Ads

Rabu, 17 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 23

“Sebetulnya apa maksud kalian mengganggu kami?”

“Siapa mengganggu? Kami berempat amat suka dan menghormati sumoimu ini dan hendak menjamunya untuk menghormatinya. Apakah itu mengganggu namanya? Kalau engkau tidak suka, engkau boleh makan sendiri, akan tetapi sumoimu ini suka menerima penghormatan kami. Bukankah begitu, nona manis?”

Suheng itu menjadi marah sekali dan dia menggebrak meja dengan kedua tangannya. Pada saat itu Si Kong juga menekan meja itu dengan tangan kirinya. Tiba-tiba saja empat batang sumpit yang berada di atas meja itu menyambar ke arah empat orang pemuda itu dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya.

“Aduh…..!”

“Ahh….!”

“Aduhhh….!”

Empat orang pemuda itu berteriak-teriak kesakitan karena tubuh mereka terluka oleh empat batang sumpit itu. Seorang terluka pundaknya, seorang pula terkena pahanya, yang lain terkena sumpit itu di pangkal lengan dan seorang lagi bahkan tertusuk daun telinganya!

Selain berteriak kesakitan, empat orang pemuda itu juga memandang sang suheng dengan mata terbelalak, kemudian mereka berempat berlari keluar meninggalkan meja mereka tanpa membayar harga makanan dan minuman.

Si Kong berkata kepada suheng dan sumoi itu.
“Kongcu dan siocia kini dapat makan dengan tenang. Ah, kemana sumpit-sumpit tadi? Biar saya mengambil yang baru untuk ji-wi.”

Diapun tergesa-gesa mengambil sumpit baru dua pasang dan menyerahkan kepada kakak beradik seperguruan itu.

Pemuda itu bernama Thio Bun Can, berusia duapuluh tahun, seorang pemuda putera seorang penduduk di kota Sin-keng yang tidak begitu jauh letaknya dari Sui-yang, hanya limapuluh li jauhnya. Gadis itu bernama Gu Mei Cin, berusia tujuhbelas tahun, puteri Gu Kauwsu (Guru silat Gu) yang menjadi murid dari Thio Bun Can.

Mereka berdua dalam perjalanan untuk menyelidiki gangguan penjahat terhadap pengiriman barang-barang berharga yang dikawal oleh paman gadis itu yang menjadi piauwsu (pengawal barang kiriman). Satu peti barang kawalan dapat dirampas penjahat dalam perkelahian membela barang-barang kiriman yang menjadi tanggung-jawabnya sang paman itu menderita luka-luka.

Mendengar ini, Mei Cin membela pamannya, mengajak suhengnya untuk melakukan penyelidikan. Itulah yang membawa mereka datang ke kota Su-yang, karena peristiwa perampokan itu terjadi dalam perjalanan antara Sin-keng dan Sui-yang. Akan tetapi, sampai ke kota Sui-yang mereka belum mendapatkan keterangan dan mereka bermaksud untuk melakukan penyelidikan ke kota Sui-yang.

Setelah empat orang pemuda berandalan itu pergi, Thio Bun Can dan Gu Mei Cin saling pandang dengan penuh keheranan. Saking terkejut dan heran mereka, kedua orang kakak beradik seperguruan ini sampai tidak sempat memperhatikan ketika Si Kong mengambilkan dua pasang sumpit yang baru untuk mereka. Setelah Si Kong meninggalkan mereka, barulah Bun Can berbisik kepada sumoinya.

“Sumoi, apakah yang telah terjadi?”

Mei Cin juga memandang bingung.
“Aku sendiri juga tidak mengerti, suheng. Akan tetapi yang jelas, ada seorang sakti yang telah membantu kita.”






“Akan tetapi bagaimana caranya? Bagaimana sumpit-sumpit itu dapat beterbangan dari atas meja kita?” bisik lagi pemuda itu.

Mei Cin menggerakkan pundaknya.
“Kalau ada orang menggunakan sumpit untuk menyambit sebagai senjata rahasia, hal itu tidak mengherankan. Akan tetapi tanpa menyentuh dapat membuat sumpit-sumpit itu beterbangan dan dengan tepat mengenai empat orang berandalan tadi, sungguh seperti ilmu sihir saja.”

“Hemm, masuk akal juga pendapatmu. Mungkin ada orang sakti ahli sihir yang telah membantu kita, sumoi. Akan tetapi sejak sekarang, kita harus berhati-hati karena siapa tahu orang-orang berandalan itu masih tidak mau menerima kekalahan mereka.”

Setelah selesai makan, kedua orang itu memanggil Si Kong yang tadi melayani mereka, membayar harga makanan minuman kepada kasir dan minta diantar oleh Si Kong ke kamar mereka yang sudah dipesan sebelumnya. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan di loteng.

Setelah mendapatkan kamar masing-masing, Bun Can berkata kepada Mei Cin,
“Sumoi, kurasa sebaiknya kalau kita tinggal saja dipenginapan ini dan siang tidak keluar. Hal ini adalah untuk mencegah terjadinya keributan kalau-kalau para berandalan tadi hendak mencegat kita.”

“Hemm. Kalau mereka berani menghadang, akupun tidak takut, suheng!” kata Mei Cin dengan penasaran. “Mereka itu adalah orang-orang yang patut dihajar keras!”

“Apakah engkau lupa akan tugas utama kita, sumoi? Tugas kita adalah menyelidiki gerombolan yang telah mengganggu Gu Piauwsu (Pengawal Gu), pamanmu itu. Jangan tugas kita sampai terganggu oleh segala macam keributan dengan berandalan itu. Malam nanti saja kita keluar melakukan penyelidikan.”

“Kemana kita akan melakukan penyelidikan?”

“Kemana saja. Ketempat-tempat ramai, tempat perjudian dan kalau perlu ke tempat pelesiran yang biasa di datangi para penjahat. Siapa tahu kalau kita akan mendapat kabar dari tempat-tempat itu.”

“Baik, suheng.”

Percakapan antara mereka itu diam-diam terdengar oleh Si Kong. Pemuda ini memang masih mengkhawatirkan kedua orang itu. Siapa tahu pemuda-pemuda berandalan itu akan mendatangkan bala bantuan dan akan tetap mengganggu si gadis.

Mendengar percakapan itu, diam-diam Si Kong merasa heran. Apakah yang mereka sedang selidiki? Dia sudah mengambil keputusan untuk mengamati mereka dan membantu mereka kalau-kalau mereka terancam bahaya.

**** 23 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar