Ads

Rabu, 17 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 22

Kota Sui-yang merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena letaknya yang dekat dengan sungai Yang-ce-kiang. Perdagangan di kota itu ramai dilakukan orang melalui pelabuhan di kota itu. banyak pula pedagang yang datang maupun singgah di Sui-yang sehingga kota itu mempunyai banyak rumah penginapan dan rumah makan yang besar-besar.

Satu diantara rumah makan yang besar adalah rumah makan Hok-lai, sebuah rumah makan yang dapat menampung lebih dari seratus tamu. Dan dibagian belakang rumah ini terdapat bangunan dengan loteng yang dipergunakan sebagai rumah penginapan pula.

Untuk rumah makan dan rumah penginapan sebesar itu tentu saja diperlukan tenaga pelayan yang banyak jumlahnya. Siang itu rumah makan dan penginapan Hok-lai telah sibuk sekali, terutama dirumah makan. Yang makan disini bukan saja tamu-tamu sendiri, akan tetapi juga banyak tamu dari luar yang tidak menginap disitu dan penduduk Sui-yang sendiri karena rumah makan Sui-yang terkenal dengan masakannya yang lezat.

Para pelayan rumah makan itu sangat sibuk melayani para tamu yang memenuhi tempat itu. Suasana menjadi ramai sekali. Para tamu saling bercakap sendiri dan bahkan ada orang yang berteriak memanggil pelayan.

Seorang pelayan yang bertubuh kecil dengan gesitnya melayani para tamu dan ketika dia membawa sebuah baki yang terisi beberapa macam masakan, tanpa disengaja gerakannya menyenggol pundak seorang tamu. Air kuwah panas memercik dari mangkok di atas bakinya dan kuwah itu mengenai sepatu tamu yang di tabraknya. Tamu itu menjadi marah sekali, apalagi ketika teman-teman semejanya, mereka semua berempat, mentertawakannya. Ketika pelayan itu kembali dan mengantarkan masakan dan lewat di dekat meja itu, tiba-tiba saja leher bajunya sudah dicengkeram oleh tamu itu.

“Jahanam, kau taruh dimana matamu? Enak saja menabrak orang dan menyiram sepatuku dengan kuah panas!”

Pelayan itu masih ingat akan peristiwa tadi, maka dengan cepat dia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dadanya.

“Harap kongcu mengampuni saya. Saya tidak sengaja…..”

“Plak-plak-plak Tiga kali muka pelayan itu di gampar oleh pemuda itu. Gamparannya sangat keras sehingga pipi pelayan itu menjadi merah membiru dan membengkak.

“Ampun, kongcu…..!” pelayan itu merintih dan meraba kedua pipinya.

“Hayo cepat bersihkan sepatu ini!” bentak si pemuda.

Pelayan itu membungkuk dan menggunakan kain lapnya untuk membersihkan sepatu yang tadi terkena kuah panas.

“Pergunakan bajumu itu! Hayo cepat, yang bersih!”

Pelayan itu menurut karena takut dipukul lagi. Pengurus rumah makan segera datang dan dia mintakan maaf untuk pegawainya. Pemuda itu dengan sombong lalu menendang si pelayan sehingga terjengkang.

Pelayan itu cepat merangkak bangun dan meninggalkan pemuda yang sudah mereda kemarahannya itu. Tiga orang temannya kembali menggodanya sambil tertawa-tawa. Para tamu yang menjadi penduduk Sui-yang mengenal empat orang pemuda ini yang memang merupakan orang-orang yang suka mencari perkara dan suka mempergunakan kekerasan kepada orang lain. Karena itu, ketika terjadi pemukulan terhadap si pelayan, tidak ada orang yang berani melerai. Pemuda-pemuda kasar itu suka main keroyokan dan mereka memiliki ilmu silat yang lihai.

Seorang diantara para pelayan itu ada seorang yang masih muda, bertubuh tinggi tegap dan bersikap sederhana. Pelayan ini merupakan pelayan baru. Baru seminggu dia bekerja disitu sebagai pelayan. Ketika terjadi pemukulan terhadap pelayan bertubuh kecil kurus itu, pelayan ini memandang dan sinar matanya berkilat. Akan tetapi dia masih menahan diri, apalagi melihat bahwa pengurus rumah makan telah turun tangan memintakan maaf sehingga urusan itu dapat selesai.






Pelayan baru ini adalah bukan lain adalah Si Kong! dalam perantauannya, dia mengambil keputusan untuk kembali ke dusun tempat tinggal mendiang orang tuanya. Dia ingin sekali bertemu dengan Si Kiok Hwa encinya yang menjadi selir hartawan Lui di dusun Ki-ceng. Dia dapat menduga bahwa encinya kini tentu telah menjadi janda.

Ketika dia pergi meninggalkan dusunnya, sepuluh tahun yang lalu encinya itu menikah dengan Hartawan Lui yang berusia tujuh puluh tahun. Dalam perjalanan menuju ke dusun Ki-ceng, ketika tiba di Sui-yan, Si Kong singgah dan mencari pekerjaan di kota besar ini. Dia tidak ingin berkunjung dan bertemu dengan encinya tanpa sekepingpun uang disakunya. Dia ingin bekerja sebulan dua bulan, mengumpulkan uang gajinya dan baru dia akan mengunjungi encinya.

Ketika melihat seorang rekannya dipukuli tamu, Si Kong merasa penasaran sekali. Akan tetapi dia teringat akan pesan mendiang gurunya agar tidak sembarangan mencari permusuhan dan memperlihatkan kepandaian. Dia harus bersikap sebagai seorang yang lemah dan bodoh, dan selalu bersikap rendah hati. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya dengan susah payah selama bertahun-tahun itu bukan untuk dipamerkan, juga bukan untuk mencari permusuhan.

Tiba-tiba Si Kong melihat dua orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Karena dia sedang kosong tidak melayani tamu lain, dia segera menyongsong kedatangan kedua orang itu.

Mereka adalah seorang gadis dan seorang pemuda. Dari dandanan mereka dapat diketahui bahwa pemuda dan gadis ini tentulah orang-orang kang-ouw. Gadis itu membawa pedang di punggungnya, dan dipinggang pemuda itu terselip dua buah pedang pendek. Langkah mereka tegap dan biarpun pakaian mereka cukup bersih, namun sikap mereka sederhana dan gadis itupun bukan seorang pesolek.

Akan tetapi Si Kong harus mengakui bahwa gadis itu cantik sekali. Rambutnya di gelung ke atas dan diikat dengan pita merah. Anak rambut yang melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipisnya. Matanya bersinar tajam, hidungnya mancung dan mulutnya yang kecil mengembangkan senyuman yang membuat majahnya nampak manis dan ramah. Pemuda itupun seorang pemuda yang gagah. Mereka merupakan pasangan yang serasi.

“Selamat siang, siocia (nona) dan kongcu (tuan muda)!” Kata Si Kong membungkuk hormat.

“Ji-wi (kalian) hendak makan?”

“Masih adakah meja kosong?” tanya pemuda itu sambil melayangkan pandang matanya di ruangan yang penuh tamu itu.

“Masih, kongcu. Silakan ikut saya.” Kata Si Kong yang tahu benar mana meja yang sudah kosong. Dia melangkah mendahului dan membawa mereka ke meja kosong yang bersebelahan dengan meja dimana empat orang pemuda berandalan tadi duduk. “Meja ini kosong, kongcu. Silakan duduk.”

Si Kong menggunakan kain lapnya untuk membersihkan meja itu dari sisa-sisa percikan kuah. Pemuda dan gadis itu lalu duduk berhadapan, dan kebetulan saja gadis itu duduknya menghadap ke arah meja sebelah dimana empat orang pemuda berandalan itu duduk.

“Kongcu dan siocia hendak memesan apakah?” tanya Si Kong.

“Nanti dulu, apakah disini juga menyediakan kamar tamu?” tanya pula pemuda itu.

“Ah, ada, kongcu. Memang Hok-lai ini merupakan rumah makan merangkap rumah penginapan.”

“Kalau begitu siapkan dua kamar yang berdampingan untuk kami.”

“Baik, kongcu.”

“Dan untuk makan kami, sediakan nasi dan beberapa macam sayur, dan ayam panggang. Minumannya beri air teh dan juga anggur yang baik.”

“Baik, kongcu.”

Tiba-tiba dari meja empat orang pemuda itu terdengar suara,
“Aih, nona cantik seperti dewi!”

Gadis itu mengangkat mukanya dan matanya bersinar marah. Si Kong memutar tubuhnya dan melihat bahwa empat orang pemuda berandalan itu mengedip-ngedipkan mata dengan sikap kurang ajar sekali kepada gadis itu.

Pemuda itupun mendengar ucapan itu. Dia menoleh dan berbisik kepada gadis itu,
“Sumoi, kau duduk disini.” berkata demikian dia bangkit berdiri dan bertukar tempat dengan gadis itu.

Mendengar sebutan itu, tahulah Si Kong bahwa mereka itu kakak beradik seperguruan. Dia lalu pergi memenuhi pesanan mereka dan ketika dia pergi, dia sempat mendengar pula ocehan pemuda-pemuda berandalan itu.

“Dari belakang ia tampak lebih menarik. Lihat pinggulnya dan pinggangnya! Aduh, moleknya!”

“Hemm, mereka itu benar-benar keterlaluan, selalu mencari gara-gara,” pikir Si Kong.

Akan tetapi gadis yang baru berusia tujuhbelas tahun itu dan suhengnya pura-pura tidak mendengar dan tidak mengacuhkan mereka.

Ketika Si Kong mengantar hidangan yang dipesan, dia mendengar betapa pemuda itu lebih kurang ajar lagi. Mereka bangkit berdiri dan berkata kepada Si Kong,

“Hei, pelayan. Taruh pesanan itu di meja kami!”

Si Kong masih bersikap sabar.
“Akan tetapi, hidangan ini adalah pesanan kongcu dan nona ini.”

“Tidak, nona itu akan menemani kami makan di meja ini! Bukankah begitu, manis?”

Si Kong tidak perduli dan mengantar hidangan itu di atas meja kakak beradik seperguruan itu.

“Kalau begitu, kami berempat yang akan pindah kemejamu, ya nona?” kata pula seorang dari mereka, dan mereka semua sudah bangkit berdiri.

“Jangan jual mahal, nona. Kami adalah kongcu-kongcu yang mempunyai banyak uang di kota ini!” kata pula orang kedua dan kini mereka menghampiri meja gadis itu.

Suheng gadis itu menjadi marah. Dia bangkit berdiri dan kedua tangannya menekan meja.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar