Ads

Rabu, 24 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 26

Sementara itu, pertandingan antara Gu Kauwsu dan Tung-hai Ling-ong juga berjalan tidak seimbang sama sekali. Tingkat ilmu kepandaian datuk itu jauh lebih tinggi daripada tingkat Gu Kauwsu sehingga setelah lewat tigapuluh jurus, Gu Kauwsu sudah terdesak hebat oleh tongkat berkepala naga itu dan dia hanya mampu menangkis sambil mundur.

Gu Kauwsu sambil mundur tidak mengkhawatirkan diri sendiri, akan tetapi dia memikirkan keselamatan puterinya. Mau tidak mau perhatiannya terpecah, sebagian untuk memperhatikan keadaan puterinya. Dia menjadi gelisah sekali melihat puteri dan muridnya juga terdesak hebat oleh Ouwyang Kwi.

“Mei Cin, Bun Can, lari…..!”

Dia berteriak, akan tetapi perhatiannya yang terpecah itu mendatangkan bencana. Tangan kiri Tung-hai Ling-ong menyambar dan tepat tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka menghantam dadanya.

“Dukkk….!”

Tubuh Gu Kauwsu terjengkang dan robohlah dia untuk tidak bangkit lagi. Dia telah terkena pukulan Tok-ciang dari datuk itu, pukulan yang tidak kalah ampuhnya dengan pukulan tongkatnya. Gu Kauwsu roboh dengan tanda telapak jari tangan hitam di dadanya. Tok-ciang (Tangan Beracun) adalah semacam ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali. Gu Kauwsu tepat terpukul dadanya sehingga jantungnya terguncang oleh hawa beracun dan diapun tewas seketika.

Dalam perlawannya dibantu suhengnya terhadap Ouwyang Kwi, Mei Cin juga memperhatikan ayahnya. Agaknya Ouwyang Kwi tidak terlalu mendesaknya, melainkan lebih mendesak Thio Bun Can. Maka ketika ayahnya roboh, Mei Cin dapat melihatnya dan iapun menjerit.

“Ayah….!”

Tanpa perdulikan lagi suhengnya, Mei Cin melompat ke dekat ayahnya dan berlutut. Ketika dilihatnya ayahnya sudah tewas, iapun amat berduka dan marah. Dengan mengangkat pedangnya, ia menyerang Tung-hai Ling-ong.

“Kau…. kau….. membunuh ayahku….!” bentaknya sambil menangis dan menyerang.

“Suhu, jangan bunuh gadis itu. Aku sayang padanya!”

Ouwyang Kwi berseru kepada gurunya dan diapun memperhebat serangannya kepada Thio Bun Can. Kasihan pemuda ini. Tadi mengeroyok bersama sumoinya saja dia tidak mampu menang, apalagi sekarang harus menghadapi lawan sendiri. Pedangnya berkali-kali terpental dan pada suatu kesempatan selagi pemuda itu terhuyung karena pertemuan senjata itu, dengan gerakan cepat Ouwyang Kwi mengelebatkan goloknya dan robohlah Thio Bun Can mandi darahnya sendiri. Lehernya nyaris putus oleh babatan golok. Ouwyang Kwi tidak perdulikan lagi kepada korbannya dan dia sudah meloncat untuk melihat keadaan Mei Cin. Alangkah girangnya melihat Mei Cin sudah menggeletak roboh oleh totokan jari tangan gurunya.

“Mari kita pergi, suhu!” kata Ouwyang Kwi sambil memondong tubuh Mei Cin yang sudah tidak dapat bergerak itu. Mereka lari ke kiri memasuki hutan.

Tak lama kemudian, sesosok bayangan orang mendaki bukit itu. orang ini bukan lain adalah Si Kong. Secara kebetulan saja dia lewat di lereng bukit itu dan melihat keadaan bukit itu, hatinya tertarik untuk mendaki puncaknya. Setelah tiba di lereng paling atas, dia mendengar gerakan orang berkelahi di puncak. Si Kong mempercepat larinya dan tibalah dia dipuncak.

Akan tetapi di puncak itu telah sepi tidak terdengar apa-apa lagi. Dan hatinya terkejut bukan main melihat dua tubuh menggeletak di tempat itu. cepat dia menghampiri. Pertama dia menghampiri tubuh Gu Kauwsu dan setelah menyentuh nadi dan dadanya, dia menghela napas. Orang itu tidak dapat di tolong lagi, pikirnya. Sudah tewas!

Dia lalu menghampiri tubuh Thio Bun Can dan melihat pemuda ini masih dapat menggerakkan tangannya. Dan ketika memeriksa, Si Kong terkejut mengenalnya sebagai pemuda yang bermalam di rumah penginapan beberapa malam yang lalu. Pemuda itu bermalam bersama sumoinya! Dan kemana sekarang sumoinya? Dia cepat menotok jalan darah untuk menghentikan darah yang mengalir keluar dari luka di leher.

Diapun melihat adanya sebatang pedang lain disitu dan mengkhawatirkan kalau-kalau sumoi pemuda itu juga telah menjadi korban pembunuhan. Dia mengguncang pundak pemuda itu dan mengurut tengah keningnya. Pemuda itu kini dapat membuka dan mengedip-ngedipkan matanya yang sudah layu.

“Dimana sumoimu? Dimana? Tunjukkan!” kata Si Kong.






Bun Can dalam keadaan sekarat itu masih dapat mengerti dan dia mengangkat tangannya, menuding ke arah kiri lalu terkulai dan mati.

Isarat itu sudah cukup bagi Si Kong. dia segera melompat ke arah kiri dan lari memasuki hutan di lereng itu. Dia harus bergerak cepat selagi hutan itu masih belum gelap. Dengan penuh kewaspadaan dia menyusup-nyusp di hutan itu dan akhirnya usahanya berhasil ketika mendengar isak tangis seorang wanita!

Dia bergerak cepat sekali ke arah suara itu dan melihat gadis yang dicarinya itu rebah di atas rumput, tidak mampu bergerak dan hanya dapat menangis! Dan didekatnya berlutut seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam.

Melihat laki-laki bermuka hitam itu, teringatlah Si Kong akan peristiwa empat tahun yang lalu. Dia segera mengenal Ouwyang Kwi sebagai orang yang telah merampas kedudukan ketua Hwa I Kaipang! Bahkan di waktu itu, dalam usia sekitar lima belas atau enambelas tahun, dia pernah bertanding melawan Ouwyang Kwi ini. Dia tahu betapa jahatnya Ouwyang Kwi dan gurunya yang merupakan datuk timur berjuluk Tung-hai Liong-ong itu, maka diapun tahu bahwa gadis itu tentu terancam bahaya besar. Diapun mengenal gadis yang rebah telentang sambil menangis itu sebagai gadis yang pernah bermalam di rumah penginapan Hok-lai.

“Nona manis, jangan menangis. Percuma saja engkau menangis dan tida ada gunanya enkau menolak kehendakku. Ditolak atau tidak, tetap engkau akan menjadi milikku! Maka lebih baik engkau menyerah dengan suka rela daripada aku harus menggunakan paksaan .”

Setelah berkata demikian, sambil menyeringai seperti seekor srigala menghampiri korbannya, dia mendekatkan dirinya kepada gadis itu dan tangan kanannya perlahan-lahan meraih ke arah dada.

“Wuuuutt……! Plakk!”

Ouwyang Kwi terkejut dan mengaduh. Tangannya terasa nyeri dan ketika dilihatnya, ternyata tangannya lecet berdarah karena di sambar sepotong batu yang runcing. Dia meloncat bangkit berdiri sabil memutar tubuh dan melihat seorang pemuda telah berdiri di hadapannya dengan mata yang mencorong seperti mata seekor naga. Tahulah Ouwyang Kwi bahwa tentu pemuda itu yang tadi menyambitnya dengan batu ke tangannya, maka tentu saja dia menjadi marah bukan main.

“Keparat, engkaukah yang menyerangku dengan batu tadi?” bentaknya.

Si Kong mengerutkan alisnya, diam-diam diapun marah sekali melihat perbuatan Ouwyang Kwi tadi.

“Ouwyang Kwi, ternyata engkau masih juga belum jera dan selalu melakukan perbuatan jahat dan terkutuk!”

Ouwyang Kwi terkejut. Pemuda itu telah mengenal namanya!
“Siapakah engkau yang begitu lancang berani mencampuri urusanku?”

“Ouwyang Kwi, lupakah engkau kepadaku? Empat lima tahun yang lalu, engkau dan gurumu Tung-hai Liong-ong pernah bertemu dengan aku dan guruku Yok-sian lo-kai di Souw-ciu.”

Ouwyang Kwi terkejut dan sekarang diapun teringat kepada pemuda itu. Lima tahun yang lalu pemuda itu masih merupakan seorang pemuda remaja akan tetapi sudah sedemikian lihainya sehingga dapat menandinginya. Bahkan gurunya, Tung-hai Liong-ong terluka dalam parah sekali oleh Yok-sian Lo-kai dan untuk menyembuhkan luka itu, gurunya harus mengobati dirinya selama tiga tahun!

Akan tetapi dia tidak takut. Selama lima tahun ini, dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan juga suhunya berada tidak jauh dari tempat itu. Pemuda ini hanya datang seorang diri dan dia dapat mengandalkan gurunya kalau sampai dia kalah dari pemuda itu.

Cepat dia mencabut goloknya dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong.
“Kiranya engkau bocah setan itu dan lagi-lagi engkau telah berani mencampuri urusan pribadiku. Akan tetapi sekali ini jangan harap engkau akan mampu meloloskan diri dari golokku ini!”

Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Kwi meloncat dan menerjang dengan golok besarnya.

Si Kong sudah siap. Dia menjatuhkan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan menggunakan pikulan bambunya untuk senjata tongkat.

“Trang-trangg….!”

Dua tangkisan itu membuat golok terpental dan hampir terlepas dari tangan Ouwyang Kwi. Hal ini membuat si muka hitam terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa pemuda itu juga sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh!

“Suhu……., tolong………!”

Ouwyang Kwi berteriak tanpa malu lagi ketika dia menerjang maju kembali dengan serangan yang lebih dahsyat.

Si Kong teringat betapa Ouwyang Kwi telah membunuh dua orang yang mayatnya masih menggeletak di luar hutan di puncak itu, dan teringat bahwa setelah lewat empat lima tahun orang itu tidak berubah menjadi baik bahkan menjadi semakin jahat. Maka dia mempercepat gerakan tongkatnya.

Gerakan tongkat Si Kong sekarang jauh sekali bedanya kalau dibandingkan gerakannya empat tahun yang lalu. Dia telah di gembleng Kwa Siucai, kemudian bahkan mendapat bimbingan dari Pendekar Sadis Ceng Lojin, sehingga dibandingkan empat tahun yang lalu, tingkat kepandaiannya sudah maju jauh sekali.

Begitu dia mempercepat gerakan tongkatnya, tongkat itu dapat menyusup diantara gulungan sinar golok, bergetar menotok pergelangan tangan lalu meluncur ke arah tenggorokan Ouwyang Kwi. Ouwyang Kwi berteriak ketika tiba-tiba lengannya menjadi lumpuh dan goloknya terlepas dari pegangan, dan teriakannya terhenti ketika ujung tongkat bambu itu menotok tenggorokannya. Diapun roboh dan tidak mampu bergerak kembali karena totokan pada jalan darah dekat tenggorokannya itu telah menewaskannya!

“Wuuutt…….. wirr……!”

Si Kong mengelak dengan cepat ketika tongkat kepala naga itu menyambar ke arah kepalanya dengan amat kuat dan dahsyatnya.

“Jahanam, berani engkau membunuh muridku?” teriak Tung-hai Liong-ong ketika melihat muridnya menggeletak dan tewas. Dia terbelalak memandang kepada gadis yang masih telentang, lalu kepada Si Kong yang masih memegang tongkatnya dengan sikap tenang. “Siapa engkau?”

“Tung-hai Liong-ong, engkau dan muridmu Ouwyang Kwi ternyata masih juga belum menghentikan perbuatan jahat kalian. Agaknya engkau belum jera ketika lima tahun yang lalu guruku Yok-sian Lo-kai memukulmu!”

Tung-hai Liong-ong teringat.
“Ah, jadi engkau murid Yok-sian Lo-kai? Bagus, aku memang sedang mencarinya untuk membalas kekalahanku dahulu dan sekarang engkau berani membunuh muridku? Engkau harus mati di tanganku!” kembali Tung-hai Liong-ong menyerang dengan tongkatnya yang berkepala naga.

Tongkat itu berat sekali dan ketika menyambar, ada hawa pukulan dahsyat sekali menerpa muka Si Kong. Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak merasa gentar. Tubuhnya dengan amat ringannya sudah mengelak dari serangan beruntun sambung menyambung sampai lima kali itu.

Tung-hai Liong-ong merasa penasaran sekali. Lima kali berturut-turut tongkatnya menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya, namun dengan mudahnya pemuda itu mengelak dan pukulannya tidak ada yang mengenai sasaran. Dan sebelum dia melanjutkan serangannya, kini pemuda itu telah membalas dan ujung tongkat bambu itu tergetar menjadi belasan banyaknya yang menyerang ke arah tigabelas jalan darah terpenting di tubuhnya!

“Haiiiittt…….!”

Tung-hai Liong-ong membentak nyaring sambil memutar tongkatnya, menangkis tongkat bambu yang ujungnya tergetar menjadi banyak itu.

“Tuk-tuk-tunggg….!”

Tigakali tongkat bambu bertemu dengan tongkat kepala naga dan Tung-hai Liong-ong terkejut bukan main karena getaran tongkat bambu itu menjalar melalui tongkatnya dan menggetarkan tangannya yang memegang tongkat itu. Sebelum hilang kagetnya, tongkat bambu itu sudah menotok ke arah pergelangan tangannya. Totokan ini datangnya cepat bukan main. Tung-hai Liong-ong menarik tangan kanan yang memegang tongkat dan menggantikan dengan tangan kirinya untuk membebaskan tangan kanannya dari totokan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar