Ads

Jumat, 24 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 07

Suami isteri itu berdiri di pekarangan depan rumah induk perkampungan Cin-ling-pai. Alis mereka berkerut ketika mereka memandang ke luar dalam cuaca yang sudah redup karena senja telah tiba.

Pria itu adalah Cia Hui Song, berusia empat puluh empat tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya yang tampan itu selalu cerah, sepasang matanya mencorong dan lincah sedang mulutnya selalu mengandung senyum. Dia putera Cia Kong Liang, bekas ketua Cin-ling-pai yang sudah mengundurkan diri walau usianya belum tua benar karena dia lebih suka bebas merantau bersama isterinya.

Wanita itu isterinya, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembila tahun. Dalam usia menjelang tua itu, ia masih nampak manis, matanya tajam bersinar-sinar. Dalam hal ilmu silat, ia tidak kalah jauh oleh suaminya karena wanita ini adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah.

Selain keturunan orang-orang pandai, juga suami isteri ini dahulu pernah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti. Cia Hui Song pernah menjadi murid mendiang Siangkiang Lojin, seorang diantara Delapan Dewa. sedangkan Ceng Sui Cin, di samping mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga pernah digembleng oleh mendiang Wum Yi Lojin, juga seorang diantara Delapan Dewa. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya mereka.

Baru kemarin suami isteri ini kembali ke Cin-ling-pai bersama putera mereka, Cia Kui Bu yang berusia lima tahun. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di pulau Teratai Merah. Dan sore hari itu, mereka berada di pekarangan itu dengan hati agak khawatir. Putera mereka, Cia Kui Bu, sejak pagi pergi berjalan-jalan dengan kakeknya, yaitu kakek Cia Kong Liang dan sampai matahari hampir tenggelam, kakek dan cucu itu belum juga pulang.

"Sungguh aneh, kemanakah ayah mengajak Kui Bu pergi? Kalau hanya jalan-jalan, kenapa sampai sehari dan belum juga pulang?" untuk ke sekian kalinya Cia Hui Song mengomel.

"Apakah malam tadi beliau tidak mepesan sesuatu kepadamu?" tanya isterinya.

“Tidak, hanya mengatakan bahwa dia ingin berjalan-jalan pagi hari ini dengan Kui Bu. Apakah pagi tadi engkau bertemu dengan ayah?"

"Pagi-pagi sekali Kui Bu sudah bangun dan setelah mandi dia berpamit untuk mengunjungi kakeknya karena sudah berjanji akan berjalan-jalan pagi tadi. Aku hanya mendengar suara ketawanya bersama kong-kongnya di pekarangan ini ketika mereka berangkat pagi tadi."

Dari bangunan tempat tinggal Gouw Kian Sun, di sebelah kiri bangunan induk itu, muncul Kian Sun bersama seorang wanita. Agaknya mereka berdua memang bermaksud mengunjungi bangunan induk. Ketika melihat Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin berdiri di pekarangan, Gouw Kian Sun segera menghampiri mereka dan memberi hormat. Wanita itupun memberi hormat dan ternyata ia seorang wanita yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan wajahnya nampak gelisah, bahkan ia seperti baru menangis. Hui Song dan isterinya mengenalnya sebagai isteri Koo Ham, yang tinggal di bagian belakang.

"Kebetulan sekali, suheng dan toa-so berada disini. Kami memang ingin menghadap ji-wi (kalian berdua)." Kata Kian Sun setelah rnemberi hormat.

"Hemm, ada urusan apakah, sute?" tanya Hui Song sambil memandang kepada wanita itu karena dia menduga bahwa tentu urusan itu mengenai wanita ini.

Kalau tidak begitu, tidak mungkin isteri Koo Ham datang bersama Kian Sun, dan suaminya tidak nampak bersama mereka.

"Suheng, isteri Koo Ham ini amat mengkhawatirkan suaminya, juga saya sendiri merasa heran mengapa dia, Ciok Gun dan Teng Sin belum juga pulang sejak kemarin pagi."

"Hemm, kemanakah mereka bertiga pergi?"

"Mereka bertiga pergi berburu. Biasanya kalau rnereka pergi berburu, tidak pernah bermalam. Kalaupun terpaksa bermalam, maka pada keesokan paginya pasti pulang. Akan tetapi sampai sekarang mereka belum juga pulang. Hal ini memang aneh dan isteri Koo Ham ini merasa gelisah sekali karena malam tadi ia bermimpi buruk."

Hui Song dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum. Agaknya isteri Koo Ham ini percaya akan mimpi yang biasanya hanya merupakan bunga dari tidur saja.

"Engkau mimpi apakah?" Ceng Sui Cin bertanya kepada wanita itu.






"Saya….. saya melihat suami saya mandi dengan…… darah…… "

Biarpun mereka bukan orang yang percaya tahyul dan mimpi, namun suami isteri pendekar ini saling pandang dan merasa ngeri.

“Kian Sun sute, apakah engkau tadi melihat ayah?" tiba-tiba Hui Song bertanya.

"Tidak, suheng. Bukankah pagi tadi suhu pergi berjalari-jalan dengan puteramu? Apakah belum pulang?"

Hui Song menahan kegelisahan hatinya agar jangan nampak pada wajahnya. Dia memandang isterinya.

"Aku akan pergi mencari mereka! Juga sekalian mencari Ciok Gun dan dua orang sutenya."

Sui Cin mengangguk. la percaya bahwa seperti juga tiga orang murid Cin-ling-pai itu yang tentu mampu melindungi diri sendiri, lebih-lebih ayah mertuanya tentu akan menjaga anaknya dengan baik dan selama ini di Cin-ling-san tidak pernah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Keadaan di tempat itu selalu aman dan tenteram. Setelah suaminya pergi, ia lalu menghibur isteri Koo Ham dan menyuruhnya pulang dan menanti suaminya di rumah.

Setelah keluar dari perkampungan Cin-ling-pai, Hui Song lalu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat mencari-cari ayahnya dan anaknya. Dia lari mendaki sebuah puncak bukit terdekat, berteriak memanggil nama puteranya dengan pengerahan khi-kang agar suaranya terdengar sampai jauh.

Setelah menanti jawaban yang tak kunjung ada, dia menuruni bukit dan lari mendaki bukit lain. Pendekat ini tidak tahu bahwa sejak tadi ada beberapa pasang mata mengikuti gerak-geriknya, dan beberapa pasang telinga mendengarkan teriakannya yang melengking nyaring ketika ia memanggil puteranya itu. Dan pemilik mata dan telinga ini saling pandang dengan kaget dan penuh kagum, juga agak gentar. Mereka adalah Pek-lian Sam-kwi dan murid mereka, Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang mengintai dari puncak bukit tempat mereka bersembunyi.

Selagi Hui Song hendak mendaki bukit berikutnya, tiba-tiba ada bayangan orang muncul dari dalam hutan di lereng bukit itu dan orang ini berlari turun memapakinya.

"Suhu……!”

Orang itu bukan lain adalah Ciok Gun yang cepat membungkuk dengan sikap hormat kepada Cia Hui Song.

"Ciok Gun, engkau? Kemana saja engkau dan mana pula dua orang sutemu? Dan apakah engkau melihat ayah dan puteraku?”

"Suhu, panjang ceritanya. Akan tetapi, marilah suhu ikut saya. Teecu (murid) mengetahui dimana adanya su-kong (kakek guru) dan sute Kui Bu. Mari…..!”

Dan Ciok Gun lalu membalikkan tubuhnya berlari mendaki bukit itu. Tentu saja Hui Song segera mengikutinya. Senja telah mendatang dan akan semakin sukar mencari ayah dan puteranya kalau malam tiba. Dia merasa gembira mendengar bahwa Ciok Gun mengetahui dimana adanya mereka, akan tetapi juga timbul keheranan dan kekhawatiran melihat sikap murid Cin-ling-pai yang tidak wajar ini.

Seperti juga yang dialami kakek Cia Kong Liang, Hui Song merasa terkejut dan heran ketika dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada dihutan dekat puncak bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok disitu!

"Pondok siapakah ini?" tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut.

"Ssttt…… teecu melihat ayah dan putera suhu di sebuah ruangan. Mari…….!" bisiknya dan diapun menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping kecil yang terbuka.

Hui Song juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, dia telah dapat "merasakan" adanya sesuatu yang tidak beres, maka diapun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam dirinya.

Mereka tiba di ruangan belakang dan Ciok Gun memheri isyarat kepada Hui Song untuk mendekat. Hui Song ikut mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Dan begitu dia mengintai ke dalam, dia terkejut dan juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu kaki tangannya.

"Ayah! Kui Bu……!”

Dia berseru dan sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu. Akan tetapi, dari kanan kiri berkelebat bayangan orang dan kini di depannya menghadang empat orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh sampai enam puluh tahun dan seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya.

Hui Song juga melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan dia duduk di atas bangku di sudut dengan tenang dan dingin, seperti sebuah patung saja!

“Selamat datang, pendekar besar Cia Hui Song!" kata wanita itu sambil tersenyum manis dengan gaya yang memikat. "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!"

Hui Song mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat betapa orang tua itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang memandang kepadanya dengan nampak khawatir. Juga puteranya rebah miring dalam keadaan terbelenggu dan tidak bersuara. Tentu saja dia merasa gelisah sekali melihat keadaan mereka.

"Siapakah kalian?” Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia sedang marah. “Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?”

Bi Hwa tersenyum.
"Mereka menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu kesini.”

“Ciok Gun…….? Dia…… dia…….. hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!”

"Nanti setelah kita bicara, pendekar yang tampan!”

"Keparat akan kubebaskan sendiri mereka!"

Dan Hui Song bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di Cin-ling-pai itu, maju menghalang.

"Minggir kau, perempuan iblis!" bentak Hui Song dan diapun mendorong ke arah Bi Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya ,sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk…….! Aihhh……!" Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling.

Akan tetapi ketika Hui Song yang diam-diam terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga wanita itu hendak maju, tiga orang tosu itu sudah berdiri di depannya menghadang. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka sebelum dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya.

"Ciok Gun, bebaskan sukongmu dan sutemu!" bentaknya kepada Ciok Gun.

Akan tetapi sekali ini, Ciok Gun tetap duduk diam seperti patung, tidak bergerak sama sekali seolah tidak mendengar perintah itu.

“Hemm, kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai!" bentaknya dan diapun menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut pendek dan bermuka hitam.

Dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanannya menampar ke arah kepala lawan yang pendek gendut itu. Siok Hwa Cu mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua lengannya menangkis.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar