Ads

Rabu, 17 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 24

Malam itu Si Kong tidak bertugas. Setelah bekerja di bagian rumah makan sejak pagi sampai sore, malam itu Si Kong bebas tugas. Hal ini kebetulan sekali baginya karena dia sudah mengambil keputusan untuk mengamati kakak beradik seperguruan itu. Maka, ketika kedua orang itu meninggalkan rumah penginapan dengan pakaian ringkas, diapun membayangi mereka dari jauh.

Dia melihat kakak beradik itu berkunjung ke tempat-tempat pelesir dan bahkan memasuki rumah perjudian, akan tetapi sampai banyak tempat mereka kunjungi, tidak terjadi sesuatu atas diri mereka. Akhirnya kakak beradik itu kembali kerumah penginapan dan selagi Si Kong membayangi dari jauh, dia melihat ada sesosok bayangan berkelebat. Ada orang lain yang agaknya juga membayangi kedua orang itu dan orang ini mengenakan pakaian serba hitam. Ketika kakak beradik itu tiba di rumah penginapan, bayangan itupun menghilang.

Akan tetapi Si Kong merasa penasaran. Tidak mungkin orang yang membayangi mereka tadi hanya ingin membayangi saja seperti yang dia lakukan. Pasti ada kemauannya dan mungkin kemauan itu akan dilaksanakan malam ini.

Karena itu, Si Kong tetap waspada. Dia tidak memasuki kamarnya melainkan bersembunyi di luar sambil mengintai ke arah kamar kakak beradik di loteng itu. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, setelah kamar itu lama memadamkan lilin, sesosok bayangan berkelebat dengan gesitnya menuju ke kamar loteng itu. Dan bayangan itu berhenti di jendela kamar gadis itu!

Dengan hati-hati Si Kong mendekati. Dengan mempergunakan ilmu Liok-te Hui-teng, tubuhnya meloncat ke atas tanpa sedikitpun suara dan tahu-tahu dia telah berada di atas genteng kamar gadis itu. Dia membuka genteng dan menyambit ke dalam kamar dengan pecahan kecil genteng. Usahanya berhasil. Mei Cin sadar dari tidurnya dan gadis ini cepat bangkit berdiri dan pada saat itu ia melihat ada asap di tiupkan masuk dari jendela kamarnya,

Mei Cin maklum bahwa ada orang jahat di luar kamarnya. Ia segera menyambar pedangnya yang diletakkan di atas meja dekat buntalan pakaiannya dan sambil menahan napas agar tidak menyedot asap yang mulai memasuki kamar dari jendela itu, ia membuka pintu dan meloncat keluar.

Orang berpakaian serba hitam itu ternyata menutupi wajahnya dengan kain hitam pula. Dia terkejut melihat gadis itu tahu-tahu telah muncul di luar kamar dan Mei Cin juga tidak membuang waktu lagi.

“Jahanam!” bentaknya dan ia sudah menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi si topeng hitam itu ternyata memiliki gerakan yang gesit. Ia mengelak, menggulingkan tubuhnya dan setelah dia bangkit berdiri, dia telah memegang sebatang golok yang tadinya diselipkan di punggungnya.

“Traaang……!” penjahat itu kini menangkis ketika Mei Cin menusukkan pedangnya lagi dan begitu golok bertemu pedang, Mei Cin terkejut sekali karena pedangnya terpental. Orang itu ternyata memiliki tenaga yang kuat sekali.

“Suheng, bangun! Ada penjahat!”

Mei Cin berseru dan terus ia menyerang. Terjadi perkelahian yang sengit, akan tetapi segera gadis itu terdesak ketika penjahat itu balas menyerang. Ternyata bahwa bukan saja tenaganya besar juga ilmu goloknya ganas sekali.

Thio Bun Can terbangun oleh teriakan sumoinya dan suara gaduh perkelahian. Dia keluar membawa dua pedang pendeknya dan melihat sumoinya sedang bertanding dengan seorang yang memakai topeng kain hitam yang lihai sekali gerakan goloknya, tanpa banyak cakap lagi diapun terjun ke dalam pertempuran mengeroyok.

Akan tetapi si topeng hitam itu ternyata tidak terdesak oleh pengeroyokan itu, bahkan kedua orang kakak beradik itu yang dalam keadaan terdesak!

Tiba-tiba penjahat itu berteriak kaget dan goloknya terlepas dari tangannya. Ada suatu benda menyambar dan mengenai siku kanannya yang membuat lengannya lumpuh sehingga goloknya terlepas. Setelah mengeluarkan teriakan ini penjahat itu lalu melompat jauh ke atas genteng rumah di sebelah.

Kakak beradik itu tidak berani mengejar karena selain gin-kang orang itu lihai sekali, juga mereka tahu bahwa ilmu kepandaian orang itu masih berada di atas tingkat mereka. Kamar-kamar yang berdekatan mulai membuka pintu dan para tamu yang bermalam disitu bertanya-tanya.

Bun Can dan Mei Cin segera menyimpan senjata mereka dan Bun Can berkata kepada para tamu dan para pelayan yang datang berlarian,






“Ada pencuri hendak memasuki kamar, akan tetapi kami telah berhasil mengusirnya. Dia melarikan diri meninggalkan golok itu.”

Setelah semua orang bubaran dan mengunci pintu kamar mereka masing-masing dengan hati merasa khawatir kalau-kalau mereka juga akan didatangi pencuri, kakak beradik itu lalu bercakap-cakap.

“Heran sekali, mengapa dia melepaskan golok dan melarikan diri?” kata Bun Can.

Mei Cin mengerutkan alisnya.
“Tidak salah lagi. Tentu ada orang yang diam-diam membantu kita, seperti yang terjadi siang tadi. Tidak mungkin penjahat itu melepaskan senjata dan melarikan diri tanpa sebab. Bahkan tadipun ketika aku sedang tidur, ada yang membangunkan aku dari tidur sehingga aku dapat melihat usaha penjahat itu meniupkan asap ke dalam kamarku. Mari kita periksa, suheng.”

Mereka memasuki kamar gadis itu dan setelah memeriksa dan mencari, akhirnya mereka menemukan pecahan genteng yang berada di atas tempat tidur. Mei Cin mengambil pecahan genteng itu dan berkata,

“Inilah agaknya yang membangunkan aku. Tentu disambitkan dan mengenai kakiku karena aku merasa seperti ada yang menepuk kakiku. Pasti ini merupakan pekerjaan orang yang selalu membantu kita itu, suheng.”

“Siapa orangnya, jelas dia bermaksud baik dan kita harus berterima kasih kepadanya, sumoi. Penjahat tadi lihai sekali. Kalau dia datang kembali dan membawa kawannya, tentu kita akan celaka.”

“Akan tetapi, mengapa dia hendak menyerang kita?”

“Ya, hal itu juga aneh sekali. Ada dua kemungkinan, sumoi. Pertama, dia seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang siang tadi melihatmu dan menjadi tertarik untuk mengganggumu, atau mungkin juga ada hubungan dengan penyelidikan yang kita lakukan. Lebih baik kita pulang dan melaporkannya kepada suhu, minta pendapatnya. Kalau penjahat tadi ada hubungannya dengan penyelidikan kita, berarti dia itu seorang diantara para penjahat itu bersarang di kota ini. Sebaiknya kalau suhu sendiri yang memutuskan tindakan apa selanjutnya akan diambil.”

“Kurasa engkau benar, suheng. Masih untung kita mempunyai seorang tuan penolong yang tidak mau dikenal, kalau tidak, tentu kita sudah celaka.”

“Betapapun juga, malam ini sampai besok pagi kita harus waspada.”

Kedua orang kakak beradik itu lalu berpisah, ke kamar masing-masing. Si Kong yakin bahwa penjahat tadi tidak akan berani kembali setelah di hajarnya dengan pecahan genteng sehingga goloknua terpental dan dia melarikan diri. Dia merasa puas sudah dapat membantu kakak beradik itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Si Kong melewati kedua pintu kamar itu, dia dipanggil oleh Thio Bun Can.

“Sobat, tolong beritahu pengurus rumah penginapan bahwa pagi ini juga kami akan berangkat. Kami hendak membayar sewa kamar.”

Si Kong memandang kepada gadis yang sudah siap menggendong buntalan pakaian dan pedangnya. Dia merasa kagum. Biarpun semalam telah terjadi ancaman bahaya dan agaknya gadis itu tidak tidur lagi, namun gadis itu nampak segar dan cantik, bahkan sikapnya demikian tenang seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang mengancam keselamatannya. Dia lalu melayani kakak beradik itu dan setelah membayar uang sewa kamar, keduanya lalu berangkat dan pergi meninggalkan kota Sui-yang.

Setelah pemuda dan gadis itu pergi, Si Kong membersihkan bekas kamar mereka dan dia merasa kesepian, kehilangan! Dia merasa heran sendiri mengapa dia begitu kagum dan tertarik kepada gadis itu yang sama sekali tidak dikenalnya.

Si Kong memang rajin sekali. Pagi-pagi sekali dia bekerja di bagian rumah penginapan dan setelah rumah makan dibuka, dia membantu rumah makan sampai malam. Majikan pemilik rumah penginapan dan rumah makan Hok-lai merasa suka sekali dengan pekerjaan pemuda yang rajin itu maka dalam waktu beberapa hari saja Si Kong sudah diangkatnya menjadi mandor atau pengawas para pekerja yang lain!

Hal ini tentu saja menimbulkan perasaan iri dalam hati banyak pelayan yang sudah bekerja lebih lama di tempat itu.

Ketika siang itu dia bekerja di rumah makan, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Rumah penginapan itu kehilangan beberapa gambar dan pot bunga yang berharga mahal. Tadinya benda-benda itu dipasang di ruang tamu, akan tetapi tiba-tiba lenyap. Ketika majikan rumah penginapan itu tidak melihat benda-benda hiasan itu, dia menjadi marah dan memanggil para pelayan rumah penginapan. Semua pelayan menjadi ribut dan mencari-cari dan akhirnya orang menemukan benda-benda berharga itu didalam kamar Si Kong tersembunyi dibawah kolong tempat tidurnya!

Tentu saja majikan itu menjadi marah. Si Kong dipanggil dan ditanyai. Biarpun Si Kong tidak mengaku mencuri dan mengatakan tidak tahu bagaimana benda-benda itu dapat berada di kolong tempat tidurnya, akan tetapi karena bukti sudah menyatakan bahwa barang-barang yang hilang berada di tempat tidurnya, maka majikan itu tidak mendengarkan semua bantahannya dan Si Kong diusir hari itu juga. Upahnya selama beberapa pekan dibayar.

Si Kong maklum bahwa dia difitnah. Akan tetapi dia tidak merasa perlu untuk menyelidiki hal itu. Memang diapun tidak ingin bekerja selamanya di tempat itu. setelah dikeluarkan dari pekerjaannya, Si Kong lalu membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan rumah penginapan itu, bahkan meninggalkan kota Sui-yang, tiga hari setelah Bun Can dan Mei Cin meninggalkan kota itu.

Gu Mei Cin dan suhengnya, Thio Bun Can, setelah meninggalkan kota Sui-yang langsung saja pulang ke kota Sin-keng yang jaraknya kurang lebih limapuluh li dari kota Sui-yang. Dalam perjalanan itu mereka tidak menemukan halangan sesuatu dan tibalah mereka di kota Sin-keng.

Ayah Gu Mei Cin yang bernama Gu Kiat atau dikenal dengan sebutan Gu Kauwsu (Guru Silat Gu) adalah seorang guru silat dikota itu yang terkenal. Muridnya cukup banyak dan putera-putera para pejabat dan hartawan di kota itu banyak yang menjadi muridnya.

Diantara semua muridnya yang paling dekat dengan Mei Cin, juga yang menjadi murid tauladan adalah Thio Bun Can. Diam-diam pemuda ini jatuh hati kepada sumoinya dan Gu Kauwsu juga menyetujui niat pemuda ini karena Bun Can memang seorang murid yang baik.

Itulah sebabnya ketika Gu Kauwsu mendengar akan malapetaka yang menimpa adiknya, Gu Piauwsu yang dilukai perampok dan barangnya ada yang terampas, dia mengijinkan puterinya pergi bersama Thio Bun Can untuk melakukan penyelidikan. Dia menganggap bahwa kepandaian silat puterinya sudah memadai dan juga Thio Bun Can dapat menjadi pengawal yang dapat dipercaya.

Ketika puteri dan muridnya datang, Gu Kauwsu segera menyongsong mereka dengan penuh harapan dan bicara dengan mereka di dalam kamarnya.

“Bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian? Kuharap ada hasil yang baik.” Kata Gu Kauwsu.

“Wah, penyelidikan kami belum menghasilkan sesuatu, bahkan sebaliknya kami hampir mendapat celaka di tangan orang jahat, ayah.” kata Mei Cin.

“Apa yang terjadi?”

“Suheng, kau ceritakan kepada ayah.” Mei Cin minta suhengnya untuk bercerita.

Bun Can lalu menceritakan tentang pertemuan mereka dengan pemuda-pemuda berandalan di rumah makan Hok-lai dan tentang bantuan seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri.

“Apa? Sumpit-sumpit di atas meja beterbangan sendiri menyerang empat orang pemuda yang kurang ajar itu? Seperti sihir saja!” kata Gu Kauwsu.

“Itulah, suhu. Teecu juga menganggap itu sihir, dan rupanya ada seorang sakti menggunakan sihirnya untuk membantu kami. Setelah orang-orang berandalan itu terusir pergi, kami tinggal di rumah penginapan sampai malam. Barulah pada malam harinya kami berdua berkunjung ke tempat-tempat yang sekiranya didatangi para penjahat untuk mencari keterangan. Kami datangi rumah-rumah judi, akan tetapi usaha kami sia-sia saja. kami tidak mendengar apa-apa yang penting tentang perampokan itu.”

“Akan tetapi pada malam hari itu terjadi hal yang aneh, ayah. Aku hampir saja celaka dalam peristiwa itu.” kata Mei Cin.

“Apa yang terjadi?” tanya Gu Kauwsu sambil memandang puterinya dengan alis berkerut.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar