Ads

Minggu, 14 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 18

Tentu saja amat besar keberuntungan Si Kong dapat diambil murid oleh Ceng Lojin. Hal ini adalah karena begitu bertemu dengan Si Kong, Ceng Lojin segera mengetahui bahwa pemuda remaja itu memiliki tulang yang baik dan bakat yang besar, pula memiliki kecerdikan dan keberanian. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa Si Kong juga pandai membaca sajak dari ujar-ujar kitab suci, hatinya semakin tertarik lagi. Inilah anak yang boleh dia harapkan untuk mempergunakan ilmu-ilmunya sebaik mungkin, untuk kebaikan manusia dan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Karena tahu bahwa muridnya telah memiliki ilmu silat dasar yang cukup tinggi, tentu saja Ceng Lojin tidak mengajarkan semua ilmu yang dia kuasai. Dia hanya mengajarkan ilmu silat sakti Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, akan tetapi yang delapan jurus itu dapat dikembangkan sendiri menjadi puluhan jurus. Setiap jurus merupakan gerakan dasar yang amat sulit sehingga untuk menguasai delapan jurus Hok-liong Sin-ciang itu Si Kong harus menggunakan waktu dua tahun berlatih dengan tekun, barulah dia dapat menguasai ilmu Hok-liong Sin-ciang itu dan dapat mengembangkannya menjadi banyak jurus.

Setelah Si Kong menguasai ilmu silat yang amat sukar ini dan usianya sudah delapan belas tahun barulah Ceng Lojin mengajarkan ilmu yang lebih sulit lagi, yaitu ilmu tenaga sakti Thi-khi-i-beng!

Untuk dapat menghimpun tenaga sakti yang langka ini, Si Kong harus bersamadhi dengan bermacam-macam cara. Bahkan selama berbulan-bulan dia harus bersamadhi dengan berjungkir balik agar dia menguasai benar tenaga sakti yang berada ditubuhnya dan dapat menggunakan sesuai dengan kebutuhannya. Dia dapat membuat tenaga sakti dalam tubuh itu menjadi hawa panas, hawa dingin, menjadi tenaga keras atau lunak.

Selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, pulau itu hanya baru menerima tamu beberapa kali saja. Yang pertama datang adalah puteri dan mantu Ceng Lojin, yaitu pendekar Cia Hui Song yang sudah berusia tujuhpuluh tahun, dan puteri Ceng Lojin yang bernama Ceng Sui Cin dan telah berusia enampuluh lima tahun. Dua kali suami isteri ini datang menjenguk Ceng Lojin dan setiap kali datang mereka membujuk Ceng Lojin untuk ikut dengan mereka ke Cin-ling-san. Dimana kakek itu dapat tinggal bersama keluarganya.

“Tidak, aku tidak ingin pindah dari sini. Ibumu meninggal dan dimakamkan disini, akupun ingin dimakamkan disini kalau saat terakhirku tiba. Dan jangan khawatir, disini ada Si Kong yang merupakan murid yang amat berbakti.” demikian kakek itu menolak dengan halus.

Ceng Sui Cin dan suaminya merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia tidak merasa iri melihat Si Kong yang dilatih Hok-liong Sin-cang bahkan Thi-khi-i-beng yang ia sendiri tidak mempelajarinya karena bakatnya masih kurang.

“Sute Si Kong.” kata Ceng Sui Cin pada kunjungannya yang terakhir ketika Si Kong sudah berusia sembilan belas tahun, “engkau beruntung sekali mendapatkan kepercayaan ayahku sehingga diambil murid dan mewarisi ilmu-ilmu rahasia dari Cinling-pai. Akan tetapi disamping keberuntungan itu, berarti engkau bertanggung jawab berat sekali. Kelak engkau harus dapat mempergunakan semua ilmu itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan sekali-kali tidak boleh kau pergunakan untuk maksud jahat dan menguntungkan diri sendiri saja. ingat, kalau engkau melakukan penyelewengan itu, kami seluruh anggauta besar Cin-ling-pai akan menghadapimu dan minta pertanggung-jawab darimu.”

“Saya mengerti benar akan apa yang suci maksudkan. Saya hanya seorang manusia biasa, suci, maka saya tidak berani tekebur dan menjanjikan sesuatu yang kelak tidak akan dapat saya penuhi. Saya hanya berdoa kepada Tuhan semoga Tuhan akan selalu membimbing saya kearah jalan yang benar!”

Ucapan ini bahkan lebih melegakan hati Ceng Sui Cin daripada kalau pemuda itu mengucapkan janji yang muluk-muluk. Ia suka akan kerendahan hati pemuda ini. Sayang bahwa pemuda sebaik dan sebesar ini bakatnya bukan keluarga besar Cin-ling-pai.

Selain suami isteri itu yang berkunjung dua kali selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, juga cucu Ceng Lojin, yaitu Cia Kui Hong yang berusia empatpuluh tujuh tahun dan menjadi ketua Cin-ling-pai datang berkunjung bersama suaminya yang bernama Tang Hay.

Sebagai puteri Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, tentu saja Cia Kui Hong juga merupakan seorang wanita sakti maka ia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi suaminya yang bernama Tang Hay itu bahkan lebih lihai daripada ia. Cia Kui Hong ini pernah digembleng pula di Pulau Teratai Merah oleh kakek dan neneknya, bahkan telah mewarisi ilmu pedang pasangan Hok-mo Siang-kim (Sepasang Pedang Pembunuh Iblis) dari neneknya.

Akan tetapi Cia Kui Hong inipun dianggap kurang berbakat untuk mewarisi Hok-liong Sin-cian dan Thi-khi-i-beng. Adapun suaminya, Tang Hay adalah seorang pendekar sakti yang bukan saja memiliki ilmu yang lebih tinggi dari isterinya, akan tetapi diapun mahir ilmu sihir!

Seperti juga nenek Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong sengaja menemui Si Kong berdua saja ketika Si Kong bekerja di ladang kecil dimana dia menanam sayur-sayuran untuk dia dan gurunya. Dan seperti juga ibunya, Cia Kui Hong berkata kepada Si Kong,






“Si Kong, engkau telah memperoleh kepercayaan kong-kong dan diberi pelajaran ilmu silat tinggi. aku ingin memperingatkanmu agar kelak engkau menggunakan ilmu-ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, jangan sekali-kali engkau menggunakan untuk kejahatan, karena dengan demikian, engkau akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan kami semua akan menghadapimu sebagai musuh!”

Si Kong tersenyum. Betapa miripnya nyonya ini dengan ibunya! Ibu dan anak sudah memperingatkannya dengan keras.

“Harap pangcu tidak khawatir. Saya sudah berjanji di depan suci Ceng Sui Cin bahwa saya akan menaati semua pesan dan perintah suhu. Semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke dalam jalan kebenaran.”

Ketua Cin-ling-pai dan suaminya itu hanya tinggal tiga hari di Pulau Teratai Merah, lalu mereka pulang karena merekapun tidak berhasil membujuk kakek Ceng Lojin untuk ikut dengan mereka tinggal di Cin-ling-san.

Diam-diam Si Kong merasa ngeri juga. Dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pusaka dari keluarga besar para ketua Cin-ling-pai dan dia tahu bahwa mereka itu bukan omong kosong saja dengan peringatan mereka. Akan tetapi hatinya tidak merasa khawatir karena sedikitpun tidak ada niat dihatinya untuk berbuat jahat atau seenaknya sendiri saja mengandalkan semua ilmunya. Disamping ilmu silat, diapun mendapat banyak wejangan dan pelajaran tentang kehidupan dari Yok-sian Lo-kai, Kwa Siucai dan Ceng Lojin sendiri.

Waktu berlalu amat cepatnya bagaikan anak panah terlepas dari gendewanya. Tanpa terasa, dua tahun lagi telah lewat semenjak kunjungan ketua Cin-ling-pai Cia Kui Hong bersama suaminya itu. Kini Si Kong telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh tahun. Diapun telah menguasai Thi-khi-i-beng.

Ceng Lojin juga bertambah tua, kini usianya sudah seratus tahun lebih. Tubuhnya semakin kurus akan tetapi masih tegak dan tidak bongkok. Pandang matanya masih tajam dan juga pendengarannya masih baik. Pada suatu pagi, kakek itu menghampiri Si Kong yang sedang memikul air dari sumber air itu.

“Berhentilah bekerja sebentar. Aku ingin menguji apakah engkau benar-benar telah menguasai Thi-khi-i-beng secara benar.”

Si Kong cepat menurunkan pikulannya dan menghampiri kakek itu.
“Teecu siap melaksanakan perintah suhu!” katanya dengan suaranya yang selalu bernada gembira dan tegas.

“Si Kong, bagian paling sukar dari Thi-khi-i-beng adalah menghentikan tenaga menyedot tenaga sinkang dari luar. Kalau hal itu belum dapat kau lakukan dengan sempurna, engkau dapat membunuh orang tanpa disengaja dan secara mudah karena tenaga sinkang orang itu akan membanjir ke dalam tubuhmu. Jangan sekali-kali mencoba untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng kalau engkau belum mampu mengendalikan tenagamu dengan sempurna. Karena itu, sekarang aku akan mengujimu. Aku akan mencengkeram pundakmu. Salurkan Thi-khi-i-beng itu kepundak yang dicengkeram dan tenaga dalamku akan tersedot olehmu melalui pundak yang kucengkeram. Kalau sudah begitu, cobalah engkau cepat-cepat menarik kembali tenagamu agar sinkang dariku tidak tersedot terus.”

“Baik, suhu. Akan teecu coba sebaik mungkin!”

“Lihat serangan.”

Kakek berseru dan secepat kilat, tahu-tahu tangan kirinya sudah mencengkeram pundak kanan Si Kong. Begitu merasa pundaknya dicengkeram, Si Kong segera mengerahkan Thi-khi-i-beng dan tangan kakek itu menempel pada pundaknya, dan ada tenaga sedotan yang besar sekali menyedot tenaga sinkang kakek itu melalui pundak Si Kong.

Setelah merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya, tahulah Si Kong bahwa ilmunya telah bekerja dengan baik. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali tenaga sedotan itu sambil menggerakkan pundaknya sehingga terlepas dari tempelan tangan Ceng Lojin. Ceng Lojin sendiri terhuyung ke belakang dan melihat ini Si Kong cepat menghampirinya.

“Suhu baik-baik saja?”

Ceng Lojin tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Tidak apa-apa akan tetapi hatiku senang sekali. Engkau telah mampu mengendalikan Thi-khi-i-beng! Itu baik sekali, Si Kong, karena kalau tidak, engkau akan membunuh banyak orang dengan tenaga sedotan Thi-khi-i-beng yang tidak dapat kau hentikan.”

Melihat kakek itu agak terengah dan mukanya agak pucat, Si Kong cepat memegang nadi tangan gurunya untuk memeriksa keadaannya. Diapun terkejut!

“Jantung suhu terguncang dan lemah sekali! Suhu harus beristirahat……..!”

Kembali Ceng Lojin tersenyum.
“Beginilah kalau badan sudah dimakan umur. Tiada yang kekal di dunia ini, juga kekuatan badan. Oleh karena itu selagi badan kuat, engkau harus dapat mempergunakannya demi keadilan dan kebenaran Si Kong. Kalau kelak engkau sudah setua aku, engkaupun akan kehilangan kekuatanmu dan kalau sudah jompo, apa yang dapat kau lakukan?”

“Akan tetapi suhu, kesehatan suhu terancam. Suhu tidak boleh mengerahkan tenaga dan harus beristirahat. Saya akan membuatkan obat untuk memperkuat daya tahan tubuh suhu!”

Ceng Lojin menggeleng kepala.
“Tidak, Si Kong. Pengobatan manusiapun ada batasnya. Badan yang tua tidak dapat dipulihkan kembali. Mengingat keadaanku ini, patut kunasihatkan kepadamu, tengoklah keatas! Tengoklah keatas dan engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih pandai, lebih kaya dan lebih segala-galanya dari pada engkau dan engkau boleh berkata pada dirimu sendiri: enyahlah keangkuhan dan kesombongan! Jangan lupa untuk menengok kebawah! Tengoklah ke bawah dan engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih bodoh, lebih miskin dan lebih menderita daripada engkau dan engkau boleh berkata pada dirimu sendiri: pergilah keputus-asaan dan kerendah-dirian! Dengan menengok ke atas dan ke bawah itu, engkau akan selalu merasa bersyukur atas segala karunia Tuhan kepadamu, engkau akan selalu rendah hati dan tidak rendah diri. Engkau akan menjadi seorang manusia yang jauh lebih gagah perkasa kalau engkau mampu menguasai nafsu-nafsu sendiri dari pada kalau engkau mengalahkan seratus orang lawan!”

“Teecu akan menyimpan dalam hati dan akan selalu ingat semua nasihat suhu.”

Tiba-tiba Si Kong melompat berdiri dan memandang ke arah selatan. Tempat tinggal mereka berada di daratan paling tinggi di pulau itu dan dari situ orang dapat melihat ke empat penjuru yang lebih rendah. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara orang dari arah selatan maka dia memandang kesana penuh perhatian.

“Ada orang-orang datang mengunjungi kita.” terdengar Ceng Lojin berkata.

Ini membuktikan bahwa pendengaran kakek itu masih amat tajam. Si Kong melihat bayangan tujuh orang datang dari pantai pulau dan kini mereka berlari cepat bukan main menuju ke arah tempat dia berdiri, Si Kong dapat melihat jelas betapa cepatnya tujuh orang itu berlari, menunjukkan bahwa mereka tentu bukan orang sembarangan.

“Benar suhu, ada tujuh orang datang berkunjung dan mereka menggunakan ilmu berlari cepat. Mereka tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, suhu.”

“Siapapun adanya mereka, mari kita sambut mereka di depan pondok. Setiap orang yang datang berkunjung ke pulau ini adalah tamu yang harus kita hormati, Si Kong.”

“Baik, suhu.”

Mereka lalu berjalan menuju ke depan pondok dan berdiri dengan sikap tenang menanti datangnya tujuh orang itu. Benar seperti yang dikatakan Si Kong, sebentar saja tujuh orang itu sudah tiba di depan mereka. Pemuda itu terkejut ketika mengenal dua orang diantara mereka, seorang yang kepalanya besar dan botak berpakaian putih dan seorang yang rambutnya panjang sampai kepinggang dan mukanya berambut seperti muka monyet. Mereka itu bukan lain adalah Toa Ok atau Thai-mo-ong dan Ji Ok atau Ji-mo-ong, dua orang yang disebut Si Jahat Nomor Satu dan Si Jahat Nomor Dua.

Si Kong melihat lima orang yang lain. Mereka adalah lima orang kakek yang usianya sekitar enampuluhan tahun dengan rambut dipotong pendek dan pakaian mereka seperti jubah pendeta.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar