Ads

Sabtu, 03 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 49

Hui lan melangkah pergi. Ia merasa tidak enak sekali karena hatinya tertarik kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, kelihatan hanya seperti sasterawan lemah akan tetapi ilmu silatnya tinggi, bicaranya sopan dan lembut, selalu merendahkan diri, ingin ia menengok kembali, akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Tidak baik mudah tertarik kepada seorang pria yang belum di kenalnya sama sekali.

Ibunya pernah menasihatinya agar waspada terhadap pria, terutama sekali pria yang kelihatan tampan gagah. Jangan mudah percaya sebelum mengenal benar orang macam apa pemuda itu. Hatinya menjadi tenang kembali dan ia tidak ingin menengok lagi.

Ia pernah mendengar dari ibunya bahwa dunia kangouw sedang di gemparkan oleh perebutan sepasang pedang pusaka yang bernama Pek-Lui-Kiam (pedang halilintar).

“Buka mata dan telingamu,” kata ayahnya pula, “siapa tahu engkau bertemu dengan orang yang menguasai pedang itu. Kalau dia seorang pendekar yang baik. jangan kau ganggu bahkan bela dia, akan tetapi kalau pedang pusaka berada ditangan golongan sesat, engkau boleh mencoba untuk merampasnya.”

“Akan tetapi, pedang pusaka Pek-lui-kiam itu sebenarnya milik siapakah, ayah dan ibu?”

“Kabar yang kami peroleh seperti dongeng saja, Hui Lan. Kabar itu mengatakan bahwa pedang itu dibuat oleh seorang sakti yang di sebut Pek-sim lo-si-an (dewa tua berhati putih) dan tentu saja menjadi miliknya. Akan tetapi pada suatu hari pedang itu dicuri orang sampai puluhan tahun tidak ada beritanya tentang pedang pusaka itu sampai akhir-akhir ini tersiar berita bahwa pedang terjatuh ketangan seorang pendekar bernama Tan Tion Bu yang tinggal di sia-lin. Akan tetapi belum lama ini Tan Tion Bu itu terbunuh orang bersama isterinya dan pedang pusaka itupun lenyap dari rumahnya. Kemungkinan besar dicuri oleh pembunuh itu.”

“Dan pembunuh itu siapakah?”

“Tidak ada seorangpun yang mengetahui. Hanya kabarnya pembunuh itu selalu memakai pakaian serba merah, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berpakaian merah.”

Kata ibunya. Ibunya dapat memperoleh keterangan ini setelah mengutus murid-murid Cin-ling-pai untuk menyelidiki ke Sia-lin.

“Aku teringat akan seorang datuk yang suka berpakaian merah, akan tetapi entah dia atau bukan yang telah membunuh Tan Tiong Bu dan mencuri pedang pusaka itu,” kata Tang Hay. “Dia berjuluk Ang I Sianjin dan menjadi ketua kwi jiauw pang di kwi-liong-san. Kabarnya dia lihai sekali dan menjagoi di dunia barat.

“Akan tetapi engkau tidak perlu menyelidiki ke kwi-liong-san, Hui Lan,” kata ibunya. “Kami tidak bermusuhan dengan kwi-jiauw-pang dan jangan sampai ada kesalah pahaman diantara kita dan mereka. Belum tentu berita itu benar adanya. Kalau ternyata bukan dia pencurinya lalu engkau membuat geger disana, sungguh tidak enak bagi Cin-ling-pai.”

“Baiklah, ibu. Aku akan menaati nasihatmu.” Demikian Hui Lan berkata.

Ketika Hui Lan berjalan-jalan di kota liok-bun itu, ia terkenang kembali akan nasihat ayah ibunya itu. Tidak. Ia tidak akan mencari gara-gara keributan. Tadipun untung ada pemuda bernama Coa Leng Kun itu turun tangan sendiri memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu sehingga tidak ada permusuhan antara ia dan orang-orang itu.

Hari telah menjadi senja ketika Hui Lan pulang kerumah penginapan. Sampai ia makan malam di rumah makan bagian depan rumah penginapan itu tidak terjadi sesuatu yang menimpa dirinya.

Malam hari itu, ketika ia sedang tidur, ia mendengar suara perlahan di jendela kamar itu,. Karena kamarnya gelap, lilin sudah ia padamkan dan diluar terdapat penerangan lampu, ia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang diluar kamarnya. Hui Lan mengerutkan alisnya. Bayangan itu tentu bukan bayangan pelayan rumah penginapan karena berkelebat cepat.

Akan tetapi ia tidak bangkit, terus berbaring sambil mengamati kearah jendela dengan waspada. Kembali ia melihat bayangan itu berkelebat, kini bayangan itu berhenti di depan jendela kamarnya dan jendela itu terdengar berkeresekan. Agaknya bayangan itu berusaha membuka jendela dari luar. Hui Lan bangkit duduk tanpa mengeluarkan suara dan menanti dengan tenang. Maling ini mencari penyakit, pikirnya.

Mendadak terdengar keributan di luar jendelanya dan terlihat bayangan dua orang berkelahi di luar kamarnya. Ia cepat meloncat turun dari pembaringan, meyambar pedangnya dan membuka daun pintu. Benar saja di sebelah kamarnya, di bagian luar jendela terdapat dua orang yang berkelahi. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang memakai penutup muka dari hidung kebawah, berpakaian serba hitam dan yang seorang lagi bukan lain adalah pemuda berpakaian serba puith yang siang tadi membantunya, Coa Leng Kun!






Hui Lan mengerutkan alisnya. Agaknya pemuda itu kembali membantunya dan menyerang maling yang hendak mencokel jendelanya dan sekarang mereka bertanding dengan serunya. Bayangan hitam tadi tentulah orang bertopeng yang berpakaian serba hitam tadi. Dia menggunakan sebatang golok yang besar dan berat, sedangkan Coa Leng Kun menandinginya dengan sebatang suling.

Gerakan maling itu cukup cepat dan bertenaga besar, akan tetapi Hui Lan melihat bahwa maling itu bukan lawan pemuda yang lihai itu. Leng Kun seolah mempermainkan maling itu. Suara gaduh perkelahian itu membuat para tamu dirumah penginapan itu terbangun dan banyak jendela dan pintu di buka dari dalam. Juga para pelayan penjaga hotel berlarian mendatangi tempat itu.

Maling yang sudah kewalahan melihat hal ini menjadi semakin jerih. Dia membentak dan menggerakkan tangan kirinya. Sebatang piauw (senjata rahasia runcing) meluncur kearah Leng Kun. Dan sebatang lagi meluncur kearah Hui Lan.

Gadis itu dengan tenang menangkap piauw itu dengan tangan kirinya, menjepit antara dua jari tangan, sedangkan Leng kun juga mengelak sehingga senjata rahasia itu jatuh keatas genteng mengeluarkan bunyi berkerontang. Maling itu menggunakan kesempatan ini untuk meloncat dan melarikan diri.

Leng Kun tidak mengejar, demikian pula Hui Lan yang kini memandang pemuda itu dengan alis berkerut.

“Selamat malam, Tang-siochia,” katanya memberi hormat. “sayang saya tidak dapat menangkap maling itu.”

“Sobat Coa, aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu.”

Kata Hui Lan agak marah karena pemuda ini selalu melindunginya, padahal ia tidak membutuhkan perlindungan dan bantuan itu. Kalau hanya menghadapi para pemuda berandalan yang siang tadi mengganggunya atau maling yang berusaha membuka jendelanya, ia masih sanggup.

“Maaf, nona. Saya tidak tahu bahwa nona yang tinggal di kamar ini, bahkan tidak tahu bahwa nona menginap didalam rumah penginapan ini.” Leng Kun memberi hormat lagi dengan senyum ramah.

Hui Lan tidak mengatakan sesuatu dan kembali memasuki kamarnya dan mnenutup pintu kamarnya. Leng Kun di hujani pertanyaan oleh para tamu dan petugas rumah penginapan.

“Tidak perlu ribut-ribut,” kata Leng Kun dan suaranya cukup nyaring sehingga terdengar oleh Hui Lan. “Aku mendengar gerakan orang diluar kamarku, aku keluar dan membayanginya. Ternyata dia berusaha mencokel jendela kamar ini, maka aku menegurnya dan kami berkelahi.” Setelah berkata demikian Leng Kun juga kembali ke kamarnya.

Orang-orang itu bubaran dan para tamu menutupkan jendela dan kamar rapat-rapat karena takut di datangi penjahat.

Hui lan sudah rebah kembali keatas pembaringannya. Akkan tetapi ia sukar jatuh pulas. Bayangan pemuda pakaian putih itu selalu terbayang di depan matanya. Ia mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Apakah ia tadi tidak bersikap keterlaluan kepada Coa Leng Kun? Pemuda itu tidak tahu bahwa ia bermalam disitu dan bantuannya tadi hanya kebetulan saja.

Sebagai seorang pendekar, Leng Kun tentu saja turun tangan melihat ada maling hendak mencongkel jendela kamar. Ia tidak berterima kasih malah mengatakan tidak butuh bantuan! Apakah sikapnya itu sudah benar? Ia merasa menyesal, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia mengambil piauw yang tadi di tangkapnya dari maling itu. Sebatang piauw biasa saja, tidak mengandung racun. Ia melemparnya kembali keatas meja. Setidaknya sikapnya itu menunjukkan kepada Coa Leng Kun bahwa ia bukan gadis yang lemah tak berdaya dan membutuhkan bantuannya! Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega dan akhirnya ia dapat tidur pulas.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Lan sudah membayar sewa kamar lalu meninggalkan rumah penginapan itu. Ia hendak berangkat pagi-pagi menuju kota Pao-ting dimana pamannya Cia Kui Bu, tinggal. Pamannya itu masih muda, berusia kurang lebih tigapuluh dua tahun. Sebetulnya dia adalah paman tirinya, karena pamannya itu adik tiri ibunya. Akan tetapi paman tirinya itu telah dianggap sebagai putera sendiri oleh neneknya, maka hubungan mereka akrab sekali.

Bahkan pamannya juga menerima pelajaran silat dari neneknya sehingga dia menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Cia Kui Bu tinggal di Pao-ting dan membuka sebuah perusahaan pengantar dan pengawal barang-barang kiriman yang berharga. Akan tetapi sampai berusia tiga puluh dua tahun, Cia Kui Bu belum juga menikah. Padahal perusahaannya maju pesat. Barang berharga yang di kawal perusahaannya semakin banyak saja. Para pedagang amat mempercayainya karena selama bertahun-tahun membuka piauw-kiok (perusahaan pengawal) belum ada barang yang diganggu penjahat.

Gangguan mula-mula memang ada. Ada perampok-perampok yang berusaha mengganggu dan merampas barang kiriman itu. Akan tetapi selalu para perampok itu dapat dipukul mundur oleh Cia Kui Bu sehingga nama piauw-kiok itu terkenal dan ditakuti penjahat. Setiap orang penjahat yang melihat bendera dengan gambar naga hijau diatas kereta bermuatkan barang-barang berharga, semua tidak berani mengusiknya. Perusahaan itu memakai nama Ceng-liong Pauw-kiok (Perusahaan pengawal naga Hijau), bahkan Cia Kui Bu yang suka memakai pakaian serba hijau itu di juluki Ceng-liong (Naga Hijau) oleh para perampok.

Untuk mempercepat perjalanannya ke pao-ting, Hui Lan membeli seekor kuda dan melanjutakan perjalanannya dengan menunggang kuda. Sejak kecil ia sudah belajar menunggang kuda sehingga perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat.

Beberapa hari kemudian ia memasuki kota pau-ting. Kota ini cukup besar dan ramai karena letaknya tidak jauh dari kota raja, disebelah selatan kota raja. Dan mudah sekali baginya untuk mencari Ceng-liong Piauw-kiok. Semua orang di Pao-ting mengetahui dimana adanya piauwkiok itu. Hui Lan belum pernah datang kekota ini. Biasanya Cia kui Bu yang datang berkunjung ke Cin-ling-san.

Melihat rumah besar yang menjadi pusat perusahaan pamannya itu, Hui Lan menjadi kagum sekali. Agaknya perusahaan pamannya itu telah maju dengan pesatnya. Didepan pintu gerbang terdapat gambar naga hijau yang besar dan tulisan huruf-huruf besar berbunyi

“Ceng Liong Piauwkiok” dan dipintu gerbang duduk beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar dan gagah.

Hui Lan melompat turun dari kudanya, menuntun kuda itu menghampiri pintu gerbang. Melihat seorang gadis cantik yang membawa pedang dipunggung menghampiri pintu gerbang, lima orang piauwsu (pengawal barang) itu bangkit berdiri dan menghadang di depan pintu.

“Nona siapakah dan ada keperluan apakah datang ke piauwkiok kami? Apakah nona hendak mengirim barang?” tanya seorang diantara mereka.

“Aku datang untuk bertemu dengan paman Cia Kui Bu. Dia adalah pamanku.” Jawab Hui Lan singkat.

Akan tetapi kelima orang itu mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak percaya. Hal ini tidak aneh. Mereka belum pernah bertemu dengan Hui Lan. Tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang mengaku keponakan majikan mereka, tentu saja mereka menjadi curiga.

“Nona, majikan kami sedang berada dalaam keadaan yang tidak memungkinkan dia menemui nona. Maka, katakan siapa nona dan ada keperluan apa. Kami adalah pembantunya dan kami dapat mewakili majikan kami untuk mewakili keperluan nona.”

Hui Lan mengerutkan alisnya.
“Sudah kukatakan bahwa dia adalah pamanku, adik ibuku, dan kalian masih belum percaya. Panggil paman Cia Kui Bu keluar agar bertemu dengan aku!”

“Maaf, nona. Kami belum pernah melihat nona dan kami tidak pernah mendengar bahwa majikan kami mempunyai seorang keponakan seperti nona. Karena itu, beritahukan nama nona dan kami akan melaporkan kedalam.”

“Tidak, panggil saja dia keluar!”

“Kami tidak dapat memenuhi permintaan nona.”

“Kalau begitu baiklah, aku yang akan masuk kedalam dan mencarinya sendiri!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar