Ads

Rabu, 24 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 27

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ujung tongkat itu seperti ular saja sudah merayap naik dan kini menotok pergelangan tangan kirinya! Terpaksa datuk itu melepaskan tangan kirinya, akan tetapi dia menghunjamkan tongkat itu ke arah Si Kong sebelum melepaskannya.

Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah Si Kong, akan tetapi pemuda itu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap tongkat itu lalu dia menancapkan tongkat kepala naga itu ke atas tanah. Lawannya sekarang telah kehilangan senjata ampuhnya.

“Keparat, kau kira dapat terlepas dari tanganku?” bentak Tung-hai Liong-ong dan kini dia menerjang dengan kedua tangan kosong.

Akan tetapi tangannya bahkan lebih berbahaya dari tongkatnya karena kedua tangan itu mengandung ilmu Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dapat membuat tubuh lawan menjadi hangus kalau terkena pukulannya.

Si Kong melepaskan tongkat bambunya dan menghadapi serangan dengan tangan kosong lawan dengan tangan kosong pula. Lawannya adalah seorang datuk yang kenamaan, maka dia tidak dapat membunuhnya begitu saja. Melihat tangan yang berubah menghitam itu menyambar ke arah kepalanya dengan cengkeraman mengerikan, Si Kong mengelak dan ketika tangan kiri kakek itu menghantam ke arah dada, dia menangkis.

Tangan kiri lawan itu terpental, akan tetapi dengan cepat telah mencengkeram ke arah pundaknya, Si Kong mengerahkan Thi-ki-i-beng ketika melihat cengkeraman ke arah pundaknya itu. Tangan kiri Tung-hai Liong-ong yang penuh hawa beracun itu bertemu dengan pundak dan kakek itu berteriak kaget. Tenaganya amblas tersedot oleh pundak itu.

Akan tetapi hanya sebentar. Karena kaget dia menjadi lengah dan kesempatan itu dipergunakan oleh Si Kong untuk melancarkan pukulan Hok-liong Sin-cang. Pukulan tangan kanan Si kong itu cepat dan mengandung getaran bergelombang, tidak dapat dielakkan lagi oleh kakek itu. Tung-hai Liong-ong coba menangkis dengan tangan kanannya.

“Desss…..!”

Biarpun dia sudah dapat menangkis pukulan itu, akan tetapi pukulan itu mengandung tenaga yang demikian kuatnya sehingga tubuh kakek itu terpental dan terjengkang ke belakang!

Tung-hai Liong-ong terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu sehebat itu kepandaiannya. Dia tahu bahwa kini tingkat kepandaian pemuda itu bahkan sudah melewati tinggi kepandaian Yok-sian Lo-kai! Maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tidak akan menang, dia bangkit berdiri dan berkata,

“Lain kali akan kubalas kekalahan ini!”

Setelah berkata demikian, cepat dia menyambar mayat muridnya, mencabut tongkat naganya dan pergilah dia dengan langkah agak terhuyung. Ternyata kakek itu telah menderita luka dalam tubuhnya.

Si Kong menghela napas panjang dan tidak melakukan pengejaran. Dia memberi kesempatan lagi kepada datuk itu untuk mengubah jalan hidupnya, kembali ke jalan benar dan berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau lain kali dia bertemu dengan datuk itu dan melihat bahwa Tung-hai Liong-ong masih saja melakukan kejahatan, maka dia akan membasminya.

Kini perhatian Si Kong beralih kepada gadis itu. cepat dia meloncat mendekati dan sekali tangannya bergerak, gadis itu telah dapat bergerak, gadis itu bangkit berdiri memandang kepada Si Kong dengan kedua mata masih basah.

“Terima kasih atas pertolongan In-kong (tuan penolong),” katanya dengan terharu, membayangkan bahwa kalau tidak ada orang ini, entah bagaimana jadinya dengan dirinya. Akan tetapi ketika memandang wajah Si Kong, Mei Cin teringat dan ia terbelalak, “Kau…. kau…. pelayan itu……!”

Si Kong membungkuk dan berkata,
“Nona telah terlepas dari mara bahaya sekarang.”

“Kau…. kalau begitu, ….. penolong di rumah makan itu, dan di kamar penginapan itu, tentu engkau pula orangnya!”






“Sudahlah, nona. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi.”

Mei Cin teringat kepada ayahnya dan suhengnya dan tiba-tiba ia menangis.
“Ayah…. suheng…. mereka telah terbunuh. In-kong, tolonglah aku, jangan kepalang menolongku…. bantulah aku mengurus jenazah ayah dan suhengku yang mati disana.” Ia menunjuk ke depan lalu berlari keluar dari hutan itu, mendaki puncak.

Tadinya Si Kong hendak meninggalkan gadis itu, akan tetapi ketika dia teringat akan dua jenazah itu, diapun merasa kasihan dan segera mengikuti gadis itu mendaki puncak.

Setibanya di puncak, Mei Cin menubruk mayat ayahnya dan menangis tersedu-sedu. Si Kong menghela napas dan duduk di atas batu, membiarkan gadis itu menangis karena dalam kedukaan yang mendalam, hanya tangis itu yang akan mampu meringankan himpitan pada hatinya.

Dia teringat akan orang tuanya sendiri yang sudah tiada. Hidup begini banyak penderitaan, pikirnya. Akan tetapi bagaimanapun juga, setiap orang harus mampu memikul derita hidupnya sendiri, dengan hati yang kuat karena memang sudah ditakdirkan hidup mengalami semua itu. Setelah gadis itu agak mereda, dia turun dari atas batu dan menghampiri Mei Cin.

“Nona, sudah cukup, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Sekarang yang lebih penting mengurus jenazah ayah dan suhengmu. Akan dikemanakan dua jenazah ini?’

Gadis itupun bangkit berdiri. Mukanya basah air mata dan agak pucat.
“Saya akan membawa mereka pulang. Kami tinggal di kota Sin-keng di bawah bukit ini.”

Si Kong memandang kepada dua jenazah itu. Bagaimana mengangkut mereka? Dia tentu kuat membawa mereka, memanggul di kedua pundaknya atau menjinjingnya dengan kedua tangannya, akan tetapi hal itu amat tidak pantas dan kasihan kepada dua jenazah itu kalau hanya dipanggul begitu saja.

“Aku akan mencari bambu, nona. Kau tunggu sebentar disini.” katanya dan diapun berkelebat lenyap dari depan gadis itu, memasuki hutan dan tak lama kemudian dia sudah membawa beberapa batang bambu.

Diikatnya bambu-bambu itu menjadi sebuah usungan besar dan dia merebahkan dua jenazah itu berjajar di atas usungan.

“Kita terpaksa mengusung dua jenazah ini, nona, dan membawanya pulang.”

“Terima kasih, in-kong. Tidak tahu harus bagaimana aku membalas budimu.”

“Sudahlah, jangan bicarakan tentang budi. Mari kita gotong bersama usungan ini.”

Mereka berdua lalu menggotong usungan itu. Mei Cin berjalan di depan sebagai penunjuk jalan sambil memegang ujung kedua bambu usungan sedangkan Si Kong mengangkat di bagian belakang.

Akan tetapi diam-diam pemuda ini mengerahkan tenaganya agar usungan itu tidak terasa terlalu berat bagi Mei Cin. Demikianlah, bersama dengan turunnya matahari ke barat, Mei Cin yang berjalan sambil menangis perlahan, bersama Si Kong, mengusung dua jenazah itu ke kota Sin-keng.

Mereka memasuki kota setelah hari menjadi gelap dan banyak orang terkejut melihat pemuda dan gadis itu mengusung mayat Gu Kauwsu dan Thi Bun Can. Segera berdatangan para murid Gu Kauwsu dan mereka membantu mengusung jenazah itu ke rumah keluarga mereka.

Nyonya Gu menyambut dengan jerit tangis memilukan. Para tetangga segera berdatangan melayat dan sebentar saja sudah tersiar berita di seluruh kota bahwa Gu Kauwsu telah tewas terbunuh oleh penjahat.

Setelah ratap tangis yang memenuhi rumah mendiang Gu Kauwsu itu agak reda, Mei Cin lalu menceritakan kepada ibunya tentang kematian ayah dan suhengnya.

“Kalau saja tidak muncul dewa penolong….. ehh, dimana in-kong?” tanyanya sambil mencari-cari dengan pandang matanya diantara para tamu yang datang melayat.

Akan tetapi, gadis itu tidak melihat bayangan Si Kong yang diam-diam sudah pergi karena merasa bahwa tugasnya menolong gadis itu telah selesai.

“In-kong siapa?” tanya ibunya.

“Pemuda yang tadi bersama aku menggotong jenazah ayah dan suheng. Dia tadi masih berdiri disini!”

Tidak ada seorangpun melihat pemuda itu dan Mei Cin lalu menceritakan semua pengalamannya.

“sayang dia telah pergi sehingga tidak sempat aku menghaturkan terima kasih.” kata ibu Mei Cin.

Semua orang yang berada disitu juga menyayangkan hal itu karena mendengar cerita Mei Cin, para murid guru silat Gu itu juga menjadi kagum sekali. Sedikitpun mereka tidak pernah menyangka bahwa pemuda yang berpakaian sederhana itu ternyata adalah seorang pendekar sakti seperti diceritakan Mei Cin.

Mei Cin sendiri juga merasa kehilangan. Dara ini merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia tertarik bahwa pendekar sakti itu sedemikian rendah hati sehingga mau bekerja sebagai pelayan rumah penginapan dan rumah makan. Ia merasa sayang sekali belum berkenalan dengan pemuda itu, bahkan namanyapun tidak diketahuinya.

**** 27 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar