Ads

Minggu, 14 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 19

“Ha-ha-ha, kiranya Pendekar Sadis masih hidup dan berada di pulau pertapaannya ini! Dan si bocah setan juga berada disini. Bagus, kami dapat membalas kekalahan kami tempo hari kepada kalian!” kata Toa Ok sambil tertawa-tawa dan menggerakkan tongkat ularnya.

“Sekali ini engkau tidak dapat lolos dari tanganku, Pendekar Sadis!” kata Ji Ok sambil mencabut pecutnya.

“Pendekar Sadis sudah tidak ada, yang ada ini adalah Ceng Lojin.” kata Ceng Lojin, lalu menghadapi lima orang yang menemani Toa Ok dan Ji Ok itu. “Toa Ok dan Ji Ok agaknya belum jera setelah kekalahan di Bukit Iblis dahulu, akan tetapi ngo-wi (anda berlima) ini siapakah dan ada keperluan apa dengan kami?”

“Kami berlima di kenal dengan sebutan Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding) datang dari barat dan kami sahabat Thai-mo-ng dan Ji-mo-ong. Telah puluhan tahun kami mendengar betapa Pendekar Sadis amat sewenang-wenang dan kejam terhadap orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena kami mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah, tadinya kami juga sudah melupakan dan membiarkan dia bertapa menyesali kekejaman-kekejamannya yang dahulu dia lakukan. Akan tetapi, kami bertemu dengan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong dan mendengar bahwa Pendekar Sadis kembali mencampuri dunia kang-ouw bahkan telah mengalahkan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, juga melukai mereka. Karena itu, kami berlima mengambil keputusan untuk ikut dengan mereka mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk membalaskan roh-roh penasaran dari banyak tokoh kang-ouw yang telah tewas di tangan Pendekar Sadis.”

“Siancai……..! Jadi kalian bertujuh ini sengaja datang kesini untuk membunuhku?”

“Kami datang kesini untuk menantangmu, Ceng Lojin!” kata Toa Ok.

“Mengeroyok? Tujuh lawan satu? Kalian pengecut curang!” kata Si Kong dengan marah.

Pemuda itu tahu benar keadaan suhunya yang sedang lemah setelah tadi menguji Thi-khi-i-beng dengannya. Jantungnya berdetak lemah dan suhunya harus beristirahat, sama sekali tidak boleh mengerahkan tenaga sinkang untuk berkelahi, apalagi tujuh lawan satu!

“Si Kong, jangan mencampuri. Ini adalah urusan pribadiku!” Ceng Lojin berseru kepada muridnya dengan sikap gagah dan tenang sekali. Kemudian bertanya kepada Toa Ok, “Kalian bertujuh menantangku untuk mengeroyokku?”

“Ha-ha-ha, aku pernah mendengar bahwa dalam menghadapi lawan, Pendekar Sadis tidak pernah menanyakan dikeroyok atau tidak. memang kami bertujuh hendak maju bersama melawanmu, akan tetapi kalau engkau takut, kami memberi pengampunan dan memperbolehkan engkau membunuh dirimu di depan kami!”

Si Kong marah sekali mendengar ini.
“Aturan apa itu? Memberi pengampunan dengan jalan menyuruh orang membunuh diri!”

“Hemm, seumur hidupku belum pernah aku menolak tantangan dari siapapun juga. Nah, kalian boleh maju bersama!” kata Ceng Lojin dan dia berdiri dengan sikap penuh wibawa, sedikitpun tidak terdapat bayangan rasa takut pada wajah dan sikapnya.

“Tidak tahu malu! Mengeroyok seorang yang sudah tua dan tidak bersenjata dengan tujuh orang dan kesemuanya bersenjata!” teriak lagi Si Kong yang tidak dapat menahan kemarahannya.

Merah juga wajah tujuh orang itu. Mereka adalah datuk-datuk besar yang terkenal didunia kang-ouw. Lima orang yang menyebut diri mereka Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding) itu adalah bekas pendeta-pendeta Lama jubah hitam yang terusir keluar dari negara mereka karena telah melakukan penyelewengan. Mereka lari ke timur dan sebentar sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaian mereka yang tingi. Mereka adalah kenalan Toa Ok dan Ji Ok, maka dengan senang hati mereka membantu dua orang sahabat ini menghadapi Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Ucapan pemuda ini memang menampar harga diri mereka.

“Pendekar Sadis, mengingat bahwa engkau sudah tua renta, maka kami akan menghadapimu tanpa senjata. Lihat, kutinggalkan tongkatku disini!” kata Toa Ok sambil menancapkan tongkatnya ke atas tanah.

Ji Ok menyimpan kembali pecutnya yang dilingkarkan di pinggang menjadi sabuk. Melihat ini, Bu-tek Ngo-sian yang membawa pedang di punggung masing-masing juga tidak mencabut senjata mereka.

“Bagus! Kiranya kalian masih memiliki sifat jantan. Nah, mulailah dengan usahamu untuk membunuh orangtua seperti aku!” kata Ceng Lojin.






Si Kong tadi sengaja mengejek begitu untuk menolong suhunya. Kalau mereka menggunakan senjata, gurunya terpaksa harus menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang dan hal ini amat berbahaya bagi keselamatan suhunya yang sedang lemah. Akan tetapi kalau mereka tidak bersenjata, dia mengharapkan suhunya akan mampu mengalahkan mereka dengan Thi-khi-i-beng.

Ceng Lojin memaklumi akal muridnya ini dan diapun tersenyum. Dia mengerti bahwa kondidi tubuhnya tidak memungkinkan dia untuk bertahan dalam pertandingan yang lama. Dia harus mampu mengalahkan tujuh orang lawannya secepat mungkin atau dia akan tewas ditangan mereka.

Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat mengalahkan mereka yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai datuk persilatan itu? Tidak lain hanya dnegan Thi-khi-i-beng!

Akan tetapi kalau dia membiarkan tenaga sinkang ketujuh orang itu membanjiri dalam dirinya, tubuhnya yang sudah lemah itupun tidak akan kuat bertahan. Diam-diam Ceng Lojin yang sudah banyak sekali pengalamannya bertanding ini mencari akal agar dapat menangkan pertandingan dalam waktu secepat mungkin dengan menggunakan tenaga sedikit mungkin.

Toa Ok dan Ji Ok memelopori mengeroyok itu. Mereka maju bersama dan menyerang dengan pukulan mereka yang cepat dan kuat. Toa Ok mencengkeram ke arah pundak kiri Ceng Lojin, sedangkan Ji Ok menghantamkan tangan kanannya dengan jari terbuka ke arah perutnya.

Ceng Lojin tidak berani mengerahkan tenaga sinkang untuk menangkis, melainkan mengerahkan Thi-khi-i-beng untuk menerima dua macam serangan ini. Dengan sedikit miringkan tubuhnya, dia menerima cengkeraman di pundaknya itu dan pukulan Ji Ok bukan menghantam perut, akan tetapi mengenai lambungnya.

“Plak! plak!”

Tangan kanan Toa Ok yang mencengkeram pundak bertemu dengan pundak yang lunak, demikian pula tangan kanan Ji Ok yang menghantam lambung. Mereka berdua terkejut sekali, akan tetapi ketika mereka hendak menarik kembali tangan mereka, tangan itu sudah melekat pada pundak dan lambung Ceng Lojin.

Sebelum hilang rasa kaget mereka, kedua orang datuk itu menjadi terkejut bukan main ketika merasa betapa tenaga sinkang mereka melalui tangan yang melekat di tubuh orang tua itu membrobot keluar seperti disedot oleh tenaga yang tidak dapat mereka lawan! Mereka cepat berusaha mencegah, akan tetapi mereka tidak mampu menahan tenaga sinkang yang membanjir keluar itu.

Selagi mereka terkejut dan menarik-narik tangan mereka, saat itu dipergunakan oleh Ceng Lojin untuk memukul mereka dengan ilmu silat Hok-liong Sin-ciang.

“Dess…….! Dess….!”

Toa Ok dan Ji Ok terpental ke belakang dan terhuyung-huyung. Mereka tahu bahwa mereka telah terluka dalam. Pada saat itu, lima orang Bu-tek Ngo-sian sudah berloncatan ke depan dan menerkam Ceng Lojin dengan serangan tangan mereka. Ilmu kepandaian kelima orang bekas Lama ini setingkat dengan ilmu kepandaian Toa Ok dan Ji Ok, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ketika mereka berlima maju untuk menyerang dengan pukulan mereka yang ampuh dan mengandung tenaga sinkang kuat!

Akan tetapi alangkkah terkejut rasa hati mereka ketika semua pukulan mereka itu tidak dielakkan maupun ditangkis oleh kakek tua renta itu, melainkan diterima begitu saja dan mereka merasakan tubuh yang lunak menerima pukulan mereka.

Kekagetan hati mereka bertambah ketika mereka merasakan tangan mereka melekat di tubuh kakek itu dan tenaga sinkang mereka membanjir keluar dari tubuh mereka melalui tangan yang menempel pada tubuh itu! Mereka menarik-narik tangan mereka sambil mengerahkan sinkang, akan tetapi makin kuat mereka mengerahkan sinkang, makin kuat pula tangan itu menempel pada tubuh Ceng Lojin dan semakin besar tenaga sinkang mereka membanjir keluar!

Sementara itu Ceng Lojin tidak tinggal diam. Melihat mereka semua sedang kebingungan, dia mainkan Hok-liong Sin-cing, memukul lima orang itu sehingga mereka semua terpental satu-satu dan terhuyung-huyung!

Ceng Lojin berdiri tegak dan penuh wibawa memandang kepada tujuh orang lawannya yang sudah diberi satu kali pukulan dan yang kini mencoba untuk bangkit berdiri. Pukulan yang hanya satu kali itu telah membuat mereka terluka dalam. Kini mereka bertujuh memandang kepada Ceng Lojin dengan mata terbelalak, jelas nampak keraguan dan ketakutan membayang pada wajah mereka.

Melihat betapa gurunya dalam keadaan sedang lemah itu mampu merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam segebrakan saja, Si Kong merasa kagum dan bangga, akan tetapi juga merasa khawatir sekali. Suhunya telah menggunakan Thi-khi-i-beng, hal itu tidak mengapa karena penggunaan ilmu ini tidak perlu mengerahkan tenaga sinkang, akan tetapi ketika suhunya memukul roboh tujuh orang itu dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, jelas bahwa suhunya telah mengerahkan tenaga sinkangnya dan hal ini amat berbahaya bagi jantung suhunya yang sudah amat lemah itu.

Melihat tujuh orang itu sudah bangkit kembali, Si Kong khawatir kalau-kalu mereka menggunakan senjata untuk mengeroyok suhunya lagi, maka diapun menyambar sebatang tongkat bambu dan dengan gerakan yang cepat bagaikan kilat dia sudah meloncat ke depan tujuh orang itu. Dia melintangkan tongkatnya di depan dada dan membentak dengan pengerahan khikang sehingga suaranya terdengar mengguntur penuh wibawa.

“Suhu sudah mengampuni kalian dan tidak menggunakan pukulan maut, apakah kalian masih juga belum jera dan minta mati?’

Tujuh orang itu memang tadi sudah terkejut sekali menyaksikan kelihaian Pendekar Sadis yang kini telah menjadi kakek tua renta itu. Mereka sudah merasa jerih menghadapi kakek ini. Kini, melihat gerakan Si Kong yang demikian tangkas dan kokoh kuat, sedikit keberanian mereka untuk tetap menyerang dengan senjata menjadi buyar dan Toa Ok berseru,

“Mari kita pergi!”

Tujuh orang itu melarikan diri dengan agak terhuyung karena mereka semua menderita luka dalam. Si Kong memandang sampai bayangan mereka lenyap ke dalam sebuah perahu yang tadi mereka daratkan dan dia memutar tubuhnya dengan cepat ketika mendengar suara rintihan suhunya.

Begitu dia memutar tubuh, dia melihat suhunya terhuyung dan cepat dia meloncat dan menahan tubuh suhunya yang sudah terguling roboh. Di lain saat kakek itu sudah jatuh pingsan dalam rangkulan Si Kong.

Si Kong cepat memondong tubuh suhunya. Betapa ringannya tubuh suhunya dan baru Si Kong teringat bahwa suhunya sudah amat tua dan tubuhnya kurus sekali. Dengan hati terharu dan khawatir dia merebahkan suhunya di atas pembaringan dan cepat melakukan pemeriksaan. Ternyata detak jantung suhunya itu lemah sekali, bahkan hampir berhenti!

Si Kong terkejut dan memeriksa pernapasan suhunya. Juga amat lemah dan terengah-engah. Hampir Si Kong menangis. Dengan pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, tahulah dia bahwa keadaan gurunya gawat sekali dan tidak mungkin tertolong lagi. Suhunya telah menggunakan seluruh sisa daya tahannya untuk mengerahkan sinkang dan kini telah kehabisan tenaga sama sekali. Suhunya tidak mengalami luka dalam, akan tetapi karena keadaan tubuhnya yang tua itu lemah sekali, maka penggunaan tenaga sinkang itu menghabiskan daya tahannya.

Si Kong lalu menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan kedada gurunya dan mengerahkan sinkangnya untuk membantu suhunya agar jantungnya dapat bekerja kembali. Hawa hangat yang mengalir keluar dari kedua telapak tangannya, memasuki tubuh tua itu dan tak lama kemudian suhunya membuka matanya, memandang kepada Si Kong dan tersenyum!

“Suhu…….!” kata Si Kong, terharu melihat betapa dalam keadaan seperti itu suhunya masih dapat tersenyum sedemikian cerahnya!

“Si Kong……. aku……. telah kalah………” katanya lirih, suaranya sukar sekali keluar dari kerongkongannya.

“Tidak, suhu! Suhu telah berhasil mengusir tujuh iblis itu dari sini!” kata Si Kong menghibur suhunya.

“He-he…… mengahadapi tujuh iblis kecil itu……. aku tidak pernah kalah……., akan tetapi aku harus menyerah kalah….. terhadap usiaku…….”

“Suhu, teecu akan merawat dan mengobati suhu sekuat dan semampu teecu.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar