Ads

Minggu, 14 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 16

"Takk!!"

Tongkatnya mengenai kaki Ji Ok. Kalau bukan Ji Ok yang terkena hantaman tongkat itu, tentu sudah terpelanting jatuh. Akan tetapi Ji Ok tidak bergeming, hanya matanya terbelalak,

"Tung-hwat (ilmu tongkat) yang hebat!"

Sementara itu, Toa Ok juga sudah menyerang dengan tamparan tangan kanan di susul tamparan tangan kiri. Tamparan kedua tangannya ini menggunakan sinkang sehingga dapat menyerang orang dari jarak jauh.

Akan tetapi Si Kong sudah melayang ke atas dan melewati kepala Toa Ok. Ketika turun tongkatnya sudah menghantam ke belakang tubuh lawannya.

"Bukk!"

Pinggul Toa Ok kena dihantam tongkat. Tongkat itu terpental, akan tetapi Toa Ok sudah menjadi merah sekali mukanya karena dalam segebrakan saja dia sudah terkena pukulan tongkat walaupun pukulan pada pinggulnya itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya merasa heran dan terkejut, dan teringatlah dia akan ilmu tongkat yang terkenal paling ampuh di dunia persilatan.

"Ta-kaw Sin-tung...!" Teriaknya dan kembali mereka menghadapi Si Kong.

Kini mereka menyerang dengan berbareng. Si Kong menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia harus menggunakan Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya menjadi seperti seekor burung walet gesitnya, mengelak ke sana sini sambil berloncatan dan kadang menangkis dengan tongkatnya.

Setelah lewat belasan jurus, sebuah pukulan jarak jauh dari Toa Ok menyerempet pundaknya dan diapun terpelanting dan merasa tubuhnya panas sekali, Ji Ok dan Toa Ok maju menyerang lagi dari kanan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti keluar dari telapak tangan mereka.

Si Kong sudah tidak dapat menghindar lagi. Akan tetapi, biarpun maut mengancam dirinya, anak ini sama sekali tidak takut dan dia hanya menanti datangnya pukulan dengan mata terbelalak penuh keberanian.

"Siancai..!" pada saat itu terdengar seruan orang dan nampak bayangan orang berkelebat.

Tahu-tahu disitu telah berdiri seorang kakek dekat Si Kong dan kakek ini mementang keduan tangannya ke kanan kiri untuk menyambut pukulan Toa Ok dan Ji Ok yang ditujukan kepada Si Kong.

"Plak-plakk!"

Kakek itu menerima kedua tangan dari kanan kiri. Dia dapat merasakan betapa telapak tangan Toa Ok mengandung hawa panas dan telapak tangan Ji Ok mengandung hawa dingin. Akan tetapi kakek itu dengan tenangnya menyambut tangan mereka.

Toa Ok dan Ji Ok terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan hangat. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk sesat yang tidak memperdulikan nasib orang lain. Mereka dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Kini melihat seorang kakek menolong Si Kong dan kakek itu terhimpit di tengah-tengah antara mereka, kedua orang datuk ini tidak menarik kembali tangan mereka, bahkan sebaliknya mereka mengerahkan tenaga sinkang untuk membunuh kakek yang menghalangi niat mereka membunuh Si Kong itu.

Mereka menggunakan tangan mereka itu untuk mendorong dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi mereka terkejut bukan main. Ketika mendorong dengan tenaga sakti yang mengandung hawa panas, Toa Ok merasa betapa ada hawa dingin menyambut dorongannya. Sebaliknya Ji Ok yang mendorong dengan hawa sinkang dingin, merasa betapa ada hawa panas menyambut dari telapak tangan kakek itu.

Mereka berdua terengah-engah karena sambutan hawa sin-kang dari tangan kakek itu amat kuat. Mereka merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kembali.

"Haiiiiiitt...!" Ji Ok berseru nyaring.

"Hyaaaaaatttt...!" Toa Ok juga membentak sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Akan tetapi dua orang kakek itu merasa betapa makin kuat mereka mendorong, semakin kuat pula hawa sakti menyambut dan mereka tidak kuat bertahan, lalu keduanya terjengkang roboh.






Toa Ok merasa tubuhnya diserang hawa dingin, sebaliknya Ji Ok merasa tubuhnya diserang hawa panas. Mereka tidak tahu bahwa kakek itu sebetulnya hanya menyalurkan saja hawa pukulan mereka itu melalui kedua tangannya dan membuat dua tenaga yang berlawanan itu bertemu dan saling serang sendiri. Ini merupakan ilmu menyimpan dan menyalurkan hawa sakti dari luar, sebuah ilmu yang teramat tinggi dan jarang ada orang mampu melakukannya. Dengan penyaluran itu, Toa Ok tertangkis oleh tenaga Ji Ok sebaliknya Ji Ok tertangkis oleh tenaga Ji ok yang mengakibatkan keduanya roboh terluka!

Kedua orang datuk itu bukanlah orang-orang bodoh yang nekat. Mereka maklum bahwa mereka telah terluka dalam dan kalah. Mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang luar biasa saktinya. Sejenak mereka bangkit dan duduk bersila untuk mengatur pernapasan mengambil hawa murni untuk melindungi jantung mereka. Kemudian keduanya bangkit berdiri. Ada sedikit darah kelihatan di ujung bibir mereka.

“Siapakah engkau yang telah berani mencampuri urusan kami?” tanya Toa Ok dengan suara mengandung penasaran sekali.

“Siancai…….!” Kakek itu berseru sambil tersenyum. “Kiranya yang berjuluk Toa Ok dan Ji Ok bahkan lebih kejam daripada namanya! Aku yang bertapa di Pulau Teratai Merah belum pernah bertemu dengan orang yang sekejam kalian berdua!”

Berkata demikian kakek itu memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang di tempat itu, lalu kepada Si Kong yang sudah bangkit berdiri. Dua orang datuk ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek ini adalah pertapa di Pulau Teratai Merah. Mereka sudah pernah mendengar tentang seorang pertapa yang sakti sekali, seorang yang puluhan tahun yang lalu namanya terkenal dan di takuti oleh seluruh tokoh kang-ouw, terutama kaum sesat amat takut mendengar nama itu.

Puluhan tahun yang lalu di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang demikian gigih memberantas kaum sesat tanpa ampun sehingga dia dijuluki orang Pendekar Sadis! Pendekar Sadis inilah yang kemudian setelah tua mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah di Laut Selatan. Dan kini, tanpa disangka sama sekali, pertapa itu agaknya meninggalkan Pulau Teratai Merah dan kebetulan bertemu dengan Toa Ok dan Ji Ok, sepasang Raja Iblis yang merupakan orang-orang paling kejam di antara semua tokoh sesat.

“Pendekar Sadis……..!”

Toa Ok dan Ji Ok berseru dengan suara berbareng kemudian tanpa berkata apa-apa lagi kedua orang itu melompat jauh dan pergi dari situ dengan hati jerih!

Kakek itu memang benar Pendekas Sadis yang bernama Ceng Thian Sin. Akan tetapi dia kini telah menjadi seorang kakek tua renta yang usianya sudah mencapai hampir seratus tahun! Belasan tahun yang lalu kakek ini tinggal di Pulau Teratai Merah bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang sukar dicari tandingannya.

Ketika isterinya yang bernama Toan Kim Hong dan yang pernah menjadi datuk selatan dengan julukan Lam Sin itu meninggal dunia dalam usia delapanpuluh tahun lebih, kakek CengThian Sin hidup seorang diri di pulau itu sebagai seorang pertapa. Dia sama sekali tidak mencampuri urusan dunia, bahkan lama sebelum itu, dia sudah hidup berdua dengan isterinya hidup dengan tenteram penuh kedamaian di pulau itu.

Si Kong terheran-heran melihat kakek tua renta itu. Dia memandang pernuh perhatian. Seorang kakek yang jangkung kurus, rambut jenggot dan kumisnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya masih nampak sehat kemerahan seperti orang muda. Alisnya yang tebal juga sudah putih semua dan pakaiannya amat sederhana namun bersih, dari kain kuning dan putih.

Dia tadi melihat betapa kakek itu menahan kedua tangan Toa Ok dan Ji Ok, kemudian melihat kedua orang datuk sesat itu roboh terjengkan seperti ditolak tenaga yang kuat sekali. Melihat itu saja maklumlah Si Kong bahwa yang menyelamatkan nyawanya adalah seorang kakek yang amat sakti. Dia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu dan memberi hormat berulang kali.

“Saya Si Kong yang bodoh merasa bersyukur sekali bahwa lo-cian-pwe telah menyelamatkan nyawa saya dari tangan maut Toa Ok dan Ji Ok. Kalau tidak ada lo-cian-pwe tentulah sekarang saya telah menjadi mayat. Banyak terima kasih saya haturkan kepada lo-cian-pwe.”

Kakek itu mengelus jenggot putihnya yang panjang.
“Siancai……! Kau tahu apa tentang tolong menolong, hutang dan balas budi, hutang atau balas dendam?” Kemudian Ceng Thian Sin berdongak kelangit dan mulutnya membaca sajak!

“Begitu semua orang mengenal keindahan
dengan sendirinya muncul kejelekan,
Begitu semua orang tahu apa itu kebaikan
mereka pun tahu apa itu kejahatan…..
Karena itu
ada dan tiada saling melahirkan
sukar dan mudah saling melengkapi
panjang dan pendek saling mewujudkan
tinggi atau rendah saling bersandar
bunyi dan suara saling mengimbangi
dahulu dan kemudian saling menyusul……”

Mendengar ini, saking tertariknya karena dia mengenal sajak itu, ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menarik napas, Si Kong sudah melanjutkan sajak itu.

“Itulah sebabnya orang sudi
bekerja tanpa bertindak
mengejar tanpa berkata.
Maka segala benda berkembang
tanpa dia mendorongnya
tunbuh tanpa dia mau memilikinya
berbuat tanpa dia menjadi sandarannya.
walaupun berjasa dia tidak menuntut,
justeru karena tidak menuntut,
maka tidak akan musnah.”

“Siancai………..! engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng! Bagus seklai, akan tetapi mengertikah engkau akan inti sari pelajaran dalam ujar-ujar kuno itu?”

“Maafkan saya, locianpwe. Kalau tidak salah, ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk melakukan segala sesuatu tanpa pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri pribadi karena perbuatan apapun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka perbuatan itu tidaklah timbul dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai sebagai alat untuk mencapai kesenangan diri sendiri. Benarkah demikian, lo-cianpwe?”

“Ha-ha-ha, engkau seorang bocah yang cerdik dan pemberani. Kulihat bahkan engkau tadi berani melawan Toa Ok dan Ji Ok dengan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung! Dan gerakanmu demikian gesit. Tentu engkau pernah mempelajari Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun!”

Si Kong merasa kagum dan tunduk sekali. Dia memberi hormat lagi sambil berlutut.
“Apa yang lo-cian-pwe katakan semuanya benar. Saya yang bodoh mohon petunjuk lo-cian-pwe.”

“Aku pernah mendengar bahwa ilmu tongkat yang menjadi ilmu tertinggi dari para pengemis, dimiliki oleh Lok-sian Lo-kai, yaitu ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung. Sedangkan Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun dikuasai oleh si penyair gila Kwa Siucai. Apa hubunganmu dengan kedua orang itu?”

“Mereka beruda adalah guru-guru saya, lo-cian-pwe.”

Kata Si Kong yang menjadi lebih kagum lagi. Kakek tua renta ini agaknya mengetahui segalanya.

“Pantas engkau mengenal To-tek-keng.” Kakek itu kembali melayangkan pandang matanya kepada sembilanbelas buah mayat yang malang melintang di tempat itu. “Siapa yang membunuh mereka?” tanyanya.

“Dua orang kakek tadi, lo-cian-pwe.”

“Ceritakan dari semula semua yang terjadi disini.”

“Secara kebetulan saya mendaki bukit ini karena mendengar dari orang-orang dusun di lain bukit bahwa bukit ini diberi nama Bukit Iblis. Saya merasa tertarik mengapa bukit ini disebut demikian karena saya sendiri tidak percaya adanya iblis.”

“Siancai……..! Jangan bilang tidak percaya karena sesungguhnya iblis itu ada. Hanya keadaannya tidak terlihat mata, dan pekerjaan iblis itu menggoda manusia. Dua orang tadi melakukan kekejaman seperti itu, kau kira karena apa? Karena iblis yang masuk ke dalam batin mereka. Lanjutkan ceritamu.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar