Ads

Minggu, 14 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 17

“Mula-mula saya melihat enambelas orang itu berkumpul disini dan pimpinan mereka menyatakan bahwa sekarang mereka akan mempergunakan bukit ini sebagai sarang mereka. Lalu muncul tiga orang yang menyebut diri mereka Liok-te Sam-kwi. Tiga orang itu mengalahkan enambelas orang ini dan memaksa mereka menjadi anak buah Liok-te Sam-kwi. Kemudia muncul Toa Ok dan Ji Ok tadi yang membunuh mereka semua, setelah menyuruh mereka semua membunuh diri dan mereka tidak mau lalu terjadi pertempuran. Ketika saya hendak pergi dari sini, dua orang datuk itu melihat saya dan mereka menyerang saya seperti yang locianpwe lihat tadi.”

“Siancai………! Bunuh membunuh, bunuh membunuh sejak dahulu sampai sekarang. Orang-orang sesat di dunia kang-ouw rupanya tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali saling bunuh dan saling merebutkan kekuasaan. Dan sekarang hendak pergi kemana, Si Kong?”

“Saya….. pertama-tama saya harus menguburkan semua jenazah ini baik-baik, lo-cian-pwe. Setelah itu baru saya akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan saya.”

Kakek itu mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya dan memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Sinar kagum terpancar dari pandang matanya.

“Melanjutkan perjalanan kemana?”

“Entah kemana, lo-cian-pwe. Kemana saja hati dan kaki ini membawa saya. Saya seorang yatim piatu, sebatang kara, dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Saya berkelana seperti seekor burung di angkasa, sendirian saja.”

CengThian Sin atau Pendekar Sadis yang kini telah menjadi seorang pertapa tua renta itu menjadi semakin kagum. Dia sendiri hidup menyendiri. Setelah isterinya meninggal dunia belasan tahun yang lalu, dia hidup seorang diri di Pulau Teratai Merah, bahkan tanpa pembantu.

Dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Ceng Sui Cin yang kini sudah berusia enampuluh tahun lebih. Ceng Sui Cin hidup bersama suaminya yang bernama Cia Hui Song yang sekarang tinggal bersama puteri mereka menjadi ketua dari Cin-ling-pai.

Biarpun puterinya dan cucunya mendesaknya untuk tinggal bersama mereka di Cin-ling-pai, dia selalu menolak. Dia ingin hidup menyendiri sebagai seorang pertapa dan hanya kadang-kadang saja, puterinya, mantunya atau cucunya datang menjenguknya di pulau Teratai Merah. Setelah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek ini memperkenalkan diri dan disebut sebagai Ceng Lo-jin (ornag tua Ceng).

Si Kong segera menggunakan golok yang banyak bertebaran di tempat itu untuk menggali sembilan belas lubang kuburan. Pekerjaan berat itu dilakukan tanpa kenal lelah dan setelah matahari tenggelam di langit barat, barulah dia selesai mengubur semua jenazah itu. Sejak Si Kong bekerja, Cenglojin hanya menonton saja, kemudian dia malah bersila di atas batu besar dan memejamkan matanya.

Setelah selesai, dia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi melihat kakek tua renta itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya seperti orang tidur, dia merasa tidak tega meninggalkannya. Kakek itu sudah tua sekali, kasihan kalau ditiggalkan seorang diri saja di Puncak bukit itu, padahal malam hampir tiba.

Karena tidak tega pergi meninggalkan kakek itu seornag diri saja, apalagi pergi tanpa pamit, Si Kong menunda kepergiannya. Dia lalu mengumpulkan kayu dan daun kering, lalu membuat api unggun di dekat batu besar untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin yang mulai datang mengganggu. Dia sendiri lalu merebahkan diri di atas daun-daun kering di dekat batu besar dan mencoba untuk melepaskan lelah.

Pikirannya tidak pernah dapat lepas dari kakek yang duduk bersila di atas batu besar itu. Kakek itupun seperti dia, agaknya hidup sebatang kara. Bagi dia, seorang pemuda, tidaklah terasa berat benar. Untuk mencari makan, dia dapat bekerja dimana saja. akan tetapi kakek tua renta itu? Biarpun dia memiliki kesaktian hebat, mana mungkin kakek itu bekerja untuk mencari nafkah? Dia semakin merasa kasihan kepadanya. Apalagi kakek itu baru saja telah menyelamatkan nyawanya. Diapun harus berbuat sesuatu untuk kakek itu. Setidaknya malam ini dia akan menjaga agar kakek itu tidak terganggu dalam samadhinya.

Dijaganya api unggun itu agar tidak padam. Diapun mengaso dan mencoba tidur, walaupun hanya sebentar-sebentar karena dia harus bangun untuk menambahkan kayu bakar pada api unggunnya.

Ketika dia teringat kepada gundukan-gundukan tanah di dekat situ, mau tidak mau bulu tengkuknya meremang. Tadi, dia sama sekali tidak ingat kepada mayat-mayat yang dikubur itu. Kini, setelah teringat, timbullah rasa ngeri dan takut! Jelaslah bahwa rasa takut itu tidak datang tanpa diundang. Yang mengundang adalah ingatan yang mengingat-ingan dan membayangkan yang tidak-tidak, membayangkan hal-hal yang menyeramkan.






Ingatan mengada-ada, mengingat-ingat dan membayangkan kalau saja mayat-mayat itu bangun kembali. Kalau saja roh-roh yang mati menjadi penasaran dan mengamuk. Kalau saja, kalau saja………. demikianlah pikiran mengingat-ingat dan membayang-bayangkan sesuatu sehingga rasa takut datang menyelinap dalam batin.

Si Kong pernah mendengar wejangan Penyair Gila tentang timbulnya rasa takut itu, dan sekarang dia merasakannya sendiri. Setelah dia jelas betul darimana timbulnya rasa takut yang membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia “memasuki” rasa takutnya itu dan menjenguk di balik rasa takut itu. Dan diapun merasa geli terhadap ulahnya sendiri dan rasa takut itupun menghilang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek itu telah sadar dari samadhinya, atau tidurnya sambil duduk bersila. Melihat kakek itu bangkit berdiri, Si Kong segera meloncat bangun pula.

“Siancai…..!” kata kakek itu tersenyum. “Engkau masih berada disini, Si Kong? Bukankah kau katakan bahwa engkau hendak melanjutkan perantauanmu?”

“Maaf, lo-cian-pwe, saya belum dapat pergi karena melihat lo-cian-pwe sedang bersamadhi. Saya tidak mungki pergi meninggalkan lo-cian-pwe begitu saja tanpa pamit.”

Ceng Lojin menghela napas panjang.
“Dasar jodoh, dasar jodoh! Thian (Tuhan) yang menentukan, manusia hanya dapat berusaha sekuat dan sebaik mungkin.” Kata kakek itu perlahan seperti kepada dirinya sendiri. “Si Kong, bagaimana pendapatmu jika aku mengambilmu sebagai murid?”

Pertanyaan seperti ini sama sekali tidak pernah di sangka oleh Si Kong, bahkan dia tidak pernah dapat mengharapkan kakek seperti ini mau menjadi gurunya. Maka, begitu mendengar kata-kata itu, langsung dia menjatuhkan diri berlutut di bawah batu besar itu dan wajahnya berseri gembira ketika dia menjawab.

“Lo-cian-pwe, tidak ada kegembiraan yang melebih apa yang saya dengar dari lo-cian-pwe. Kalau lo-cian-pwe sudi mengambil saya sebagai murid, saya merasa mendapat anugerah besar dari Tuhan dan saya hanya dapat berjanji akan menaati semua perintah dan petunjuk lo-cian-pwe.”

“Baiklah, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan harus menaati semua perintahku.” kata kakek tua renta itu.

Dengan hati girang bukan main Si Kong lalu menjatuhkan dirinya berlutut lagi dan memberi hormat delapan kali kepada kakek itu dan menyebut

“Suhu!”

“Teecu akan mempersiapkan sarapan pagi untuk suhu.” kata pemuda itu.

Ceng Lojin tersenyum.
“Sarapan apa yang hendak kau berikan kepadaku?”

“Teecu dapat berburu burung, ayam alas atau kelinci di hutan lereng itu.”

Ceng Lojin menggoyang tangannya,
“Tidak usah, aku sudah lama tidak lagi menyentuh makanan dari binatang, aku hanya makan tumbuh-tumbuhan saja dan aku sudah membawa bekal roti kering. Engkau juga boleh makan bersamaku. Aku hanya membutuhkan air jernih, kau boleh mencarikan itu untukku.”

Si Kong membuka buntalannya. Dia memang selalu membawa sebuah panci untuk keperluan mencari air jernih atau memasak makanan. Dengan panci di tangan dia lalu berlari cepat sekali ke sebuah hutan di lereng. Tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sepanci air jernih yang ditemukan dari sebuah sumber air. Ceng Lojin mengeluarkan beberapa potong roti kering dari buntalannya dan guru dan murid itu lalu makan makanan sederhana itu dengan nikmat.

“Suhu, maafkan kelancangan teecu (murid). Teecu pernah mempelajari dari kitab-kitab suci bahwa makanan bernyawa itu tidak baik bagi batin kita, bahkan menurut ilmu pelajaran pengobatan juga makanan bernyawa itu tidak baik bagi kesehatan tubuh. Teecu dapat mengerti mengapa suhu sebagai seorang pertapa pantang makanan bernyawa, akan tetapi yang ingin teecu tanyakan, suhu, apakah kita dapat terbebas dari makan binatang bernyawa? Menurut suhu Lok-sian Lo-kai, dalam setiap cawan air jernih bisa terdapat ratusan atau bahkan ribuan binatang-binatang kecil yang tidak dapat nampak oleh mata biasa. Demikian pula dalam tumbuh-tumbuhan seperti daun-daun untuk sayur dan juga buah-buahan, besar kemungkinan mengandung binatang-binatang kecil sehingga tak dapat dihindarkan lagi, kita terpaksa makan binatang-binatanag bernyawa, mau atau tidak.”

Ceng Lojin mengangguk-angguk.
“Benar sekali keterangan Lo-kai Lo-jin itu. Bahkan dalam setiap tarikan napas, ada beberapa banyak binatang-binatang kecil ikut masuk ke dalam tubuh kita. Akan tetapi hal itu kita lakukan tanpa disengaja, dan tidak dapat di hindarkan. Berbeda dengan kalau kita makan daging binatang dan menikmati kelezatannya. Yang namanya membunuh, apapun alasannya, tetap saja merupakan pembunuhan dan pembunuhan didukung oleh kekejaman.”

“Maaf, suhu. Bukan sekali-kali teecu membantah, akan tetapi teecu memajukan pertanyaan-pertanyaan ini karena ingin tahu dan ingin mengerti benar. Apakah dengan pendapat bahwa membunuh untuk makan itu jahat dan kejam, maka binatang pemakan daging seperti harimau, singa, buaya dan lain binatang buas juga jahat?”

“Sama sekali tidak, Si Kong. Binatang buas itu memang membunuh, akan tetapi membunuh untuk makan karena dia tidak dapat makan yang lain. Hariamu dan lain-lain binatang buas itu tidak dapat makan daun, dan kalau tidak ada binatang buruan lain mereka akan mati kelaparan. Mereka memang ditakdirkan untuk itu. Akan tetapi manusia tidak dapat disamakan dengan binatang buas. Manusia dapat hidup tanpa makan daging binatang. Jadi, orang-orang yang pantang makan daging binatang itu hanya berusaha agar mereka tidak terlalu dipengaruhi oleh nafsu binatang yang tentu ikut masuk bersama dengan daging yang dimakannya. Akan tetapi ini bukanlah menjadi jaminan bahwa orang yang berpantang makan daging adalah orang-orang baik, dan mereka yang makan daging adalah orang-orang yang jahat. Seperti kukatakan tadi, pantang makan daging hanya suatu cara untuk mengurangi pengaruh nafsu binatang. Karena itu, biarpun engkau sudah menjadi muridku, aku tidak akan melarang engkau makan daging.”

“Ah, tidak suhu. Seorang murid haruslah menjadikan gurunya sebagai tauladan. Kalau suhu tidak makan daging, teecu juga tidak ikut makan daging, karena teecu hendak merasakan sendiri bagaimana rasa dan akibatnya kalau berpantang makan daging.”

Setelah selesai makan roti kering dan minum air jernih, Si Kong mengikuti gurunya turun bukit. Gurunya nampaknya hanya melangkah biasas saja, akan tetapi tubuh suhunya seolah tidak berjalan, melainkan melayang. Kedua kakinya seolah tidak menyentuh tanah. Dia harus mengerahkan ilmu Liok-te hui-teng untuk dapat mengimbangi kecepatan langkah gurunya.

Ceng Lijin mengajak Si Kong pergi ke selatan dan setelah tiba di pantai Laut Selatan lalu menyeberang ke sebuah pulau kecil yang tanahnya subur. Pulau itu mempunyai beberapa buah danau dan diatas danau itu tumbuh banyak bunga teratai merah. Karena itulah maka pulau itu disebut Pulau Teratai Merah yang menjadi tempat tinggal Ceng Lojin. Ditengah pulau terdapat sebuah pondok kayu yang cukup besar dan kokoh kuat.

Ceng Lojin yang usianya sudah mendekati seratus tahun itu dahulu ketika masih muda, terkenal dengan julukan Pendekar Sadis karena dia amat membenci golongan sesat. Kalau bertemu dengan penjahat, dia tidak akan memberi ampun sehingga semua penjahat di dunia kang-ouw gentar kalau mendengar namanya yang menjadi algojonya para penjahat.

Ilmu kepandaian kakek ini amat tinggi dan sukar dicari lawan yang dapat mengimbangi tingkat kepandaiannya. Dia menguasai banyak ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Diantaranya semua ilmu silat itu, terdapat ilmu silat Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), Pek-in-ciang (Tangan Awan putih), Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi), Thai-kek Sin-kun (Silat Sakti Pokok Terbesar), San-in Kun-hwat (Ilmu Silat Awan Gunung).

Akan tetapi diantara yang paling hebat diantara semua ilmu silat tinggi itu adalah Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Mendekam) yang terdiri hanya dari delapan jurus dan ilmu tenaga sakti yang disebut Thi-khi-i-beng, semacam ilmu sakti yang mengerikan karena dengan ilmu itu, dia dapat menyedot tenaga sakti lawan kedalam dirinya sehingga menambah kekuatannya sendiri dan membuat lawan menjadi lemas karena tubuhnya kosong dari tenaga dalam yang disedot habis!

Thi-khi-i-beng ini merupakan ilmu rahasia dari para ketua Cin-ling-pai, akan tetapi pada waktu itu, tidak ada orang lain lagi kecuali Ceng Lojin yang menguasainya. Tidak sembarang orang dapat menguasai Thi-khi-i-beng. Bahkan puterinya sendiri yang bernama Ceng Sui Cin tidak dapat menguasai ilmu itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar