Ads

Rabu, 24 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 29

Empat orang petugas itu menyambut dengan gembira karena mereka merasa ada yang melindungi kalau-kalau si perusuh tadi kembali membawa teman-temannya. Hartawan The lalu masuk ke dalam rumah kembali dan Si Kong segera mengatur antrian itu agar jangan menjadi kacau.

Empat orang petugas itu senang karena biarpun di angkat menjadi pengawas dan pengatur, ternyata Si Kong juga membantu mereka membagi beras, bahkan mengangkat beras dalam karung yang belum dibuka.

Sementara itu, Hartawan The memasuki rumahnya dan merasa bersukur bahwa peristiwa kerusuhan telah berlalu, akan tetapi diapun merasa khawatir kalau-kalau para perusuh datang lagi. Dia kembali keruangan tamu dimana tadi dia bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun. Bersama isterinya, dia tadi bercakap-cakap disitu ketika dia dilapori oleh pembantunya akan keributan yang terjadi diluar.

Gadis itu bernama Tan Kiok Nio, datang dari kota Sia-lin. Ibu gadis itu adalah adik Hartawan The Kun. Begitu datang di sambut Hartawan The dan isterinya, Kiok Nio menangis sedih dalam rangkulan isteri The-wan-gwe. Dengan heran dan khawatir, Hartawan The Kun dan isterinya bertanya mengapa gadis itu menangis. Setelah tangisnya reda, Kiok Nio lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya.

Ayah Kiok Nio bernama Tan Tiong Bu, seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia kang-ouw. Keluarga Tan ini tinggal di kota Sia-lin, sebelah selatan kota raja. Tan-taihiap, sebutan Tan tiong Bu memiliki sebuah rumah besar dan diapun memiliki sawah ladang yang luas sehingga kehidupan keluarganya cukup mampu biarpun tak dapat dibilang kaya raya.

Diwaktu mudanya, Tan Tiong Bu pernah menjadi murid di biara Siauw-lim-pai, kemudian pernah pula menjadi murid Bu-tong-pai. Dia terus memperdalam ilmu-ilmunya sehingga akhirnya dia dapat menggabungkan semua ilmu itu dan merangkai ilmu pedang yang hebat. Ilmu pedang ini hanya dinamakan ilmu pedang keluarga Tan.

Diwaktu mudanya dia malang melintang di dunia kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh sesat dan sebagai pendekar dia selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Setelah dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi adik Hartawan The, dan mempunyai seorang anak perempuan, Tiong Bu mengurangi petualangannya. Akan tetapi namanya tersohor dan dia disegani orang-orang kang-ouw.

Kemudia muncul berita angin bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangan Tan-taihiap ini. Pedang itu semenjak lama telah menjadi perebutan diantara orang-orang kang-ouw dan sudah terjadi banyak perkelahian dan pembunuhan untuk memperebutkannya.

Akhir-akhir ini tersiar berita yang mengejutkan, yaitu matinya beberapa tokoh kang-ouw yang diketahui mencoba untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Mereka itu mati dalam keadaan mengerikan, dengan kepala putus terlepas dari lehernya. Padahal yang tewas itu adalah orang-orang terkenal di dunia persilatan, baik dari golongan bersih maupun dari golongan sesat. Maka peristiwa itu amat menggemparkan dunia persilatan. Banyak orang menduga bahwa Tan Tiong Bu yang menjadi pelaku pembunuhan itu karena ada berita bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangannya.

Tan Tiong Bu sendiri tidak mengacuhkan berita itu. Dia tidak merasa membunuh. Adapun tentang pedang Pek-lui-kiam memang berada padanya, sebagai pemilik yang sah.

Pada suatu hari, hawa udara amat panasnya. Musim kering yang berkepanjangan mendatangkan hawa yang panas. Terlalu lama bumi di panggang sinar matahari, tidak pernah mendapat siraman air hujan. Karena merasa panas, Tan Tiong Bu dan isterinya duduk di beranda depan yang terbuka agar mendapatkan angin.

Puteri mereka sedang tidak berada di rumah. Gadis itu memang sudah biasa pergi keluar rumah dan orang tuanya tidak merasa khawatir. Sebagai anak tunggal, biarpun ia seorang wanita, akan tetapi ia telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari ayahnya, bahkan telah mahir memainkan ilmu pedang keluarga Tan. Karena itu kepergian Kiok Nio dari rumah tidak pernah di khawatirkan orang tuanya.

Tiba-tiba dari pintu pagar diluar masuklah seorang kakek berusia sekitar enampuluh tahun. Tan Tiong Bu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian kepada orang yang kini melangkah tenang memasuki halaman depan itu. Dia seorang yang menggelung rambutnya ke atas dan mengikat rambut itu dengan pita merah! Dan pakaiannya seperti pakaian pertapa atau pendeta, dengan jubah longgar berlengan lebar. Akan tetapi yang terasa aneh, jubah itu berwarna merah! Dipunggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang gagangnya terbuat daripada baja.






Melihat pakaian serba merah itu Tan Tiong Bu terkejut. Biarpun belum pernah bertemu, akan tetapi dia sudah mendengar akan adanya seorang datuk di barat yang berjuluk Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Menurut keterangan yang diperolehnya, Ang I Sianjin adalah seorang datuk yang berilmu tinggi, akan tetapi menggunakan ilmunya di jalan yang sesat dan suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Tentu saja mengingat keadaan kakek itu, Tan Tiong Bu merasa tidak senang kedatangan datuk sesat itu.

Akan tetapi sebagai tuan rumah, mau tidak mau dia harus menyambut kedatangan tamu. Maka Tan Tiong Bu bangkit berdiri dan menyambut ke depan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata,

“Selamat datang sobat. Engkau siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?’

Kakek tinggi kurus itu tersenyum, senyumnya mengandung ejekan. Dia tertawa terkekeh sebelum menjawab,

“Heh-heh-heh! Apakah aku berhadapan dengan pendekar besar Tan Tiong Bu?”

“Benar sekali. Dan kalau tidak salah, yang datang berkunjung ini adalah Ang I Sianjin, benarkah?”

“Heh-he-he-heh! Ternyata matamu tajam sekali. Sudah lama aku mendengar akan kehebatan ilmu silat keluarga Tan.”

“Lalu apa maksud kunjungan ini, Sianjin?”

“Aku ingin bertanding denganmu!”

“Aih, Sianjin. Mengapa kita harus bertanding kalau diantara kita tidak ada urusan apapun?”

“Hemm, jadi engkau tidak berani menerima tantanganku?”

“Tidak ada alasan bagiku untuk bertanding denganmu, Sianjin. Mari silakan duduk dan kita membicarakan hal lain saja sebagai sahabat. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga.”

“Heh-he-he-heh! Bagus sekali kalau begitu. Engkau mau menerimaku sebagai sahabat, tentu tidak keberatan kalau memberi pinjam Pek-lui-kiam kepadaku!”

Tan Tiong Bu terkejut sekali. Memang ada berita angin bahwa para tokoh dunia persilatan menginginkan pedang pusakanya, yaitu Pek-lui-kiam. Karena ada berita itu, dia menyembunyikan pedang pusaka itu di dalam kamarnya dan tidak pernah membawanya keluar rumah. Sekarang, sudah terjadi hal yang dikhawatirkan, yaitu para tokoh kang-ouw tentu akan mendatanginya dan berusaha merebut Pek-lui-kiam.

“Tidak ada pedang Pek-lui-kiam padaku.” kata Tan Tiong Bu tegas.

“Hemm, kalau begitu engkau tidak ingin menjadi sahabtku? Cabutlah pedangmu, hari ini aku ingin sekali mencoba kepandaian keluarga Tan. Pilih salah satu. Serahkan Pek-lui-kiam padaku dan aku pergi, atau engkau harus melawan pedangku!”

Tan Tiong Bu adalah seorang pendekar besar. Tentu saja ditantang dan didesak seperti itu, dia menjadi marah. Kalau dia berbohong mengatakan bahwa Pek-lui-kiam tidak ada padanya, hal itu dilakukan untuk menghindarkan perkelahian dan permusuhan, bukan karena takut. Dia menoleh kepada isterinya,

“Ambilkan pedangku yang tergantung di dinding kamar itu.”

Isterinya pergi ke dalam tanpa mengucapkan sesuatu karena wanita ini sudah maklum bahwa suaminya adalah seorang pendekar besar dan sewaktu-waktu seorang pendekar tentu akan ditantang orang untuk bertanding. Akan tetapi, wanita itu merasa jantungnya berdebar karena tegang dan gelisah.

Setelah isterinya kembali membawa pedangnya, dia lalu menghadapi Ang I Sianjin dan berkata dengan lantang,

“Ang I Sianjin, diantara kita tidak ada permusuhan. Karena engkau memaksa dan menantang, terpaksa aku melayanimu!”

Dia mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, dan menyerahkan sarung kepada isterinya.

Ang I Sianjin tadinya memandang dengan wajah berseri ketika isteri Tan Tiong Bu menyerahkan pedang kepada suaminya. Dia mengira bahwa pendekar itu akan mempergunakan Pek-lui-kiam. Akan tetapi ketika pedang itu dicabut, dia merasa kecewa. Pedang di tangan lawannya itu memang pedang baik, akan tetapi sama sekali bukan Pek-lui-kiam.

“Engkau tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam, jangan katakan aku kejam kalau aku akan membunuhmu dan merampas Pek-lui-kiam!” kata Ang I Sianjin sambil mencabut pula pedangnya dengan tangan kanan. Setelah berseru lantang diapun mulai dengan serangannya yang dhasyat.

“Tranggg….!”

Tan Tiong Bu menangkis dan dia merasakan getaran hebat dan hawa panas menyerang seluruh lengannya. Tahulah dia bahwa lawannya itu lihai bukan main. Karena itu dia segera mainkan ilmu pedang keluarga Tan yang telah terkenal di dunia persilatan itu.

Ang I Sianjin terkejut dan kagum ketika hampir saja perutnya terkena tusukan lawan. Dia meloncat kebelakang dan karena diapun tahu bahwa lawannya merupakan lawan yang lihai, dia lalu memutar pedangnya dan juga mainkan kipasnya dengan tangan kiri. Ternyata permainan pedang dan kipas itu serasi sekali, dapat saling bantu dan saling menutupi lowongan kalau sedang menyerang.

Kini Tan Tiong Bu yang terkejut. Biasanya, kalau lawan menyerang tentu akan membuka pertahanan untuk balas diserang. Akan tetapi setelah lawanya mainkan kipas dan pedang, ketika lawan menyerang sama sekali tidak ada bagia tubuh yang terbuka pertahanannya. Kalau pedang yang menyerang, kipas yang bertahan, sebaliknya kalau kipas baja itu dipakai menyerang, pedang yang bertahan. Dengan demikian, Tan Tiong Bu tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk membalas serangan lawan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar