Ads

Minggu, 14 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 20

Kakek itu menggeleng kepalanya.
“Akan sia-sia saja, Si Kong…… dan engkau juga sudah tahu akan hal itu…….. ilmu perngobatanmu juga tidak berdaya melawan serangan usia tua….! Kematian adalah hal yang wajar, merupakan kelanjutan daripada kehidupan….. maka tidak perlu disesalkan…..”

Pada saat itu, Si Kong mendengar gerakan di luar pondok. Cepat sekali tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat keluar karena dia khawatir kalau-kalau para musuh itu datang lagi.

Akan tetapi begitu tiba di luar pondok, dia terbelalak dan jangtungnya berdebar tegang dan bingung. Sama sekali bukan para iblis tadi yang datang, melainkan seorang gadis yang jelita dan manis sekali. Gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, kulit mukanya putih kemerahan tanpa bedak dan yanci (pemerah kulit), tubuhnya langsing sekali, pinggangnya kecil, dada dan pinggulnya membusung. Pakaiannya serba merah muda dan di punggungnya terdapat sepasang pedang.

Si Kong menatap wajah itu. manis sekali dengan dahinya yang dihias anak-anak rambut yang gemulai, alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis. Sepasang matanya begitu tajam bersinar-sinar seperti bintang kejora. Hidungnya kecil mancung, serasi sekali dengan mulutnya yang tersenyum mengejek dengan bibir yang merah basah. Dagunya runcing membuat muka itu berbentuk bulat telur.

Karena tidak mengira sama sekali, bahwa dia akan berhadapan dengan seorang gadis yang demikian cantik jelitanya, Si Kong sampai tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Gadis itupun terkejut ketika melihatnya berkelebat secepat itu, akan tetapi ia segera berkata,

“Ah, engkau tentu yang bernama Si Kong, murid dari kakek buyut itu!”

Si Kong juga terkejut. Gadis ini menyebut suhunya kakek buyut! Dia sudah mengenal cucu gurunya, wanita perkasa yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu bersama suaminya yang gagah perkasa. Gadis ini tentu puteri mereka.

“Nona….. siapakah……?” tanyanya dengan ragu.

Pada saat itu terdengar suara pria yang nyaring bergema,
“Hui Lan, apakah engkau sudah bertemu dengan kakek buyutmu?”

Baru saja suaranya terhenti, orangnya sudah muncul di situ. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih bersama seorang wanita berusia empatpuluh delapan tahun.

Melihat mereka, Si Kong segera memberi hormat. Biarpun dia murid kakek mereka, akan tetapi karena usianya jauh lebih muda, dia menyebut paman dan bibi kepada mereka. Hal inipun sudah disetujui oleh gurunya agar tidak menempatkan Si Kong dalam kedudukan yang terlalu tinggi.

“Si Kong, bagaimana dengan kong-kong? Dimana dia?” tanya Cia Kui Hong kepada pemuda itu.

“Paman dan bibi, suhu berada dalam keadaan yang gawat. Silakan ji-wi (anda berdua) masuk. Suhu berada di dalam kamarnya.”

Mendengar ini, Tang Hay dan Cia Kui Hong terkejut dan cepat mereka masuk, diikuti oleh puteri mereka Tang Hui Lan. Si Kong mengikuti dari belakang.

“Kong-kong…..!” Cia Kui Hong berseru dan cepat berlutut di dekat pembaringan.

“Kong-kong, bagaimana keadaanmu?” Tang Hay juga berlutut.

Suami isteri ini memeriksa denyut nadi tangan kakek itu dan mereka terkejut bukan main. Denyut itu sebentar terasa sebentar tidak. kakek mereka dalam keadaan yang gawat sekali, bahkan dalam sekarat! Kakek itu yang tadinya telah memejamkan kedua matanya, mendengar suara mereka dan membuka kembali kedua matanya. Dia memandang kepada cucu, cucu mantu, lalu cucu buyutnya. Senyumnya mengembang lagi di mulutnya.

“Beruntung sekali….. kalian datang……. Hampir terlambat…..”

“Kakek kenapa?” tanya Kui Hong dengan gugup, lalu berkata kepada suaminya, “Cepat keluarkan batu giok mustika itu untuk mengobati kakek!”

Tang Hay mengeluarkan sebuah batu giok yang tadinya disimpan di dalam saku bajunya,






“Si Kong, minta air minum……., cepat!”

Si Kong tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya, akan tetapi dia tidak membantah dan cepat menuangkan semangkuk air teh dan menyerahkannya kepada Tang Hay. Pendekar ini lalu memasukkan batu gioknya ke dalam air teh, dibantu oleh isterinya, memberikan obat itu untuk di minum Ceng Lojin. Kakek itu meminumnya sedikit, lalu berkata lemah,

“Tidak ada gunanya……. lagi…… tidak ada obat….. bagi penyakit usia lanjut…. kalau dapat diobati…… tentu Si Kong……. telah menyembuhkanku……..”

Baru Tang Hay dan Cia Kui Hong teringat bahwa Si kong pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai. Kui Hong segera bertanya kepada Si Kong,

“Bagaimana keadaannya?”

“Keadaannya gawat, tidak dapat diobati lagi. Jantungnya sudah terlalu lemah dan paru-parunya juga tidak bekerja dengan baik, sudah terlalu lemah. Saya sudah berbuat semampu saya, akan tetapi tidak dapat menolongnya, bibi. Disaat dalam keadaan lemah sekali, suhu telah mengeluarkan sisa tenaganya untuk memukul tujuh iblis itu, dan inilah yang menghabiskan tenaganya dan membuat semakin lemah.”

“Tujuh iblis? Apa yang terjadi? Siapa mereka itu?” tanya Kui Hong dengan cepat dan penasaran.

“Tanpa diduga-duga mereka datang, Toa Ok dan Ji Ok. Ji Ok dan mereka berlima yang menyebut diri Bu-tek Ngo-sian. Mereka mengeroyok suhu.”

“Kenapa engkau tidak membantu suhu?” tanya Tang Hay dengan suara mengandung teguran.

Si Kong menghela napas panjang.
“Suhu terlalu gagah, terlalu jantan untuk mengelak dari tantangan mereka. Suhu tidak membolehkan saya turun tangan dan suhu menghadapi mereka sendiri. Suhu berhasil memukul mereka satu demi satu dan mereka melarikan diri, akan tetapi suhu telah menggunakan seluruh sisa tenaganya. Saya tidak berani membantah perintah suhu……”

“Akan tetapi kalau engkau sudah mengetahui keadaan kong-kong lemah, seharusnya engkau mencegah dia menghadapi keroyokan lawan!”

Kui Hong berkata dengan nada marah. Wanita ini belum kehilangan watak kerasnya. Apalagi ia memang ada sedikit perasaan iri terhadap Si Kong yang mewarisi ilmu kong-kongnya.

“Sudahlah…..” terdengar Ceng Lojin berkata. “Aku puas…. dapat mengusir mereka…… aku akan menyesal kalau…… Si Kong membantuku…. aku girang dapat mati…… sebagai orang gagah….. bukan musuh yang membunuhku……. melainkan usia tua…… jangan marahi Si Kong….. dia anak baik……. Kui Hong cucuku….. aku sudah pesan kepada Si Kong….. untuk mengubur aku…. dekat makam nenekmu….” Kakek itu terengah, mengambil napas panjang beberapa kali lalu terkulai, mati.

“Kong-kong….” Cia Kui Hong menubruk kakeknya yang sudah tak bernyawa lagi itu sambil menangis.

Tang Hay menepuk lembut pundak isterinya.
“Kong-kong sudah wafat, tidak ada gunanya ditangisi lagi.”

Si Kong merasa dunia seperti kiamat. Ceng Lojin merupakan satu-satunya orang di dunia yang mengasihinya dan sudah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya, juga pengganti dua orang gurunya yang sudah meninggalkannya. Selama empat tahun dia hidup berdua dengan kakek itu di Pulau Teratai Merah dan kini kakek itu juga meninggalkan dirinya, untuk selamanya.

Akan tetapi, di depan keluarga itu, dia menahan untuk tidak menangis. Tangisnya hanya di dalam dada, dan dia menggigit sendiri bibirnya yang bawah sehingga berdarah dan lecet. Dia hanya berlutut dan memberi hormat ke arah jenazah suhunya sambil menangis mengguguk di dalam hatinya. Lehernya seperti tercekik rasanya dan matanya terasa panas karena menahan runtuhnya air matanya.

Pemakaman jenazah Ceng Lojin dilakukan dengan sederhana sekali karena tidak tersedianya alat-alat sembahyang dan perkabungan. Si Kong menggali lubang kuburan di samping makam isteri Ceng Lojin, dibantu oleh Tang Hay. Sebuah peti mati sederhana dibuat sendiri oleh Si Kong, dari kayu pohon di pulau itu. kemudian jenazah di kubur dengan dihadiri hanya oleh empat orang itu. kembali Kui Hong menangis sedih. Kakeknya adalah seorang pendekar besar yang namanya dihormati oleh semua tokoh dunia persilatan, akan tetapi kakeknya meninggal dan dikubur tanpa dihadiri banyak keluarga dan handai taulan.

Padahal kalau kakeknya itu meninggal dunia di kota atau bahkan di dusun yang tidak terpencil seperti di Pulau Teratai Merah, ia yakin kematiannya tentu akan dilayat oleh banyak sekali orang, termasuk ketua dari perguruan besar di empat penjuru. Keluarga Ceng Lojin jauh hari sudah menyadari akan hal ini, akan tetapi semua usaha mereka untuk membujuk Ceng Lojin agar mau pindah dan tinggal bersama mereka di daratan besar, percuma saja karena Ceng Lojin berkukuh untuk tinggal di pulau itu sampai hari akhir dan ingin dimakamkan di dekat makam isterinya.

Setelah penguburan selesai, Si Kong tidak mau meninggalkan kuburan suhunya. Tang Hay dan Cia Kui Hong membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau pergi dari depan makam suhunya dimana dia berlutut.

“Gurumu sudah meninggal dunia dengan tenang, tidak perlu disesalkan dan disedihi lagi, Si kong.” kata Tang Hay.

“Maaf, paman. Saya masih ingin merawat kuburan ini, dan belum dapat meninggalkannya. Saya persilakan paman dan bibi dan adik ini untuk kembali dulu keruamah. Disana terdapat bahan-bahan sayuran dan juga beras untuk dimasak, kalau paman sekalian menghendaki makan.” Kata Si Kong berkeras.

Terpaksa Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan meninggalkan pemuda itu untuk kembali kepondok. Akan tetapi sampai sore pemuda itu belum juga kembali.

“Anak itu amat mencinta kong-kong.” kata Kui Hong.

Suaminya mengangguk.
“Aku tahu bahwa di dalam hatinya dia amat kehilangan dan berduka, akan tetapi semua itu disimpannya dalam hati saja. Anak yang kuat hati.”

“Ibu, sejak pagi dia berada di makam, tidak makan tidak minum, tentu dia kelaparan.” Kata Hui Lan.

Kui Hong merasa kasihan juga. Akan tetapi ia merasa tidak enak kalau sebagai seorang tua ia harus mengirimkan makanan untuk pemuda itu.

“Kau saja, Lan Lan. Bawa nasi dan sayuran serta minumnya, antarkan kepadanya. Cepat sebelum hari menjadi gelap. Kalau dapat, ajak dia pulang kesini.”

“Baik, ibu.”

Kata Hui Lan yang biasa di panggil Lan Lan oleh ayah ibunya. Gadis ini segera mengambil makanan dan minuman ke dalam mangkok dan guci, memasukkannya ke dalam keranjang dan berangkatlah ia ke makam yang berada di bagian pulau itu yang agak membukit.

Ketika tiba di makam, ia melihat Si Kong masih berlutut di depan makam dan ia mendengar pemuda itu bicara seorang diri sambil berlutut.

“Budi suhu setinggi langit sedalam lautan, selama ini suhu begitu baik kepada teecu, akan tetapi sedikitpun teecu belum dapat membalas budi suhu. Apa yang harus teecu lakukan untuk membalas budi kebaikan suhu?” katanya dengan isak tertahan.

Demikian Si Kong tenggelam dalam lautan duka sehingga dia tidak mendengar kedatangan Hui Lan, padahal pendengarannya sudah peka dan tajam sekali.

“Kalau hendak membalas budi kong-kong, engkau harus makan minum agar tidak jatuh sakit.” kata gadis itu.

Si Kong menengok dan melihat Hui Lan, dia berkata,
“Ah, kiranya engkau, nona.”

“Aku bukan nona, namaku Hui Lan, biasa di panggil Lan Lan.” gadis itu mencela.

“Maafkan aku, nona Hui Lan….”

“Engkau adalah murid kong-couw, pantasnya aku menyebut sukong (kakek guru) kepadamu dan engkau menyebut namaku begitu saja. Akan tetapi karena engkau masih muda, tidak pantas menjadi sukong (kakek guru), maka biarlah aku memanggil namamu begitu saja. Dan engkau jangan menyebut nona Hui Lan kepadaku. Apa kata orang nanti kalau aku membiarkan kakek-guruku sendiri menyebut nona kepadaku? Sebut saja namaku atau aku tidak akan mau menjawab sama sekali.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar