Ads

Rabu, 17 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 25

“Lewat tengah malam selagi aku tidur pulas, tiba-tiba aku dibangunkan oleh sesuatu yang rasanya seperti ada yang menepuk kakiku. Ketika aku sadar dan terbangun, aku melihat ada asap yang memasuki kamarku lewat jendela. Aku menjadi curiga dan cepat aku keluar dari pintu dan melihat bahwa diluar jendelaku terdapat seorang yang berpakaian hitam dan bertopeng hitam pula, sedang meniupkan asap ke kamar itu. Tentu saja aku menjadi marah dan aku menyerangnya. Akan tetapi orang itu tangguh sekali dengan permainan goloknya. Bahkan ketika suheng terbangun dan membantuku, kami berdua tidak mampu mendesaknya, bahkan terancam oleh gerakan goloknya. Mendadak, terjadi pula keanehan. Entah mengapa, penjahat itu berteriak, goloknya terlepas dari tangannya dan dia meloncat dengan cepat sekali melarikan diri.”

“Hemm, agaknya kalian di bantu oleh orang secara diam-diam!” kata Gu Kauwsu.

“Agaknya memang begitu, ayah. Karena, setelah kami memeriksa dalam kamarku, aku menemukan sepotong pecahan genteng yang agaknya dipergunakan orang untuk membangunkan kau ketika penjahat itu melepaskan asap ke dalam kamar. Asap itu tentu asap pembius!”

“Akan tetapi, mengapa engkau yang didatangi penjahat itu?” tanya Gu Kauwsu.

“Kami berpendapat bahwa ada dua kemungkinan untuk itu, suhu. Pertama, mungkin saja penjahat itu seorang jai-hwa-cat yang mempunyai niat buruk terhadap sumoi. Dan kemungkinan kedua, perbuatannya itu ada hubungannya dengan penyelidikan kami, dan kalau begitu, dia tentu ada hubungannya dengan perampokan yang kami selidiki itu.”

“Maka kami putuskan untuk pulang dan melaporkannya kepadamu, ayah. Penjahat itu lihai sekali, kalau dia kembali bersama teman-temannya, tantu kami celaka.”

Gu Kauwsu meraba jenggotnya dan mengangguk-angguk.
“Tidak salah lagi! Penjahat itu tentu ada hubungannya dengan yang merampok pamanmu! Menurut pamanmu, yang mengalahkan dan melukai pamanmu juga seorang yang pandai mempergunakan golok, orangnya tinggi besar dan bermuka hitam seperti yang kalian telah dengar sendiri. Bagaimana bentuk tubuh orang yang berto[eng itu?”

“Tubuhnya juga tinggi besar, ayah. Akan tetapi sayang, mukanya tertutup topeng dan penerangan di luar kamar itu hanya kecil dan remang-remang. Aku tidak dapat melihat apakah separuh mukanya bagian atas yang tertutup itu hitam atau tidak.”

“Aku sendiri yang akan pergi melakukan penyelidikan ke Sui-yang!” kata Gu Kauwsu dengan nada suara penuh penasaran.

Tiba-tiba dari luar jendela nampak sebuah benda menyambar cepat ke arah muka Gu Kauwsu. Guru silat itu menggerakkan tangannya menangkap dan ternyata benda itu adalah sebuah pisau yang tajam dan runcing, yang menusuk sepotong kertas.

“Jahanam!”

Gu Kauwsu cepat melompat keluar dari jendela, diikuti puteri dan muridnya, akan tetapi diluar tidak terdapat siapapun. Pelempar pisau itu tekah pergi jauh. Terpaksa mereka kembali kedalam dan Gu Kauwsu membaca tulisan di atas kertas itu.

“Kalau hendak mencari perampas barang kiriman, pergilah ke Puncak Bukit Ayam.”

“Jahanam!” kembali Gu Kauwsu memaki. “Dia telah menantangku!”

Mei Cin dan Bun Can juga ikut membaca tulisan pada kertas itu dan mereka berdua juga menjadi marah.

“Sekarang jelas, ayah. Pelempar pisau tadi tentu juga penjahat bertopeng itu, dan mungkin dialah yang telah merampas barang kiriman yang dikawal paman. Dia pula yang melukai paman dengan goloknya.”

“Tidak salah lagi. Tentu dia! Dan dia menantangku untuk datang ke Bukit Ayam? Bagus!”

“Apa yang hendak ayah lakukan sekarang?” tanya Mei Cin.

“Apa lagi? Datang ke Bukit Ayam tentu saja. Bukit itu dekat saja dari sini dan sebelum gelap aku sudah akan tiba dipuncaknya.”

“Ayah tidak boleh pergi sendiri. Aku ikut untuk membantu, ayah.”






“Benar, suhu. Teecu juga ikut untuk membantu. Kalau perlu teecu akan memanggil murid-murid suhu yang lain dan kita beramai datang kesana.”

Gu Kauwsu menggeleng kepala.
“Jangan kaitkan para murid lain. Pula, kalau banyak orang datang kesana, penjahat itu tentu tidak akan muncul. Kita bertiga saja kesana, akan tetapi kalian harus mempersiapkan diri baik-baik dan berlaku hati-hati.”

Gu Kauwsu bersama puterinya dan muridnya cepat berkemas, disaksikan oleh isterinya. Setelah mempersiapkan diri, membawa senjata pedang masing-masing, Gu Kauwsu tidak lupa membawa sekantung senjata rahasia paku, mereka lalu meninggalkan rumah dan keluar dari kota Sin-keng melalui pintu gapura sebelah selatan.

Begitu keluar dari pintu gerbang, sudah nampak bukit yang di maksudkan. Dari jauh bukit itu memang kelihatan seperti kepala seekor ayam, karena itu maka bukit itu di sebut Bukit Ayam.

Dengan cepat, mempergunakan ilmu lari cepat, akan tetapi dengan sikap hati-hati, tiga orang ini mendaki Bukit Ayam dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit itu. Matahari telah mulai condong ke barat, namun masih terang.

Puncak bukit itu datar dan merupakan padang rumput terbuka, dikelilingi hutan yang berada di lereng bukit. Akan tetapi disitu sunyi saja, tidak nampak bayangan seorang pun.

Gu Kauwsu lalu mengerahkan khikangnya dan berteriak. Suaranya bergema di empat penjuru.

“Heii, perampok laknat. Keluarlah kalau memang engkau laki-laki!”

Segera terdengar suara tawa bergema di seluruh puncak dan tak lama kemudian nampak bayangan dua orang berlari naik ke pundak, datang dari hutan sebelah kiri. Gu Kauwsu memberi isyarat kepada puteri dan muridnya agar waspada. Mei Cin dan Bun Can segera mencabut pedang masing-masing dan berdiri dalam keadaan siap siaga.

Karena dua bayangan orang itu menggunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di depan tiga orang itu. gu Kauwsu dan dua orang itu memandang penuh perhatian.

Dua orang itu berdiri sambil tertawa-tawa dengan lagak sombong. Yang seorang adalah laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan tubuhnya tinggi besar, mukanya hitam garang menyeramkan. Orang kedua adalah seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih, tubuhnya sedang saja dia memegang sebatang tongkat berkepala naga. Kakek inilah yang tertawa tadi, dan sekarangpun dia masih menyeringai dengan sikap memandang rendah.

“Apakah kalian berdua yang mengirim surat mengundang kami kepuncak Bukit Ayam ini?” Gu Kauwsu bertanya denga suara tegas.

Yang muda dan bermuka hitam itu mejawab.
“Benar, akulah yang mengirim surat itu!”

“Apakah ini berarti bahwa engkau yang telah merampas barang kiriman yang dikawal oleh Gu Piauwsu dan yang telah melukainya?”

“Ha-ha, benar aku yang melakukannya!” jawab laki-laki bermuka hitam itu.

“Sobat, aku melihat engkau bukan seorang perampok biasa, bukan pula kepala gerombolan perampok. Kenapa engkau mengganggu pekerjaan Gu-piauwsu? Aku nasihatkan engkau untuk mengembalikan barang kiriman itu kepadaku atau terpaksa aku harus menggunakan kekerasan.”

Kata Gu Kauwsu dan suaranya bernada mengancam. Si muka hitam itu menoleh kepada kakek bertongkat kepala naga.

“Suhu, bagaimana pendapat suhu?”

“Serahkan saja guru silat ini kepadaku dan kau hadapi dua orang muda itu!” kata kakek itu dengan sikap tenang sekali dan dengan sekali lompatan kecil dia sudah menghadapi Gu Kauwsu, lalu berkata, “Kalau engkau masih sayang nyawamu, lebih baik engkau tidak mencampuri urusan ini. Barang sudah terampas bagaimana mungkin dikembalikan?”

Gu Kauwsu menjadi marah.
“Bun Can, Mei Cin, berhati-hatilah menghadapi si muka hitam itu!”

Setelah berkata demikian dia mencabut pedangnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya sudah mengambil segenggam paku yang merupakan senjata rahasianya yang ampuh.

“Orang tua sesat, engkau membela muridmu yang melakukan perampokan! Katakan siapa namamu, jangan mati tanpa nama!” bentak Gu Kauwsu.

“Ha-ha-ha, engkau guru silat kampungan, tidak mengenal siapa aku? Aku adalah majikan Pulau Tembaga, dikenal dunia kangouw sebagai Tung-hai Liong-ong!”

Mendengar nama ini, mata Gu Kauwsu terbelalak dan dia terkejut bukan main. Nama yang disebut kakek itu adalah nama seorang datuk besar disepanjang pantai timur!

“Tung-hai Liong-ong? Dia adalah seorang datuk besar pantai timur! Tidak mungkin dia begitu rendah untuk membela muridnya yang menjadi perampok!”

“Ha-ha, kami memungut sumbangan dari mereka yang berharta, bukan merampok. Engkau guru silat kampungan tidak perlu tahu. Nah, pergilah!” tongkat kepala naga itu menyambar dahsyat.

Gu Kauwsu yang pernah mendengar akan kelihaian datuk itu cepat melompat ke belakang untuk menghindar. Biarpun dia tahu lawannya amat pandai, untuk membela adiknya dia tidak merasa takut.

“Makanlah senjata rahasiaku ini!” teriaknya dan tangan kirinya bergerak, belasan batang paku telah menyambar ke arah tubuh kakek itu.

Akan tetapi kakek itu hanya mengibaskan tangannya dan paku-paku itu, baik yang terkena kebutan tangan maupun yang mengenai tubuh kakek itu, runtuh kebawah. Agaknya kakek itu kebal dan kulitnya tidak dapat tertembus paku! Dia tidak merasa gentar dan cepat menyerang maju dengan pedangnya.

Hebat juga gerakan guru silat itu sehingga Tung-hai Liong-ong tidak berani menyambut pedang itu dengan tangannya, melainkan menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.

“Trang-trang….!”

Pedang itu hampir terlepas dari tangan Gu Kauwsu. Akan tetapi guru silat itu tidak mundur bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat.

Sementara itu, si tinggi besar bermuka hitam menghampiri Bun Can dan Mei Cin. Dia menyeringai sambil memandang kepada Mei Cin.

“Ha-ha-ha, di Sui-yang engkau terlepas dari tanganku dan sekarang engkau datang menyerahkan diri kepadaku. Bagus sekali, nona!”

Mendengar ini, tahulah Mei Cin bahwa orang ini yang mendatangi kamarnya di malam hari itu. Ia menjadi marah sekali dan mengelebatkan pedangnya.

“Jahanam busuk, perampok rendah, bersiaplah untuk mampus di tanganku!”

Tanpa banyak cakap lagi Mei Cin sudah menerjang dengan pedangnya. Si muka hitam itu bukan lain adalah Ouwyang Kwi. Murid dari Tung-hai Ling-ong. Seperti telah kita ketahui, dia pernah merampas kedudukan ketua Hwa I Kaipang dalam usahanya mengumpulkan uang dan kekuasaan. Akan tetapi usahanya itu gagal dengan munculnya Si Kong bersama gurunya Yok-sian Lo-kai beberapa tahun yang lalu.

Setelah melarikan diri bersama suhunya yang sama-sama terluka dalam ketika bertempur dengan Yok-sian Lo-kai, Ouwyang Kwi mempunyai cara lain untuk mengumpulkan banyak uang yang agaknya di dukung oleh gurunya, yaitu dengan menjadi perampok tunggal.

Bukan sembarang perampok, melainkan perampok yang hanya bergerak seorang diri akan tetapi hanya merampok barang-barang yang berharga mahal saja. Baru-baru ini dia berhasil merampok barang berharga yang di kawal Gu Piauwsu. Dan kebetulan sekali gurunya datang berkunjung, sehingga setelah dia tahu bahwa dia dicari dan diselidiki oleh Gu Kauwsu, dia minta bantuan gurunya untuk menghadapi guru silat yang lihai itu.

Begitu Mei Cin menyerang, Ouwyang Kwi juga mencabut goloknya dan menangkis. Mei Cin menyerang lebih dahsyat dan dua orang ini sudah bertanding lagi. Melihat ini, maklum bahwa lawan sumoinya amat lihai, Thio Bun Can segera menerjang maju dan membantu sumoinya. Dengan demikian, terulang pertarungan di malam hari itu, Ouwyang Kwi di keroyok oleh kakak beradik seperguruan itu. Akan tetapi, begitu Ouwyang Kwi memainkan golok besarnya yang berat, kakak beradik itu segera terdesak. Bagaimanapun juga, kedua orang muda itu kalah tenaga dan kalah pengalaman bertanding sehingga mereka sibuk menangkis dan melindungi diri saja tanpa mampu membalas serangan Ouwyang Kwi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar