Ads

Rabu, 03 Oktober 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 102

Kedatangan kereta yang membawa Cang Hui, Cin Nio, kui Hong dan Hay Hay disambut penuh kegembiraan. Mayang segera lari menyambut kakaknya dan dengan sikap manja ia merangkul Hay Hay.

"Hay-koko, aku meyakinkan Cang-kongcu bahwa engkau dan enci Hong sudah pasti akan mampu menyelamatkan adik Hui dan adik Cin."

"Kau anak Bengal! Bagaimana engkau sampai tertipu dan diperalat manusia-manusia macam Ki Liong dan Tok-ciang Bi Moli?" tegur Hay Hay kepada adiknya.

Mayang menoleh dan tidak menjawab karena ia melihat Cin Nio yang turun dari kereta bersama Cang Hui kini lari ke dalam. Ia melepaskan rangkulannya dari leher Hay Hay, menoleh ke arah Cang Sun dan memberi isyarat dengan pandang matanya, lalu ia berlari mengejar Cin Nio.

Ketika Mayang memasuki kamar, ia mendapatkan Cin Nio rebah menelungkup di pembaringannya dan menangis tersedu-sedu.

“Adik Cin……!” Mayang menghampiri, duduk di tepi pembaringan.

Cin Nio mengangkat muka menoleh dan melihat Mayang, ia lalu bangkit duduk dan merangkul Mayang sambil menangis terisak-isak.

“Mayang…… ah, Mayang…… aku……. aku tidak mungkin dapat hidup terus…….”

“Hush, adik Cin. Ceritakan dulu apa yang terjadi. Tadi aku belum sempat mendengar dari Hay-koko atau enci Kui Hong. Engkau dan adik Hui diselamatkan mereka, bukan? Lalu bagaimana dengan mereka, dengan kedua orang iblis busuk itu?”

"Mereka takut kepada kakakmu dan Cia-lihiap, mereka menggunakan kami berdua sebagai sandera dan akhirnya mereka menukar nyawa mereka dengan kami berdua. Kakakmu dan Cia-lihiap terpaksa melepaskan mereka dan sebagai gantinya, kami berduapun dibebaskan. Mereka telah berhasil lolos Mayang, kalau aku tidak mampu melihat musuh besar itu binasa, bagaimana mungkin aku dapat hidup terus?” Cin Nio menangis lagi.

“Adik Cin, ingatlah baik-baik. Tidak ada orang lain yang mengetahui peristiwa itu kecuali engkau dan aku. Karena tidak ada yang tahu, maka namamu tidak akan tercemar. Engkau tidak boleh putus asa. Percayalah, aku akan minta kepada kakakku, juga kepada enci Hong yang menjadi calon kakak iparku untuk mencari jahanam itu dan membunuhnya. Aku sendiri akan membunuhnya untuk membalaskan sakit hatimu."

"Tapi, Mayang, bagaimana aku dapat bertahan untuk hidup terus setelah aku ternoda? Akhirnya akan ada yang tahu dan aku tidak akan sanggup menahan derita karena malu!"

Mayang maklum apa yang dimaksudkan Cin Nio.
"Adik Cin, engkau hanya mau menikah dengan pria yang kau cinta bukan? Dan engkau mencinta Cang Kongcu, bukan?"

Mendengar ucapan ini, Cin Nio menjerit, akan tetapi jerit itu tidak keluar dari kamar karena ia mendekap mulutnya sendiri. Ia sesenggukan dan memandang wajah Mayang dengan mata merah dan muka basah air mata.

"Mayang, kenapa engkau berkata demikian? Ucapanmu seperti pedang beracun menembus jantungku. Mayang, kau kira aku ini orang macam apa? Aku menganggapmu seperti saudaraku sendiri. Kanda Cang Sun hanya mencinta nona Cia Kui Hong, kemudian engkau muncul dan karena cintanya terhadap Cia-lihiap tidak terbalas, dia jatuh cinta kepadamu, Dia tidak cinta kepadaku, Mayang. Dan pula, bagaimana aku dapat mengharapkan berjodoh dengan dia setelah keadaanku seperti sekarang ini? Dahulupun sebelum malapetaka menimpa diriku, dia tidak cinta padaku, apalagi sekarang……."

Sebelum Mayang menjawab, terdengar ketukan pada pintu, dan daun pintu didorong dari luar, kemudian nampak Cang Sun memasuki kamar itu. Melihat siapa yang datang, Cin Nio terbelalak dan cepat ia bangkit duduk sambil mengusap air matanya.

"Sun-ko .…." katanya heran dan juga kaget melibat munculnya pemuda itu yang tak disangka-sangkanya.

"Cin-moi, siapa bilang aku tidak cinta padamu? Cin-moi, biarlah aku membuktikan tidak benarnya pendapatmu itu dengan meminangmu sekarang juga, Cinmoi, maukah engkau menjadi isteriku?"

Tentu saja Cin Nio terbelalak, mukanya tiba-tiba menjadi merah, lalu pucat, dan merah kembali. Sampai lama ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Cang Sun seperti orang melihat setan di tengah hari.

"Cin-moi, bagaimana jawabanmu? Maukah engkau menjadi isteriku?"






Cang Sun mengulang dan kini dia melihat betapa Cin Nio menitikkan air mata. Hatinya merasa terharu bukan main. Mayang memang benar sekali dan keputusannya yang aneh itu memang tepat, mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan adik misannya ini.

"Sun-ko.... jangan…. jangan bergurau……” akhirnya Cin Nio berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil.

"Bergurau? Cin-moi, pandanglah aku. Apakah aku biasa bergurau dalam urusan yang begini penting? Mari, mari kita menghadap ayah dan ibu agar kita semua dapat membicaraka urusan perjodohan kita." Cang Sun melangkah maju hendak memegang kedua tangan gadis itu.

"Tidaaaak…..! Jangan sentuh diriku, Sun-ko….! Tidak, aku…….. aku tidak bisa……. aku tidak mungkin menjadi isterimu…….!”

Ia menjerit dan melempar tubuhnya kembali ke pembaringan, memeluk bantal dan menangis, tersedu-sedu.

Cang Sun saling pandang dengan Mayang. Cang Sun menggerakkan kedua pundak menunjukkan bahwa dia tidak berdaya membujuk, sedangkan Mayang mengangguk lalu ia menghampiri pembaringan dan menyentuh pundak yang terguncang menangis itu dengan lembut.

“Adik Cin, hentikan tangismu dan jangan berduka. Bukankah pinangan Cang Kongcu sepatutnya kau sambut dengan perasaan bahagia, bukan dengan tangis duka?”

Mendengar ucapan Mayang, Cin Nio bangkit duduk dan memandang kepada gadis tibet itu. Sambil terisak-isak ia berkata.

“Mayang, bagaimana engkau dapat berkata demikian? Mayang, bagaimana engkau tega berkata demikian…? Bagaimana mungkin aku… aku….” Iapun menangis lagi dan kini menubruk dan merangkul Mayang.

Mayang mendekap Cin Nio dan mengelus rambutnya sambil berkedip kepada Cang Sun. Pemuda itu menghampiri dan setelah dekat diapun berkata.

“Cin-moi, hentikan tangismu itu. Aku sudah tahu apa yang menimpa dirimu dan menurut pendapatku, engkau tidak bersalah, Cin Moi.”

Isak itu terhenti. Dengan muka pucat, Cin Nio yang kini mengangkat mukanya itu memandang kepada Cang Sun melalui genangan air matanya.

“Apa….? Engkau sudah tahu bahwa aku….., aku…. dan engkau tadi masih….?”

Cang Sun mengangguk.
“Benar, aku sudah tahu akan malapetaka yang menimpa dirimu, akan tetapi karena engkau tidak bersalah, akupun tidak akan mengingat hal itu lagi dan aku tadi meminangmu untuk menjadi isteriku. Bagaimana jawabanmu?”

Sepasang mata itu masih terbelalak, memandang kepada Cang Sun kemudian kepada Mayang, penuh keheranan dan tidak percaya.

“Sun-ko, engkau tahu bahwa aku telah ternoda akan tetapi engkau tetap hendak meminangku, padahal engkau….. dan Mayang….. kalian saling mencinta, bukan….? Apa artinya ini?”

Mayang memegang kedua tangan Cin Nio dan mereka saling pandang.
“Adik Cin, dengar baik-baik. Peristiwa yang menimpa dirimu itu hanya diketahui kita bertiga dan Cang Kongcu tidak menyalahkanmu. Dia mencintamu, adik Cin, juga mencintaku, dan kita berdua mencintanya, bukan? Nah, sekarang dia hendak memperisteri kita berdua. Maukah engkau menjadi maduku, adik Cin Sin?”

Sejenak Cin Nio memandang nanar, akan tetapi segera pengertiannya menembus semua kekagetan dan keheranannya. Iapun mengerti bahwa semua ini adalah usaha Mayang! Ia sendiri memang mencinta Cang Sun, maka kalau Cang Sun mau melupakan semua peristiwa itu, tidak menyalahkannya dan mencintanya, tentu saja dengan sepenuh hati ia mau menerima pinangan itu.

“Mayang.......!” Ia menjerit lemah dan terkulai dalam rangkulan Mayang. Pingsan!

Cang Hui sedang sibuk menceritakan pengalamanya yang menegangkan kepada ibunya, didengarkan pula oleh para pelayan dan kesempatan ini dipergunakan Hay Hay untuk mengajak Kui Hong bicara.

Kui Hong juga ingin bicara banyak dengan pemuda itu, maka ialah yang mengajak Hay Hay memasuki taman di sebelah kiri istana keluarga Cang. Ia memang sudah hafal akan keadaan di tempat itu. Mereka duduk di bangku dekat kolam ikan, terlindung oleh semak-semak dan bunga-bunga yang indah.

“Hong-moi, ketahui bahwa aku membawa tugas yang teramat penting untuk pemerintah, dan ada sesuatu yang harus segera kusampaikan kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Karena Menteri Cang sedang tidak berada di rumah, maka harus cepat menghadap Menteri Yang Ting Hoo. Akan tetapi sebelum aku pergi kesana, aku ingin mendengar dulu apa yang hendak kau bicarakan denganku. Aku merasa seperti bermimpi ketika melihatmu, Hong-moi."

Kui Hong menatap pria yang dicintanya itu. Agak kurus, dan pandang matanya agak sayu walupun sikapnya masih gembira seperti biasa, pikirnya. Hatinya terharu karena ia maklum bahwa kalau perpisahan diantara rnereka rnembuat ia pernah jatuh sakit, tentu bagi pemuda ini lebih menderita lagi. Pemuda ini telah ditolak oleh ayah ibunya!

“Hay-ko, ada dua buah pertanyaan saja yang ingin kutanyakan kepadamu dan sejujurnya kuharap engkau suka menjawab dan setulus hatimu."

Hay Hay juga menatap wajah gadis itu, tak pernah berkedip dan penuh kasih sayang. Setelah kini berhadapan, baru dia menyadari benar-benar bahwa selama ini dia amat mencinta Kui Hong dan betapa selama ini dia merindukan Kui Hong, akan tetapi perasaan itu dia tutup-tutupi dengan wataknya yang gembira.

"Hong-moi, engkau tentu tahu bahwa terhadapmu, aku selalu akan bersikap jujur dan tulus. Tanyakanlah, dan aku akan rnenjawab sesuai dengan suara hatiku."

"Pertanyaanku yang pertama, apakah engkau suka memaafkan ayah ibuku yang pernah menyakiti hatimu dengan penolakan mereka terhadap dirimu dahulu tu?"

Suara gadis itu terdengar gemetar, tanda bahwa hatinya dicengkeram penyesalan. Mendengar pertanyaan ini, Hay Hay terbelalak, lalu mulut dan matanya tertawa Kui Hong melihat bahwa tawa itu bukan dibuat-buat, melainkan wajar sehingga ia merasa lega. Bukan tawa yang mengandung ejekan, tidak sinis.

“Ha-ha-ha. pertanyaanmu ini sungguh aneh sekali, Hong-moi. Kenapa harus kumaafkan? Ayah ibumu adalah orang-orang bijaksana yang hanya mengatakan hal hal yang benar. Tidak ada yang perlu dimaafkan karena pendapat mereka memang tepat. Engkau adalah puteri keluarga ketua Cin-ling-pai yang namanya terkenal bersih dan gagah perkasa di dunia kang-ouw, sedangkan aku adalah putera seorang jai-hwa-cat yang tersohor jahat. Mereka benar dan aku sendiripun kalau menjadi mereka akan berpendapat dan bersikap yang sama."

Kui Hong memandang wajah pria itu dengan penuh selidik. Bukan ucapan ejekan atau sindiran, melainkan sejujurnya.

"Bagaimanapun juga, penolakan mereka itu telah memisahkan kita dan tentu telah menghancurkan hatimu atau mungkin bagimu perpisahan denganku itu tidak berarti apa-apa?"

"Hong-moi....... ! Kenapa engkau berkata demikian? Hampir mati aku karena duka, nyaris gila karena merana. Akan tetapi aku menyadari keadaan diriku dan aku dapat menerima keadaan, rnenerima kenyataan, betapa pahitpun."

"Nah, itulah yang kutanyakan kepadamu. Ayah ibuku telah menyebabkan engkau menderita, oleh karena itu aku bertanya apakah engkau suka memaafkan mereka? Jawablah, Hay-ko, jawablah agar hatiku lega, apakah engkau mau memaafkan ayah dan ibu atas penolakan mereka terhadap dirimu dahulu itu?"

Dalam suara gadis itu terkandung himbauan dan permohonan yang membuat suara itu menggetar sehingga hati Hay Hay tidak tega untuk menolak permintaannya. Dengan kesungguhan hati diapun mengangguk.

“Tentu saja, Hong-moi. Kalau memang dikehendaki, aku selalu siap sedia untuk memberi maaf sampai seribu kali kepada ayah ibumu."

Kui Hong menghela napas panjang dan hatinya terasa lega dan senang bukan main.
"Aihh, Hay-ko, jawabanmu tadi telah menyingkirkan beban berat yang selama ini menghimpit perasaan hatiku. Percayalah, Hay-ko, ketika engkau pergi meninggalkan aku, penderitaan batin yang kurasakan tidak kalah berat dibandingkan dengan penderitaanmu. Biarpun sudah kucoba untuk melupakannya dengan bekerja untuk Cin-ling-pai, tetap saja aku merana, hampir gila, bahkan hampir mati karena sakit."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar