Ads

Rabu, 24 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 28

Kota Ci-bun merupakan sebuah kota yang ramai. Kota ini tidak begitu jauh dari kota raja. Namun di kota itu terdapat banyak pengemis. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu negara sedang di landa musim kering yang berkepanjangan sehingga semua barang sukar di dapatkan dan mahal harganya, termasuk bahan pangan yang amat dibutuhkan manusia. Banyak rakyat kecil menderita kelaparan sehingga banyak diantara mereka menjadi pengemis. Juga keadaan kekurangan bahan makanan ini banya mendorong orang yang tidak kuat batinnya untuk melakukan kejahatan, seperti mencuri, merampok dan lain-lain.

Si Kong melihat benar kesengsaraan rakyat kecil, terutama yang hidup dipedusunan karena dia melakukan perantauan, melalui dusun-dusun dan kota-kota. Dia melihat betapa kehidupan manusia lebih banyak menderita daripada bahagia. Dan dia melihat pula kepalsuan manusia.

Mereka yang berada di atas yang memiliki kedudukan dan wewenang, seolah tidak perduli akan kesengsaraan rakyat itu. Juga para hartawan rapat-rapat menutup pintu gapura rumah mereka, seolah takut kalau-kalau harta benda mereka akan diambil orang, secara sembunyi atau terang-terangan. Mereka mempergunakan anjing-anjing besar untuk menjaga rumah, dan mengumpulkan banyak tukang pukul untuk melindungi harta mereka.

Si Kong melihat semua ini dan batinnya bergolak. Mengapa begitu banyak ketidak-adilan terjadi di dunia ini? Mengapa para pejabat tidak berusaha untuk menolong rakyatnya yang menderita? Kenapa para hartawan segan mengulurkan tangan, mengurangi sedikit harta mereka untuk menolong mereka yang kelaparan?

Diapun melihat betapa banyaknya jembel-jembel baru berkeliaran di jalan-jalan besar di kota Ci-bun ketika dia memasuki kota itu sambil memanggul buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambu.

Melihat keadaan mereka, Si Kong merasa terharu, akan tetapi dia juga merasa bersyukur atas kemurahan Tuhan kepadanya. Dibandingkan mereka yang berkeliaran di jalan-jalan itu, nasibnya sendiri terhitung baik! Benarlah kata orang bijaksana jaman dahulu bahwa kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan memandang ke bawah. Di sana masih terdapat banyak sekali orang yang keadaannya lebih payah dari pada keadaan kita!

Si Kong merasa heran ketika melihat orang berbondong-bondong menuju satu jurusan. Mereka itu adalah para pengemis dan orang-orang miskin yang dapat dia ketahui dari pakaian mereka yang lusuh dan muka mereka yang kurus. Mereka membawa tempat untuk membawa sesuatu, ada yang membawa kertas, kain-kain yang lusuh, panci dan tempat-tempat lain. Melihat ini, Si Kong menjadi tertarik. Tentu ada terjadi sesuatu disana yang menarik semua orang itu berkunjung kesana.

Ketika tiba di ujung timur kota itu, tahulah dia apa yang menarik semua orang itu pergi kesitu. Ternyata di depan gedung seorang hartawan terdapat beberapa orang pelayan sedang membagi-bagi beras dari karung. Beberapa karung yang masih penuh sudah ditumpuk disitu dan orang-orang yang ingin mendapatkan pembagian beras itu berdiri antri berderet-deret. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang pria atau wanita, kakek dan nenek, juga ada anak-anak kecil ikut antri.

Si Kong berdiri bengong dan kagum. Kenyataan yang di lihatnya itu membantah bahwa semua hartawan terlalu pelit dan tidak mau menolong mereka yang kelaparan. Buktinya hartawan pemilik gedung itu sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkannya!

Karena terharu dan tertarik tanpa disadarinya dia terdesak banyak orang itu sehingga dia melangkah maju dan masuk ke dalam antrian. Dia baru menyadari setelah melihat bahwa di belakangnya telah banyak orang antri. Diapun berdiri dalam antrian untuk mendapatkan beras! Biarlah, katanya kepada diri sendiri. Dia memang ingin melihat orang membagi-bagikan beras itu dan hatinya ikut gembira. Ingin dia melihat siapa hartawan itu dan menyampaikan terima kasihnya. Seorang hartawan yang juga dermawan dan budiman!

Mendadak terjadi keributan dan antrian itu menjadi kacau ketika muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam yang melangkah maju paling depan. Tentu saja mereka yang berdiri di depan merasa penasaran dan tidak mengijinkan si tinggi besar menyerobot antrian.

“Harus antri dibelakang!” kata orang terdepan. “Kami juga antri sejak pagi.”

Akan tetapi orang tinggi besar berpakaian serba hitam itu menjadi marah dan dua kali tangannya bergerak memukul. Dua orang terdepan terpelanting roboh oleh pukulan itu. Semua orang menjadi gentar dan si tinggi besar itu tanpa memperdulikan siapapun sudah berdiri paling depan. Akan tetapi dia tidak membawa tempat untuk menerima pemberian beras.

“Mana tempat menerima beras?” tanya petugas yang membagi-bagi beras, dengan alis berkerut dan pandang mata marah karena diapun melihat betapa si tinggi besar itu memukul dua orang untuk menyerobot antrian.

“Tempat beras apa? Aku minta sekarung dan akan kupanggul sendiri. Berikan sekarung beras!” kata si tinggi besar dengan suara galak.






Tentu saja para petugas yang terdiri dari empat orang itu tidak dapat menyetujui permintaan ini. Sekarung beras! Beras sebanyak itu kalau dibagi-bagi cukup untuk duapuluh orang!

“Tidak bisa kami memberikan sekarung beras kepada seorang saja. Kami hanya membagi-bagi rata, lima kati untuk setiap orang, tidak kurang dan tidak lebih!”

“Akan tetapi aku menghendaki sekarung!” kata pula si tinggi besar kukuh. “Majikan kalian The Wan-gwe (Hartawan The) mempunyai beras bergudang-gudang. Apa artinya kalau aku hanya minta sekarung?”

Si tinggi besar itu lalu melangkah maju menghampiri tempat beras dalam karung ditumpuk. Dengan tangan kirinya dia mengangkat sekarung beras yang beratnya seratus kati itu!

“Heii….! Kembalikan beras itu!” teriak empat orang petugas sambil menghampiri ketika melihat si tinggi besar hendak melangkah pergi.

Akan tetapi, empat kali tangan kanan orang itu menampar dan empat orang petugas itu berpelantingan!

Setelah merobohkan empat orang petugas itu, sibaju hitam dengan lagak sombong memperlihatkan tenaganya. Dia melempar-lemparkan sekarung beras itu ke atas dan memainkan benda yang cukup berat itu bagaikan sebuah bola saja. Dia lalu menyambut kembali sekarung beras itu dengan tangan kirinya, lalu memandang ke arah semua orang yang sedang antri dan kini menjadi ketakutan itu.

“Hayo, siapa lagi yang hendak melarang aku mengambil beras itu? Majulah untuk menerima hajaranku!”

Para pekerja itu sudah melapor ke dalam dan kini mucul Hartawa The dari pintu depan. Dia seorang laki-laki berusia enampuluh tahun dan dari sikapnya yang lemah lembut, wajahnya yang penuh senyum ramah dan pandang matanya yang lembut, dapat diketahui bahwa dia seorang yang baik hati. Melihat lagak si baju hitam itu, dengan lembut dia berkata kepada para pembantunya,

“Biarkan dia pergi membawa sekarung beras itu.”

Si baju hitam mendengar ucapan itu dan diapun menoleh.
“Ha-ha kalian dengar sendiri itu? Hartawan The tidak keberatan aku membawa sekarung beras ini, bahkan kalau aku setiap saat membutuhkan tentu akan boleh datang mengambil lagi beberapa karung!”

Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa si baju hitam itu melangkah pergi dari situ.

Si Kong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Orang itu telah bertindak dan bersikap keterlaluan, dan orang seperti itu yang suka memaksakan kehendak sendiri merupakan bahaya bagi umum. Dia melangkah keluar dari antrian dan menghadang si baju hitam.

“Perlahan dulu, sobat. Engkau lupa bahwa sekarung beras itu disediakan untuk orang banyak, bukan untuk memenuhi keserakahanmu. Hayo cepat kembalikan sekarung beras itu pada tempatnya dan kalau membutuhkan beras, harus berdiri di belakang antrian untuk mendapatkan lima kati beras!”

Si baju hitam itu membelalakkan matanya, seolah tidak percaya bahwa ada seorang, masih amat muda lagi, berani mengeluarkan ucapan seperti itu kepadanya. Agaknya pemuda itu sudah bosan hidup!

Dengan mata melotot dia membentak,
“Apa? Kau ingin aku mengembalikan beras ini? Nah, sambutlah!”

Dia lalu melontarkan sekarung beras yang berat itu kepada Si Kong dengan pengerahan tenaga. Sekarung beras itu meluncur ke arah Si Kong, dan seandainya bukan Si Kong yang menerimanya, tentu akan roboh terjengkang tertimpa beras sekarung!

Akan tetapi, dengan mudah Si Kong menerima beras itu dan sekali tangannya bergerak, sekarung beras itu telah melayang dan jatuh di atas tumpukan beras, kembali di tempatnya semula.

“Jahanam keparat kau! Mampuslah!” si baju hitam berteriak sambil menerjang ke arah Si Kong, menubruknya seperti seekor harimau menerkam kambing.

Si Kong dengan tenang menggeser kakinya kesamping dan begitu tubuh tinggi besar itu lewat, dia menggerakkan kakinya kedepan dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si baju hitam itu terperosok ke depan dan jatuh menelungkup! Terdengar suara “Ngekk!” ketika dia terbanting. Semua orang yang sedang antri beras tersenyum gembira melihat betapa si baju hitam itu dirobohkan pemuda yang berpakaian sederhana ini.

Akan tetapi si baju hitam cepat merangkak bangun dan meloncat berdiri. Hidungnya berdarah dan dia kelihatan marah bukan main.

“Setan! Berani kau melawanku?”

Kembali dia menyerang dan sekali ini dia tidak menyerang secara sembarangan saja, melainkan menggunakan ilmu silat. Tangan kanannya melayang ke arah kepala Si Kong, tangan kirinya menyusul menusuk ke arah perut pemuda itu dengan jari-jari tangan terbuka.

“Duk-duk!’ kedua tangan itu tertangkis oleh Si Kong.

Akan tetapi si baju hitam itu memang tidak tahu diri. Biarpun tangkisan tangan pemuda itu membuat kedua lengannya terasa panas dan nyeri sekali, dia tidak menjadi jera dan kini kaki kanannya menendang dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Kaki itu menyambar ke arah perut Si Kong dan merupakan serangan yang amat berbahaya.

Namun dengan tenang Si Kong menanti sampai kaki itu dekat dengan perutnya, kemudian tiba-tiba saja dia menarik dirinya ke belakang sambil melangkahkan kaki. Ketika kaki kanan si baju hitam itu menyambar lewat, secepat kilat Si Kong menggunakan tangan kiri menangkap tumit kaki itu dan mendorongnya ke atas lalu kedepan. Tubuh si baju hitam itu terlempar dan kembali terbanting, akan tetapi sekali ini dia terbanting telentang.

“Ngekkk…..!”

Si baju hitam meringis kesakitan. Tulang belakangnya seperti patah-patah rasanya ketika pinggulnya terbanting ke atas tanah. Sekali ini para penonton tertawa dengan hati senang.

Si Kong menghampiri si baju hitam yang sudah bangkit duduk dengan muka meringis.
“Masih belum jera dan hendak melanjutkan perkelahian? Silakan bangkit berdiri, aku sudah siap!”

Si baju hitam yang masih merasa nyeri bagian belakang tubuhnya itu bengkit berdiri, memandang dengan mata melotot kepada Si Kong lalu berkata,

“Kau tunggu saja pembalasanku!”

Setelah berkata demikian diapun pergi dengan terhuyung-huyung sambil kedua tangannya menekan pinggulnya.

Hartawan The yang menyaksikan semua itu, menghampiri Si Kong dan berkata,
“Orang muda, terima kasih atas bantuanmu mengusir orang jahat itu. Akan tetapi, bagaimana kalau dia kembali dengan kawan-kawannya?”

“Harap lo-ya (tuan besar) tidak khawatir. Kalau diperbolehkan, saya ingin membantu lo-ya dalam pembagian beras kepada rakyat kecil yang miskin ini.”

“Engkau hendak bekerja membantu kami? Tentu saja boleh dan kebetulan sekali. Kami angkat engkau menjadi pengawas dan pengatur pembagian beras yang kami lakukan setiap hari, dari pagi sampai sore.”

“Terima kasih banyak, lo-ya.”

“Siapakah namamu, anak muda?”

“Nama saya Si Kong, lo-ya.”

Hartawan itu berkata kepada empat orang pembantunya yang tadi dirobohkan si baju hitam,

“Mulai sekarang, Si Kong ini menjadi pengawas dan pengatur pekerjaan kalian.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar