Ads

Rabu, 17 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 21

Si Kong menghela napas. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap gadis ini. Selama ini dia belum pernah bergaul dengan seorang gadis, apalagi yang begini lincah dan pandai bicara seperti gadis ini.

“Baiklah, Hui Lan. Kalau aku boleh bertanya, kenapa engkau berada disini? Hari sudah hampir gelap, kembalilah kerumah, nanti orangtuamu mencarimu dengan khawatir.”

“Ihh! Kau kira aku ini anak kecil yang masih di asuh oleh orang tuaku? Aku sudah pandai menjaga diri, orang tuaku tidak akan mengkhawatirkan diriku. Pula, aku kesini karena disuruh oleh ibuku.”

“Disuruh oleh bibi? Disuruh apakah, nona… eh, Hui Lan?”

“Disuruh mengantarkan makanan dan minuman untukmu. Nah, inilah makanan dan minumannya. Cepat kau makan dan minum agar tidak kelaparan.”

“Akan tetapi aku tidak lapar maupun haus!”

“Bohong! Bagaimana mungkin tidak lapar dan haus kalau sejak pagi engkau belum makan dan minum? Hayolah makan dan minum, sudah susah-susah ibu memasak untukmu dan aku mengantarkannya kesini untukmu.”

Si Kong menjadi tidak enak hatinya kalau terus menolak. Dia lalu minum seteguk dari guci, akan tetapi ketika hendak makan, lehernya seperti dicekik rasanya. Dia mendorong makanan itu jauh-jauh dan berkata,

“Hui Lan, aku benar-benar tidak sanggup makan. Suhu baru saja meninggal dunia, bagaimana aku dapat makan?”

Melihat wajah yang penuh duka itu Hui Lan merasa kasihan juga.
“Sudahlah kalau engkau tidak mau makan, akupun tidak akan membawanya kembali. Biar disini saja, kalau engkau sudah merasa lapar, boleh kau makan. Akan tetapi, Si Kong. kenapa engkau tenggelam dalam kedukaan yang berlarut-larut? Apakah arwah kong-couw (kakek buyut) akan senang kalau melihat engkau menyiksa diri begini di depan makamnya?”

“Bagaimana aku tidak akan berduka Hui Lan? Suhu adalah satu-satunya orang di dunia ini yang menyayangku dan kusayangi. Setelah dia meninggal dunia, aku kehilangan segala-galanya sebatang kara aku di dunia ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa.” Si Kong menunduk agar tidak nampak kesedihan yang membayang di wajahnya.

Hui Lan merasa tersentuh hatinya dan dia merasa kasihan.
“Engkau memang seorang murid yang baik, Si Kong. Pantas saja kong-couw merasa amat sayang kepadamu, dan menurut ibuku, kong-couw mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepadamu.”

“Ah, ilmu kepandaian suhu tidak ada batasnya. Bagaimana mungkin aku dapat mempelajari semua?”

“Akan tetapi menurut ibu, engkau telah mewarisi ilmu-ilmu yang paling tinggi. kita sealiran dan biarpun engkau ini termasuk kakek guruku, sekali-kali aku ingin mengajakmu berlatih silat. Sayang engkau masih tenggelam ke dalam duka, kalau tidak sekarang juga aku ingin mencoba ilmumu.”

Si Kong yang tadinya sudah berdiri, kembali menjatuhkan diri berlutut di depan makam.
“Hui Lan, kasihanilah aku. Tinggalkan aku sendiri di depan makam suhuku yang tercinta.”

“Hemm, baiklah. Akan tetapi kalau engkau benar-benar mencintai kong-couw, seharusnya engkau mencari tujuh iblis itu.”

“Akan tetapi mereka tidak membunuh suhu. Mereka bahkan sudah dikalahkan oleh suhu.”






“Kematian kong-couw adalah karena bertempur dengan mereka. Itu artinya mereka yang menyebabkan kematian kong-couw. Kalau engkau tidak berani menuntut balas, akulah yang kelak akan mencari mereka dan membalas kematian kong-couw!”

Si Kong terkejut sekali,
“Hui Lan. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Apalagi kalau mereka maju semua, amat berbahaya dan sukar ditandingi.”

“Kau takut? Hemm, aku tidak! Kami keluarga Cin-ling-pai tidak pernah merasa takut menghadapi penjahat yang bagaimana lihai sekalipun!” setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat dan meninggalkan Si Kong seorang diri.

Dia termenung. Semua kata-kata gadis itu terngiang dalam telinganya. Dan karena pikirannya dipenuhi ucapan-ucapan Hui Lan, dia tidak merasa bahwa saat seperti itu semua duka lenyap dan tidak terasa lagi olehnya!

Duka disebabkan oleh ulah pikiran. Pikiran mengunyah-ngunyah semua kenangan seperti mengunyah makanan pahit. Makin dikunyah makin terasa pahitnya. Akan tetapi yang amat mengkhawatirkan pikirannya adalah ucapan Hui Lan bahwa gadis itu hendak mencari tujuh orang iblis itu untuk membalas dendam. Gadis itu tentu akan celaka kalau bertemu dengan mereka.

Setelah tiga hari tiga malam berpuasa, pada hari keempat Tang Hay dan Cia Kui Hong sendiri mencari Si Kong di makam. Mereka berdua membujuk dan menasihati dan barulah Si Kong mau makan dan minum sekedarnya.

“Kami bertiga akan pulang ke Cin-ling-san,” kata Tang Hay. “Apakah engkau akan ikut kami?”

Si Kong menggeleng kepala.
“Terima kasih, paman. Saya tidak akan pergi meninggalkan pulau ini sebelum seratus hari.”

“Hemm, mengapa begitu?”

“Saya tidak tega kepada suhu. Saya akan merawat makamnya dan setelah seratus hari baru saya akan meninggalkan tempat ini.”

“Kemana engkau hendak pergi?” tanya Cia Kui Hong.

“Tidak tahu, bibi. Mungkin kembali ke dusun. Disana masih ada seorang enciku yang telah menikah. Atau saya akan merantau kemana saja, bagaimana nanti sajalah.”

“Engkau akan berkelana?” tanya Tang Hay, teringat akan dirinya sendiri ketika masih muda dan suka berkelana.

Si Kong mengangguk.

“Terserah kepadamulah. Akan tetapi jangan engkau lupa, Si Kong, bahwa setelah engkau menerima ilmu-ilmu dari kakek, berarti engkau mempunyai tanggung jawab besar dan tugas yang berat. Engkau harus menjadi seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan menggunakan ilmu itu. Pekerjaan seorang pendekar banyak resikonya, Si Kong, karena dunia kang-ouw terdapat banyak penjahat yang selain ilmunya lihai, juga amat licik dan curang penuh tipu daya. Engkau harus berhati-hati sekali.”

“Saya akan selalu ingat nasihat paman. Dan saya mohon paman dan bibi suka menasihati adik Hui Lan.”

“Kenapa ia?” tanya Kui Hong sambil menoleh kepada puterinya.

Gadis ini mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada Si Kong.

“Ia pernah mengatakan kepada saya bahwa ia hendak mencari tujuh iblis yang datang ke pulau ini. Saya merasa khawatir sekali, paman, karena tujuh orang iblis itu amat lihai dan saya khawatir kalau-kalau adik Hui Lan celaka di tangan mereka.”

”Hui Lan, benarkah engkau hendak mencari tujuh orang iblis itu? Jangan lancang, Lan Lan. Kau kira mudah melawan mereka? Sedangkan kakek buyutmu sendiri sampai menderita ketika bertanding melawan mereka.” tegur Tang Hay kepada puterinya.

“Ayah, Si Kong tidak berani mencari mereka untuk menuntut balas atas kematian kong-couw, maka akulah yang berani!” jawab gadis itu.

“Jangan sembarangan engkau, Lan Lan. Berundinglah dulu dengan kami kalau engkau hendak mencari mereka!” kata Cia Kui Hong dan Lan Lan hanya cemberut saja.

Pada hari itu juga, Tang Hay dan anak isterinya meninggalkan Pulau Teratai Merah, meninggalkan Si Kong yang masih menjaga makam suhunya.

Si Kong benar-benar menjaga tempat itu sampai seratus hari. Dia hanya mencari makanan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar lagi. Setelah seratus hari, barulah dia berkemas, membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan Pulau teratai Merah dengan sebuah perahu kecil.

Wajahnya nampak agak kurus karena selama seratus hari itu dia kurang makan. Akan tetapi hatinya kini sudah tenang dan dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya. Dia mulai dengan niatnya berkelana di dunia bebas, mencari pengalaman hidup. Tidak ada uang sekepingpun di sakunya. Yang dibawanya hanyalah beberapa potong pakaian, sebuah tongkat bambu dan perahu kasar serta dayung perahunya.

**** 21 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar