Ads

Selasa, 11 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 66

"Rasakan kau! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Cabul dan mesum kau, hamba nafsu kau! Rasakan sekarang!"

Hay Hay memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi. Senja telah lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun. Setelah dia mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia lalu duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk termenung.

Dia tahu benar apa yang terjadi, di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu berahinya, membuat dia bergairah dan lupa diri. Biarpun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor. Dia tahu benar bahwa ini tentulah darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga tersohor, Si Kumbang Merah!

Dia memiliki darah seorang hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Kalau dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat daripada ayahnya. Untung tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Kalau tidak, tentu akan terjadi hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang bersih ke dalam lumpur kotor, dan mungkin sekali dia melangkah, dia tidak akan dapat undur kembali, bahkan akan menjadi semakin tersesat!

Dia memiliki banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Dia begitu mudah menundukkan wanita dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik selama hidup.

Akan tetapi, begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan kehendak nafsunya.

Orang yang berkedudukan mabuk kekuasaan karena nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja, bersenjatakan wewenang dan kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, si hartawan mempergunakan kekayaannya untuk mendapatkan kesenangan pula, yang pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenahg-wenang, dan selanjutnya. Semua itu adalah ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran.

Nafsu membuat kita selalu kesenangan, kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan lagi karena desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, melainkan demi kelezatan, demi keenakan.

Biar bermanfaat bagi kesehatan, kalau tidak enak, kita enggan memakannya. Sebaliknya, biar membahayakan kesehatan, kalau enak, kita makan dengan lahapnya. Demikian pun dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan, yang timbul dari kebanggaan. Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya, sebagai hiasan tubuh.

Dalam segala perbuatan dalam kehidupan ini, kita selalu menunjukkan atau mengarahkan kepada tercapainya kesenangan yang kita idamkan, yang kita namakan kebutuhan atau kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok, setiap golongan, mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan demi mencapai kepentingan masing-masing.

Hay Hay mengamati diri sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu berahi yang bergejolak dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya hanya satu, yaitu dia harus menikah! Akan tetapi, dengan siapa? Banyak, bahkan hampir setiap orang wanita, disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya. Selama ini, yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya, sampai saat ini, hanyalah Cia Kui Hong seorang! Memang selain Cia Kui Hong, banyak sekali gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan dapat menjadi pengganti Kui Hong, kalau saja dia tidak berjodoh dengan Kui Hong. Akan tetapi, gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah semua, telah menjadi isteri orang lain.

Hay Hay memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu saja Kok Hui Lian yang biarpun lebih tua sepuluh tahun darinya, merupakan wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya dalam soal asmara karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Kini, Kok Hui Lian telah menjadi isteri pendekar Ciang Su Kiat.

Kemudian Bi Lian, Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong yang kini menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pernah menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu.






Tinggal Cia Kui Hong, satu-satunya gadis yang sesungguhnya dicintanya sampai sekarang, akan tetapi orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Diapun tidak terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu. Cia Kui Hong adalah puteri sepasang pendekar yang amat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah cucu Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Kalau suami isteri pendekar terkenal itu melarang puterinya menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah, mereka tentu saja tidak dapat dipersalahkan.

Dia sendiri yang menjauhkan diri dari Kui Hong ketika mendengar bahwa sepasang pendekar itu tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan sejak itu dia merana walaupun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah benar.

Hidup adalah perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad menghadapi tantangan karena hidup penuh dengan tantangan yang datang dari segenap penjuru. Tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap kehormatan, seribu macam. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak kepada penanggulangan semua tantangan itu!

Menghadapi setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justeru itulah yang membuat kehidupan berarti, beromantika, bervariasi. Tantangan dapat merupakan keadaan yang bagaimana pahitpun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan. Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanya permainan batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian tak terpisahkan dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah, itu. Hadapi dan usaha sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya!

Landasannya hanya satu, ialah penyerahan kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki Tuhan. Kehendak Tuhanpun jadilah, setiap saat dan dimana saja! Hasil atau gagal usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan itu.

Hay Hay tersenyum! Dia menerima kenyataan saat itu. Muka dan seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut bekal pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa denyut-denyut itu tanpa menilainya, tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu.

Kalau sudah demikian, sukarlah menentukan apakah rasa denyut-denyut itu menyusahkan atau menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat! Hay Hay merasa heran sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan diapun tertawa bergelak. Kalau ada orang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu.

Akan tetapi tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti orang gila. Sebaliknya, mereka itu mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat betapa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya bergoyang-goyang! Akan tetapi, yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, melainkan terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu.

Mereka itu tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Seorang tinggi kurus, seorang pendek gendut dan seorang lagi brewok tinggi besar. Yang tinggi kurus agaknya yang menjadi pemimpin. Dia berbisik,

"Kalian berdua harus menyerang dia dengan tiba-tiba dan selagi dia membela diri, aku akan menyambar buntalan pakaiannya."

Si brewok menyeringai,
"Hemm, Toa-ko," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini? Datangi saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah? Paling-paling menggoda perempuan. Tadipun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun."

"Siauw-te, Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biarpun pemuda itu tadi dipukuli orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu, dan tidakkah kau lihat tadi ketika dia tertawa pohon yang disandarinya itu bergoyang-goyang?"

"Sudahlah, kerjakan perintahku. Kalian mengambil jalan memutar dan menyerang dari samping kiri. Aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat laksanakan!" kata si tinggi kurus.

Dua orang itu lalu menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti gerakan harimau mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan tetapi dia tentu bukan Hay Hay kalau tidak tahu bahwa dirinya diintai orang yang mencurigakan. Tawanya tadipun bukan hanya mentertawakan keadaan dirinya sendiri, juga mentertawakan tiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia miskin tidak punya apa-apa, kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya, seperti hendak merampoknya? Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka rampas?

Dengan pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, kini Hay Hay yang mengikuti gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua diantara tiga orang telah mengambil jalan memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedang yang seorang lagi menghampiri dari arah kanan. Diapun nampak tenang walaupun tentu saja dia sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Karena sikapnya itu, maka ketika dua orang, orang gendut dan orang tinggi besar menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan loncatan ke depan. Pada saat itu, si tinggi kurus sudah menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter.

"Hemm, kiranya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay.

Ditegur demikian, tiga orang itu diam saja, akan tetapi mereka bertiga sedang asyik membuka buntalan dan memeriksa isinya. Hanya beberapa potong celana dan baju, sebungkus obat-obat, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga. Si tinggi kurus menyerahkan buntalan itu kepada si brewok dan bersama si gendut memeriksa kembali dengan teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.

"Hei, orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah, keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan tidak akan mengganggumu lagi."

Hay Hay memandang heran,
"Ehh? Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian? Dan engkau minta benda apakah, Paman? Aku ini seorang perantau miskin, tidak mempunyai uang."

Hay Hay teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik bajunya. Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Kalau ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, dia tidak akan merasa heran karena kalau para tokoh kang-ouw mengetahuinya, tentu mereka tidak segan mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu.

Batu kemala itukah yang dikehendaki tiga orang ini? Dia menerima batu mustika itu sebagai hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang amat ampuh sebagai obat dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika itulah yang dimaksudkan tiga orang ini.

"Orang muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang kau terima dari Yu Siucai!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar