Ads

Minggu, 07 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 02

Hujan turun malam itu. Malam gelap pekat, hanya kadang-kadang ada cahaya kilat menerangi permukaan bumi, meninggalkan bayang-bayang raksasa pohon yang menyeramkan. Tanah kuburan itu menjadi tempat yang mengerikan!

Karena tubuhnya disiram air hujan, Si Kong siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa lemas dan begitu siuman, dia teringat kepada ayah ibunya.

“Ayah……..! Ibu……..! Bawalah aku……., aku ikut………!” dia menangis dan berteriak-teriak.

Kalau ada orang mendengarkan suara itu di tengah malam hujan di pekuburan, tentu mengira suara iblis. Setelah menangis dan berteriak-teriak sampai suaranya habis, Si Kong lalu bangkit. Dia memandang ke arah dua gundukan tanah itu dan baru sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Ayah ibunya telah mati, telah dikubur dan tidak mungkin membawanya. Dia harus pulang, akan tetapi pulang kemana? Rumahnya telah dijual, uangnya untuk biaya penguburan. Sisanya hanya tinggal beberapa keping saja disaku bajunya yang basah kuyup. Dia menggigil dan menatap dua makam itu.

“Ayah….. ibu…….. bagaimana dengan aku ini……?” kembali dia menubruk makam itu dan menangis sambil memeluk dan rebah menelungkup di atas makam ibunya. Dia pingsan lagi!

Mengenang masa lampau, takut menghadapi masa depan, menimbulkan duka. Apabila kita sedang berduka, duka itu semakin menghebat kalau kita bandingkan keadaan kita dengan keadaan orang lain, karena kita selalu tengadah dan melihat mereka yang berada di atas kita. Kalau kita melihat ke atas, yang nampak hanyalah orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, lebih kaya, lebih senang dan sebagainya, pendeknya serba lebih dari pada kita. Akan tetapi sekali kita menunduk, melihat ke bawah, ternyata masih banyak sekali orang yang lebih rendah dari pada kita, lebih miskin, lebih sengsara dan barulah kita menyadari bahwa keadaan kita masih lebih baik daripada keadaan banyak orang!

Sekali ini, air hujan yang menyiram tubuhnya tidak mampu menggugah Si Kong dari pingsannya. Dia pingsan terus sampai pagi, sampai matahari pagi sudah mulai menghidupkan segala sesuatu, mengusir kabut dan kegelapan.

Seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan memasuki kuburan itu. Usianya sudah enam puluhan tahun, tangan kanan membawa tongkat bambu dan tangan kirinya menjinjing sebuah keranjang berisi beberapa macam daun dan akar-akaran. Kakek berusia enampuluhan tahun itu rambutnya sudah berwarna dua, hitam dan putih sehingga dari jauh kepalanya nampak kelabu. Namun wajahnya yang lebar itu masih nampak muda tanpa keriput, bahkan kedua pipinya kemerahan tanda sehat dan mulutnya tak pernah berhenti tersenyum. Matanya juga bersinar-sinar sehingga wajah itu selalu nampak berseri. Matanya mencari kanan kiri, dan agaknya dia mencari tumbuh-tumbuhan, sementara mulutnya perlahan menyanyikan sajak.

“bacoklah air dengan pedang dan
air akan mengalir terus,
benamkan duka dalam arak dan
kedukaan makin bertambah,
dalam hidup ini, harapan
harapan kita terpenuhi,
kelak, dengan rambut terurai lepas,
kita akan pergi”
“anda bertanya mengapa aku
memilih tinggal di pegunungan.
aku tersenyum tanpa jawab,
hatiku dalam kedalaman,
bunga persik pergi
air mengalir,
terdapat Langit dan Bumi
di luar dunia manusia.”

Sajak itu adalah tulisan pujangga Li Pai (701-762) ratusan tahun yang lalu, dinyanyikan oleh kakek itu dengan suaranya yang dalam.

Dan Si Kong masih pingsan atau tertidur itu bermimpi. Dia merasa duduk di dekat perapian yang dibuat di dalam rumah, dirangkul ibunya. Detak jantung ibunya terasa olehnya, menimbulkan suasana akrab dan hangat. Telinganya mendengar suara ayahnya yang agak parau dan dalam, dan suara itu mendatangkan rasa damai dan tenteram di hatinya.

Alangkah senangnya duduk di dekat api dalam rangkulan ibunya dan mendengar suara ayahnya. Memang perutnya masih terasa lapar. Makan semangkok bubur malam itu belum memuaskan perutnya. Akan tetapi suasana yang akrab dan tenteram itu amat menyenangkan.






“Heiii, nak, matahari sudah naik tinggi dan engkau masih enak-enak tidur disini?”

Dia mendengar teguran ayahnya. Ayahnya memang tidak senang kalau melihat dia malas-malasan.

Kemudian pundaknya diguncang dan suara ayahnya terdengar lagi.
“Hayo bangun! Engkau bisa sakit tidur disini!”

Eh, mengapa ayahnya berkata demikian? Dan suara itu, memang dalam akan tetapi tidak parau. Bukan suara ayahnya! Si Kong bangkit dari tidurnya. Sinar matahari tepat menerobos celah-celah daun menimpa matanya. Dia melindungi matanya dengan punggung tangan, menggosok-gosoknya untuk mengusir sisa kantuk, lalu menurunkan kedua tangannya. Terbelalak dia memandang kepada kakek yang tadi menyuruhnya bangun. Sama sekali bukan ayahnya, melainkan seorang kakek. Kakek itu asing pula, bukan penghuni dusun Ki-ceng. Seluruh penduduk dusun Ki-ceng dikenalnya, akan tetapi kakek ini tidak dikenal. Rasa lapar mengerogoti perutnya, akan tetapi ditahannya.

“Engkau siapakah, kek?” tanyanya.

“Ha-ha-ha-ha, sepatutnya aku bertanya engkau ini siapa dan apa kerjamu disini? Engkau tertidur diatas makam dan seluruh pakaianmu basah. Lihat mukamu membiru tanda kedinginan. Cepat kau kunyah ini dan telan, jangan pedulikan pedas dan pahitnya!”

Dia menyodorkan sejari jahe yang diambilnya dari keranjang obatnya. Si Kong tidak membantah. Dia memang seorang anak yang penurut dan mudah memahami kehendak orang lain. Dia segera tahu bahwa kakek ini hendak menolongnya, maka diapun menerima jahe itu dan dimakannya. Panas dan getir bukan main rasanya, akan tetapi terus ditelan saja. Ada rasa hangat di perutnya. Rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan dia tidak lagi merasa kedinginan.

“Nah, sekarang engkau harus memberitahu kepadaku, mengapa engkau berada disini, siapa namamu dan dimana pula rumahmu?”

Karena kedua kakinya agak gemetar dipakai berdiri, Si Kong duduk di atas batu di dekat makam ayah ibunya.

“Namaku Si Kong dan ini adalah makam ayah dan ibuku yang baru dimakamkan kemarin sore.”

“Kemarin sore dimakamkan dan engkau semalam suntuk berada disini, kehujanan dan kedinginan?” kakek itu bertanya dengan suara mengandung keheranan dan juga kekaguman.

Anak ini berbakti dan pemberani. Sukar dicari anak yang berani tinggal semalam dikuburan, apalagi malam tadi gelap dan dingin banyak mengandung kilat.

“Mereka adalah orang tuaku, kakek, dan aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi.” Teringat akan ini, kembali Si Kong mengeluarkan air mata. “Rumah kami sudah kujual untuk membeli peti mati. Aku tidak punya rumah lagi, sebatang kara di dunia ini.”

Melihat anak itu mulai menangis dan mengguguk, kakek itu meloncat dan tertawa-tawa. Suara tawanya berbaur dengan suara tangis Si Kong sehingga terdengar aneh sekali. Bahkan Si Kong yang sedang menangis itu menghentikan tangisnya memandang kakek itu.

“Kek, apa yang kau tertawakan?”

“Anak yang baik, apa yang kau tangisi?”

“Aku menangisi kematian ayah ibuku.” kata Si Kong penasaran.

“Ha-ha, benarkah itu? Bagaimana mungkin engkau tangisi orang tuamu kalau engkau tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang? Yang jelas, mereka terhindar dari kemiskinan, terhindar dari sakit. Itukah yang kau tangisi? Ataukah engkau menangisi dirimu sendiri karena merasa ditinggalkan orang-orang yang kau sayangi, karena merasa hidup seorang diri dan tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak memiliki apa-apa lagi? Itukah yang kau tangisi?”

Si Kong tertegun dan sadar.
“Memang begitulah, kek, aku menangisi diriku sendiri, merasa kasihan kepada diriku sendiri. Salahkah itu?”

“Ha-ha, tidak salah melainkan tidak tepat. Manusia harus berusaha mengatasi kesulitannya, bukan hanya ditangisi.”

“Dan engkau sendiri mengapa tertawa-tawa, kek? Apa engkau menertawakan aku yang sedang berduka? Alangkah kejamnya engkau.”

“Ha-ha-ha, aku tertawa karena melihat kelucuan. Betapa manusia diombang-ambingkan antara tawa dan tangis, antara suka dan duka. Baru terlahir sudah menangis, masih belum puaskah? Menangis dan menangis lagi. Seorang bocah seperti engkau ini tidak pantas menangis, pantasnya tertawa seperti aku, mentertawakan dunia mentertawakan manusia dengan segala kepalsuannya! Sudahlah, berkabung semalam suntuk sudah cukup baik. Kulihat engkau kedinginan dan kelaparan. Dinginmu sudah kuusir jahe tadi, akan tetapi kalau kubiarkan saja perutmu kosong, engkau dapat mudah diserang penyakit. Ini aku mempunyai beberapa potong buah pisang. Nah makanlah dan habiskan!”

Dia mengambil lima potong buah pisang dari keranjangnya. Si Kong terheran-heran. Darimana kakek itu dapat memiliki buah pisang? Di daerah itu sama sekali tidak ada pohon pisang. Bahkan Si Kong baru melihat saja, belum pernah makan.

Akan tetapi dia tidak menolak. Diterimanya buah pisang itu, dikupasnya kulitnya dan dimakannya dengan lahap. Sejak kemarin pagi, perutnya tidak dimasuki apa-apa.

“Sekarang, telanlah ini untuk menguatkan badanmu.” Kakek itu kembali mengambil sebutir pel dari bungkusan dalam keranjangnya.

Pel itu berwarna merah dan tanpa ragu-ragi lagi Si Kong menelannya.
“Aku mendengar bahwa dusun Ki-ceng diserang wabah penyakit. Apakah orang tuamu juga terserang penyakit itu?”

“Agaknya begitulah, kek. Tubuh mereka panas sekali dan dalam waktu dua hari saja, mereka meninggal dunia seperti orang-orang lain di dusun ini yang lebih dulu terserang.”

“Engkau sebatang kara? Tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa?”

“Benar, kek.”

“Kalau begitu, maukah engkau ikut dan membantuku? Akan tetapi ingat, keadaanku tidak banyak bedanya denganmu, aku juga tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa. Maukah engkau menjadi muridku?”

“Menjadi murid? Belajar apakah, kek?”

“Ha-ha, belajar apa? Mengobati orang, membaca huruf, dan juga mengemis!”

“Aku suka belajar mengobati orang dan membaca huruf, akan tetapi aku tidak mau belajar mengemis, kek.”

“Mengemis adalah perbuatan yang penting untuk mencegah kita menjadi pencuri. Kalau kita dapat bekerja mencari nafkah, itu baik sekali. Akan tetapi kalau tidak bisa, lalu apa yang kau makan? Tidak makan berarti mati, maka daripada mencuri lebih baik mengemis, menggerakkan hati manusia untuk sekedar memberi semangkok nasi.”

Si Kong tidak berpikir lama. Jelaslah bahwa kakek ini berhati baik, dia dapat belajar mengobati dan membaca huruf. Soal mengemis, bagaimana nanti sajalah. Dia dapat bekerja apa saja.

“Bagaimana? Engkau suka menjadi muridku?”

Si Kong menjawab.
“Suka sekali!” dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis tua itu dan menyebut “suhu”!

“Bagus! Nah, mulai detik ini engkau harus menurut semua kata-kataku. Siapa namamu tadi? Si Kong? Dan kenalilah nama gurumu. Orang-orang yang usil mulut menyebutku Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Lihat, mereka mengangkatku menjadi Yok-sian (Dewa Obat) akan tetapi memakiku sebagai Lo-kai (Pengemis Tua). Akan tetapi aku sudah terbiasa dengan nama itu sehingga aku sudah lupa namaku sendiri, ha-ha-ha!”

“Suhu, kita akan kemana sekarang?”

“Di Ki-ceng sini sedang berjangkit wabah yang menular. Orang tuamu sendiri menjadi korban. Kita harus menolong mereka yang sakit dan menjaga mereka yang belum ketularan. Hayo, antarkan aku ke rumah kepala dusun.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar