Ads

Jumat, 24 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 06

"Aku Cia Kong Liang bukan orang yang takut mati! Kau boleh siksa, kau boleh bunuh aku, jangan harap kalian akan dapat memaksaku bicara tentang pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai!" kata Cia Kong Liang dan dia membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah wanita itu.

"Hemm, kita sama lihat saja, kakek berkepala batu!" teriak Bi Hwa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mau memandang kepadanya, bahkan memejamkan kedua matanya, seolah hendak menyatakan bahwa dia tidak lagi sudi bicara dengannya.

"Tarr-tarrr……. !" Terdengar suara cambuk meledak-ledak di susul jerit kesakitan dari mulut anak kecil.

Cia Kong Liang terkejut dan menoleh. Matanya terbelalak ketika melihat betapa cucunya, dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, dicambuki oleh wanita itu. Ujung cambuk panjang yang kecil itu melecut baju anak itu robek dan segera nampak darah membasahi baju Kui Bu. Terkena lecutan dua kali saja, kulit tubuh Kui Bu sudah pecah-pecah dan darah mengalir. Anak itu menjerit-jerit kesakitan dan menangis.

"Tahan…..!!” teriak Cia Kong Liang.

Bi Hwa menoleh kepadanya dan tersenyum penuh kemenangan, lalu menghampiri dan duduk kembali di atas bangku yang tadi. Sedangkan tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang menjadi gurunya, masih duduk bersila seperti orang-orang yang acuh saja, padahal diam-diam mereka memperhatikan. Mereka merasa yakin bahwa murid mereka yang cerdik itu akan dapat memaksa tokoh Cin-ling-pai itu membuat pengakuan.

"Hemm, agaknya engkau mulai dapat melihat kenyataan, kakek Cia. Pedang Kayu Harum itu hanya sebuah benda, Thi-khi-i-beng hanya sebuah ilmu. Tidak pantas ditukar dengan nyawa cucumu, bukan? Nah, kami siap mendengarkan keteranganmu!"

Mata Cia Kong Liang masih memandang cucunya yang merintih-rintih.
"Rawat dia dulu, baru aku mau bicara, dan berjanjilah bahwa kalian tidak akan megganggunya lagi," katanya lirih.

Dengan senyumnya yang genit, Su Bi Hwa berkata kepada Ciok Gun yang berdiri tak bergerak seperti arca itu.

"Ciok Gun, kau rawat dan obati luka cambukan anak itu, ganti pakaiannya dan beri dia makan dan minum. Bawa keluar dari ruangan ini!"

Sambil menghadap ke arah wanita itu, Ciok Gun memberi hormat dengan membungkuk dan berkata, suaranya datar dan kosong.

"Baik Su Siocia!" dan dia lalu menghampiri Kui Bu dan memondong anak yang masih merintih itu, membawanya keluar.

Diam-diam Cia Kong Liang cemas sekali melihat keadaan Ciok Gun. Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa murid Cin-ling-pai itu bersikap tidak wajar dan ada suatu kekuatan aneh yang mencengkeram dan menguasainya. Dia menarik napas panjang. Cin-ling-pai dalam bahaya, pikirnya.

Akan tetapi kalau mengingat bahwa .puteranya, Cia Hui Song, dan mantunya, Ceng Sui Cin, berada di Cin-ling-pai, hatinya menjadi tenang. Puteranya dan mantunya yang memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan tinggal diam, tentu mereka akan mencari putera mereka dan menemukannya disini. Empat orang jahat ini tentu akan dapat dibasmi oleh Cin-ling-pai di bawah pimpinan putera dan mantunya.

“Aku mau bicara, akan tetapi ada dua syarat,” katanya. "Kalau kalian tidak memenuhi syarat itu, aku tidak mau bicara."

Bi Hwa tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan kosong belaka. Kalau ia menyiksa Cia Kui Bu di depan mata kakek itu, apapun yang ia minta tentu akan dipenuhi olehnya!

"Hemmm, apakah dua syarat itu?" tanyanya untuk mempermudah pengakuan Cia Kong Liang.

"Pertama, engkau harus berjanji untuk membebaskan Cia Kui Bun."

"Baik, aku berjanji akan membebaskan cucumu itu kalau kami sudah memperoleh Siang-bhok-Kiam dan Thi-khi-i-beng!"

"Dan ke dua, sebelum aku memberi keterangan, kalian harus memperkenalkan diri dan menerangkan mengapa kalian memusuhi Cin-ling-pai!"

Bi Hwa tertawa dan memandang ke arah tiga orang suhunya. Matanya yang genit itu berkijap-kijap bermain mata dengan mereka, kemudian iapun menjawab.

"Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa kami. Lihat, tiga orang itu adalah guru-guruku, yang pertama Lam Hwa Cu, ke dua Siok Hwa Cu, dan ke tiga Kim Hwa Cu."

"Aku tidak mengenal nama-nama itu……." kata Cia Kong Liang sambil mengingat-ingat.






"Mereka bertiga di dunia kang-ouw dikenal sebagai Pek-lian Sam-kwi."

"Ahhh………! Kiranya orang-orang Pek-lian-kauw!"

Cia Kong Liang terkejut bukan main dan kini mengertilah dia mengapa mereka mengganggu Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw akan mengganggu siapa saja tanpa pandang bulu, demi kepentingan perkumpulan sesat itu.

"Bagus kalau engkau sudah tahu. Dan aku sendiri seorang anggauta Pek-lian-kauw pula, murid mereka, namaku Su Bi Hwa dan lebih dikenal dengan julukan Tok-ciang Bi Mo-li."

"Hemmm………"

Cia Kong Liang maklum bahwa Cin-ling-pai benar-benar berada di dalam bahaya. Akan tetapi dia dibuat tidak berdaya dengan ditawannya cucunya. Pula, kalau dia memberi keterangan tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada merekapun tidak akan merugikan Cin-ling-pai dan terutama sekali untuk menyelamatkan cucunya.

“Nah, sekarang katakan dimana adanya Siang-bhok-kiam?” tanya Bi Hwa dan kini tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itupun membuka mata yang tadi mereka pejamkan. Mereka memandang ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh harap.

"aku tidak tahu……”

Cia Kong Liang menggeleng kepalanya. Bi Hwa melompat berdiri dari bangkunya dan mukanya berubah merah sekali, matanya mendelik dan kedua tangannya terkepal.

"Tua bangka busuk! Engkau menipuku dan melanggar janji? Apa kau melihat cucumu itu kusembelih perlahan-lahan di depan matamu, kemudian daging dan darahnya akan kumasak dan kuahnya akan kupaksa masuk ke dalam perutmu?"

Cia Kong Liang bergidik. Dia sudah cukup mengenal kekejaman orang-orang Pek-lian-kauw dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya gertakan belaka. Kalau perlu, wanita itu tentu akan dapat melaksanakan ancamannya itu dengan darah dingin!

"Anak perempuan calon penghuni neraka! Aku bukanlah seorang yang suka menipu, tak pernah pula melanggar janji! Kalau kukatakan bahwa aku tidak tahu dimana Siang-bhok-kiam berada, hal itu bukanlah bohong! Aku memang benar tidak tahu, bahkan aku belum pernah melihat pedang pusaka nenek moyangku itu!"

"Bohong! Tidak mungkin! Engkau adalah keturunan keluarga Cia, pimpinan Cin-ling-pai. Betapa mungkin engkau tidak tahu tentang Siang-bhok-kiam? Hayo ceritakan semuanya dengan jelas. Awas kalau engkau membohong, aku tidak mau mengancam untuk kedua kalinya!"

Cia Kong Liang menarik napas panjang.
"Pedang pusaka Siang-bhok-kiam milik nenek moyang keluarga Cia memang benar tidak ada lagi. Bahkan mendiang ayahku, Cia Bun Houw, tidak tahu dimana pusaka itu kini berada. Pernah kutanyakan dahulu kepada ayahku, dan dia hanya mengatakan bahwa yang terakhir kalinya, pedang itu berada di tangan kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang dahulu. Kemudian, mendiang ayah tidak pernah tahu lagi dimana pedang pusaka itu disimpan. Pernah ayah mengatakan bahwa kakek Cia Keng Hong sengaja menyembunyikah pedang itu dan melarang pusaka itu untuk dijadikan senjata. Pusaka itu hanya dikenal namanya saja sebagai benda pusaka Cin-ling-pai. Aku sendiri melihatpun belum, apalagi memilikinya.”

Su Bi Hwa mengerutkan alisnya.
"Karena Cia Keng Hong itu ketua Cin-ling-pai, tentu pedang pusaka itu disembunyikan di perkampungan Cin-ling-pai! Tidakkah begitu?"

"Mungkin saja, akan tetapi sejak mendiang ayahku berada di Cin-ling-pai, sampai aku menjadi ketua kemudian dilanjutkan puteraku dan sekarang dipegang oleh cucuku, keluarga kami belum pernah mencarinya." ,

"Kenapa?"

"Mengingat pesan ayah dahulu bahwa kakek tidak menghendaki pedang pusaka itu muncul sebagai senjata. Hanya namanya saja yang kami ingat sebagai pusaka Cin-ling-pai, dan nama itu diabadikan dalam bentuk ilmu pedang Siang-bhok-kiamsut."

Su Bi Hwa mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada tiga orang gurunya dan ia berkata lirih,

"Kita bisa mencarinya nanti….” Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu mengangguk.

"Sekarang tentang ilmu Thi-khi-i-beng. Hayo ceritakan yang sebenarnya tentang ilmu itu. Kami ingin memilikinya!” kata pula Bi Hwa dengan suara galak karena kekecewaannya mendengar tentang Siang-bhok-kiam tadi.

"Seperti juga pedang pusaha Siang-bhok-kiam, ilmu Thi-khi-i-beng sudah lama menghilang dari keluarga kami, bahkan dari Cin-ling-pai. Aku sendiri tidak menguasai ilmu itu."

“Aku tahu!” bentak Bi Hwa galak. "Kalau engkau menguasai ilmu itu, tentu tidak mudah tertawan oleh kami! Yang kutanyakan adalah kitabnya, kitab pelajaran ilmu Thi-khi-i-beng itu! Dimana kitab itu?”

Cia Kong Liang memandang wajah wanita muda itu. Di dalam hatinya, diam-diam dia merasa senang. Yang dicari orang-orang jahat ini tidak ada, dan tidak mungkin dapat mereka miliki.

"Ketahuilah, Moli (Iblis Betina), Thi-khi-i-beng tidak pernah ada kitab pelajarannya." katanya dengan suara hampir ramah karena hatinya merasa senang.

"Bohong! Semua ilmu yang hebat tentu ada kitabnya!"

"Sudah kukatakan aku tidak pernah berbohong. Semua ilmu silat dari Cin-ling-pai tidak ada kitabnya. Kami sudah melihat pengalaman perkumpulan silat yang lain. Selalu kitab mereka diperebutkan orang, dicuri atau dirampas. Karena itu, sejak pendiri Cin-ling-pai pertama, kami tidak pernah mencatat ilmu-ilmu kami dalam kitab. Kami mengajarkan ilmu-ilmu kami secara langsung, dari guru ke murid."

"Dan Thi-khi-i-beng?"

"Tidak ada lagi orang Cin-ling-pai yang menguasainya. Ilmu itu bukan ilmu sembarangan yang dapat dipelajari oleh sembarang orang!" Ucapan ini mengandung kebanggaan.

"Hemm, jadi engkau tidak mempelajarinya karena engkau tidak berbakat?" Bi Hwa mengejek.

"Pertama, karena bakatku tidak cukup, kedua karena tidak ada yang mengajarkannya kepadaku. Bahkan ayahku sendiripun tidak menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Hanya kakek yang menguasainya."

Bi Hwa saling pendang dengan tiga orang gurunya. Mereka benar-benar merasa kecewa bukan main. Siang-bhok-kiam lenyap. Thi-khi-i-beng juga lenyap!

"Jadi di dunia ini tidak ada lagi orang yang menguasai Thi-khi-i-beng dan kitabnyapun tidak ada?"

Tiba-tiba Cia Kong Liang merasa jantungnya berdebar. Mengapa tidak? Bukan sekedar membuka rahasia, akan tetapi kalau dia boleh mengharapkan pertolongan bagi Cin-ling-pai, maka yang diharapkan adalah dari pulau Teratai Merah!

"Kurasa di dunia ini hanya seorang saja yang kini masih menguasainya, yaitu besanku, Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah."

"Pendekar Sadis.……..??” Empat orang itu serempak berseru kaget.

Cia Kong Liang tersenyum senang!
"Benar, hanya dialah yang menguasai ilmu itu. Nah, sekarang aku telah membuka semua rahasia tentang Siang-bhok-kiam dan Thi-khi-i-beng, aku harap engkau suka segera membebaskan cucuku Cia Kui Bu."

"Heh-heh, jangan harap! Dia dan engkau masih akan menjadi tawanan kami, sebagai sandera!" kata Bi Hwa.

"Kau…… kau…….. melanggar janji! Engkau jahat, curang, pengecut hina……!"

"Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan kakek itu terkulai pingsan.

"Suhu bertiga telah mendengar sendiri. Kita harus mengganti siasat." kata Bi Hwa dan kembali ia dan tiga orang gurunya berunding, mengatur siasat selanjutnya setelah langkah pertama itu mengecewakan hati mereka.

**** 06 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar