Ads

Rabu, 24 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 30

Setelah pertandingan yang seru berlangsung limapuluh jurus, pundak kiri Tan Tiong Bu terkena tusukan gagang kipas baja sehingga dia terhuyung dan pundaknya berdarah. Melihat lawannya terhuyung, Ang I Sianjin tertawa dan menubruk ke depan dengan pedangnya.

“Tranggg…!”

Pedangnya tertangkis dari samping dan ternyata yang menangkis pedang itu adalah isteri Tan Tiong Bu. Untuk menyelamatkan suaminya, nyonya itu dengan nekat menggunakan pedang yang tadinya di bawa pula dari dalam untuk menangkis. Padahal, dalam ilmu silat pengetahuannya masih rendah.

Ang I Sianjin marah dan kipasnya bergerak ke arah nyonya itu. Ujung kipas itu dengan tepat menusuk leher dan sambil mengeluh isteri Tan Tiong Bu roboh terpelanting. Melihat ini, Tan Tiong Bu terkejut dan marah sekali. Dia meloncat ke depan dan menyerang lawan sekuat tenaga tanpa memperdulikan pundak kirinya yang terasa nyeri.

Akan tetapi karena hatinya gelisah mengingat keadaan isterinya, permainan pedangnya pun kurang tetap dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Sianjin untuk menghunjamkan serangan pedang dan kipasnya. Tan Tiong Bu berusaha membela diri, akan tetapi dia kalah cepat, ketika pedangnya terpental karena bertemu kipas, tahu-tahu pedang Ang I Sianjin telah menembus dadanya.

Darah muncrat dan tubuh Tan Tiong Bu berguling. Akan tetapi pendekar ini masih dapat mengarahkan kejatuhan tubuhnya dekat isterinya. Dia masih dapat memeriksa keadaan isterinya dan ketika melihat bahwa isterinya telah tewas, dia menudingkan telunjuknya yang berlepotan darah isterinya kepada Ang I Sianjin dan berkata,

“Kau… iblis….. terkutuk….!” Tubuh Tan Tiong Bu terkulai dan diapun menghembuskan napas terakhir.

Ang I Sianjin tidak memperdulikan lagi suami isteri yang sudah mati itu. Dia meloncat ke dalam rumah dan mulai melakukan penggeledahan untuk mencari Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dua orang pembantu rumah tangga itu, seorang pria dan seorang wanita, tanpa berkata apapun tangannya bergerak dan kedua orang pembantu itu tewas dengan kepala retak!

Ang I Sianjin menggeledah kamar Tan Tiong Bu dan akhirnya dia dapat menemukan pedang pusaka itu yang tersimpan di dalam almari pakaian pendekar itu. Dia mencabut pedang itu. sinar kilat menyilaukan mata ketika pedang dicabut. Kakek itu tertawa-tawa gembira.

“Heh-he-he-heh! Inilah Pek-lui-kiam! Kini terjatuh ketanganku! Aku akan menjadi jagoan tanpa tanding dengan pedang ini, heh-heh-heh!”

Dia menyarungkan kembali pedang itu, menyelipkannya diikat pinggangnya kemudian dia berlari keluar dengan cepat sekali.

Ketika seorang tetangga datang untuk suatu keperluan ke rumah keluarga Tan, dia terkejut sekali melihat Tan Tiong Bu dan isterinya menggeletak di halaman dekat beranda dalam keadaan tak bernyawa lagi dan tubuhnya mandi darah. Tetangga ini keluar sambil berteriak-teriak minta tolong. Para tetangga lain datang berlarian dan mereka semua merasa terkejut dan ngeri. Apalagi ketika mereka menemukan mayat dua orang pembantu rumah tangga keluarga Tan. Para tetangga lalu merawat empat jenazah itu.

Menjelang sore, Tan Kiok Nio pulang ke rumahnya. Gadis itu terkejut dan heran melihat banyaknya orang dirumahnya. Ia berlari cepat memasuki halaman rumahnya dan tertegun melihat empat buah peti mati berjajar di beranda. Wajahnya menjadi pucat, jantungnya berdebar-debar dan iapun meloncat menghampiri peti mati. Ketika melihat peti mati yang masih belum di tutup itu dan menjenguk ke dalamnya, gadis itu menjerit-jerit. Ia lari dari satu peti ke peti yang lain.

“Ayah….! Ibu…..! Kalian kenapa…. kenapa…..?”

Gadis itu lunglai dan roboh pingsan. Para wanita tetangga yang berada disitu ikut menangis dan beramai-ramai mereka mengangkat gadis yang pingsan itu ke kamarnya.

Setelah sadar dari pingsannya, Kiok Nio bangkit dan cepat berlari keluar. Bukan, bukan mimpi! Di beranda itu terdapat empat buah peti mati berisi mayat-mayat ayahnya, ibunya, dan dua orang pembantunya. Iapun menubruk peti ibunya dan menangis tersedu-sedu sambil memanggili ibunya, kemudian menubruk peti ayahnya dan sambil menangis, memanggili nama ayahnya.

Para tetangga membiarkan gadis itu melampiaskan dukanya melalui air mata. Setelah tangisnya mereda, barulah para wanita tetangga menghiburnya.






“Mereka sudah meninggal dunia, walau ditangisi juga tidak ada gunanya, nona. Sekarang sebaiknya kita mengurus jenaza-jenazah itu.”

Kiok Nio dapat menekan perasaan dukanya, lalu bertanya,
“Apa yang telah terjadi? Mengapa ayah ibu mati? Siapa yang membunuhnya?”

“Tidak ada yang tahu, nona. Hanya kebetulan saja seorang tetangga ketika lewat melihat seorang kakek berjubah merah, tinggi kurus dan mukanya pucat keluar dari halaman rumah ini. Tetangga itu mempunyai urusan dengan ayahmu maka dia masuk ke halaman dan melihat ayah ibumu sudah menggeletak di halaman dalam keadaan tidak bernyawa. Kami semua memasuki rumahmu dan melihat dua orang pembantumu juga sudah tewas pula.”

“Kakek tinggi kurus berjubah merah? Siapa dia?” Kiok Nio bangkit berdiri dan mengepal kedua tinjunya. “Siapa dia?”

“Nona, sayalah yang melihat kakek itu, akan tetapi saya tidak mengenalnya. Akan tetapi dia mudah dikenal. Jubahnya itu yang aneh, mirip jubah pendeta akan tetapi berwarna merah dan rambutnya yang di gelung ke atas juga diikat pita merah.”

Kata tetangga yang melihat kakek itu dan yang pertama kali menemukan mayat Tan Tiong Bu dan isterinya.

“Siapapun adanya orang itu, pasti akan kucari dan kubalas dendam ini!”

Kiok Nio lalu berlari keluar dengan gerakan cepat dan ia mencari-cari kakek itu diseluruh pelosok kota. Para tetangga tidak berani melarangnya dan hanya menunggu peti-peti mati itu. Akhirnya Kiok Nio pulang dengan wajah lesu. Ia tidak berhasil menemukan musuh besarnya.

Setelah jenazah ayah ibunya dimakamkan, Kiok Nio tidak betah tinggal seorang diri didalam rumah itu dan sebulan kemudian, ia pergi meninggalkan rumahnya dan pergi ke kota Ci-bun untuk mengunjungi pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Di depan paman dan bibinya ia menangis menceritakan tentang kematian ayah ibunya. Tentu saja The Kun menjadi terkejut bukan main.

“Kau tinggallah bersama kami disini, Kiok Nio. Engkau sudah yatim-piatu, anggaplah kami sebagai orang tua sendiri. Kebetulan kami juga tidak mempunyai anak.”

Karena paman dan bibinya amat ramah dan Kiok Nio tahu bahwa pamannya itu adalah seorang hartawan yang budiman dan dermawan, maka ia suka tinggal disitu.

**** 30 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar