat ia nikmati melalui pandang mata pemuda itu, melalui tutur katanya dan pengakuan cintanya. sebetulnya, ia merasa berbahagia sekali.

Baru saja kehilangan cintanya yang dikecewakan oleh Sim Ki Liong, ia telah memperoleh penggantinya yang jauh lebih baik. Dan betapa menyedihkan nasib Cin Nio. Baru saja Cin Nio mengalami patah hati karena cintanya ditolak oleh Cang Sun, kini tertimpa malapetaka yang hampir saja membuat ia membunuh diri. Mayang menghela napas panjang dan melamun di dalam taman itu sampai malam.

Entah berapa jam ia berada di taman itu, melamun dan memandang bulan sepotong yang sudah keluar dan cukup tinggi, membuat suasana di taman itu indah sekali. Akhirnya dengan malas-malasan ia bangkit berdiri untuk kembali kekamarnya.

Akan tetapi, ketika ia berjalan perlahan-lahan menyelinap diantara pohon-pohon bunga, tiba-tiba ia melihat dua bayangan hitam berkelebat diluar taman. Sesosok bayangan lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio, sedangkan sesosok lagi lari menuju ke kamar Cang Sun. Berdebar rasa jantung Mayang melihat.bayangan-bayangan itu. Tentu keselamatan Cang Sun dan dua orang gadis itu terancam!

Sejenak hati Mayang menjadi bimbang. Siapa yang harus ditolongnya lebih dahulu? Akan tetapi dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba saja menyelinap akan yang dianggapnya amat baik untuk menggagalkan niat buruk dua sosok bayangan itu. Ia lari ke gudang penyimpanan jerami untuk ransum kuda dekat kandang kuda dan dibakarnya setumpuk jerami yang berada di luar gudang. Karena jerami itu sudah kering benar, sebentar saja api berkobar.

"Kebakaran……! Kebakaran……!!”

Mayang berteriak-teriak sambil memukuli canang tanda bahaya yang tergantung dekat kandang. Sebentar saja gegerlah ketika semua orang berlarian keluar.

Mayang sendiri sudah cepat berlari, pertama-tama ia lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio karena ia amat mengkhawatirkan nasib dua orang gadis itu. Ia masih sempat melihat sesosok bayangan hitam melompat keluar melalui jendela kamar itu. Ia mencoba untuk mengejar, namun bayangan itu dengan gesitnya sudah menghilang di balik wuwungan rumah.

Ia melompat memasuki kamar dan cepat menutup hidungnya karena tercium bau harum yang aneh. Tahulah ia bahwa kamar itu telah dipenuhi asap pembius! Ia menyambar selimut, dikebut-kebutkan selimut itu mengusir asap dan membuka pintu kamar. Asap itupun cepat terbang pergi melalui lubang jendela dan pintu. Ketika ia menghampiri dua orang gadis itu, ia melihat mereka sudah tidur pulas atau pingsan, tentu terpengaruh asap pembius yang harum seperti dupa itu.

Ketika ia teringat akan Cang Sun, iapun cepat meloncat keluar lagi dan lari ke kamar pemuda itu. Ia menarik napas lega melihat pemuda itu tertidur sambil duduk di kursinya, meletakkan kepala di atas meja. Agaknya pemuda itu tadi belum tidur ketika bayangan hitam meniupkan asap pembius ke kamarnya sehingga ia tertidur di atas kursinya. Seperti juga di kamar dua orang gadis tadi, Mayang mengusir asap melalui jendela dan pintu kamar.

Beberapa orang pengawal muncul dan mereka terbatuk-batuk ketika hendak memasuki kamar. Melihat Mayang mengebut-ngebutkan selimut mengusir asap yang baunya harum menyesakkan dada, mereka bertanya apa yang telah terjadi.

"Lihiap, apakah yang terjadi?" .

"Entah, ada kebakaran dan rupanya ada penjahat masuk melepas asap beracun untuk membius Cang-kongcu."

Tiba-tiba muncul Liong Ki dan Liong Bi. Mereka kelihatan kaget dan tegang, dan ketika melihat Mayang diluar kamar Cang Sun, Liong Ki berkata,

"Wah, di kamar nona Cang Hui dan nona Teng Cin Nio juga penuh asap, tapi sudah kubersihkan bersama para pengawal."

Liong Bi juga berkata,
"Api yang membakar gudang sudah dapat kami padamkan. Apa yang terjadi disini, Mayang?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar