Ads

Sabtu, 03 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 48

Selagi ia menanti datangnya masakan, ia mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi di meja belakangnya. Dari percakapan itu ia dapat mengetahui bahwa di meja sebelah belakangnya terdapat empat orang pria yang sedang bercakap-cakap. Semula ia tidak menghiraukan percakapan mereka, akan tetapi ketika percakapan itu menyinggung dirinya, mau tidak mau ia memperhatikan juga.

“Hati-hati, kawan. Jangan-jangan ia seorang pendekar wanita yang lihai!”

“Aih, takut apa? Paling-paling ia mengerti satu dua jurus ilmu pedang. Kita berempat takut apa?”

“Benar, agaknya ia bukan orang sini. Kalau dapat dibujuknya alangkah senangnya.”

“Aku juga sudah muak dengan perempuan-perempuan lacur itu. Kalau yang ini boleh sekali!”

Merah kedua pipi Hui Lan. Mereka itu membicarakannya secara kurang ajar sekali. Ia melihat di depannya ada beberapa pasang sumpit. Diambilnya dua batang sumpit dengan tangan kanannya dan disambitkan sumpit itu melalui pundak kirinya ke arah belakang.

“Cap! Cap!” sepasang sumpit itu menancap di atas meja empat orang itu, menancap sampai kegagangnya!

Meja itu terbuat dari kayu yang tebal dan keras namun sumpit bambu itu dapat menancap setengahnya lebih.Apalagi kalau mengenai tubuh mereka. Kulit tubuh tentu akan dapat ditembusi oleh sumpit-sumpit itu.

Dengan mata terbelalak, empat orang itu memandang ke arah sepasang sumpit, lalu menoleh ke arah Hui Lan. Akan tetapi Hui Lan duduk dengan tenang saja seolah tidak mengetahui apa yang telah terjadi di meja belakangnya. Empat orang itu hanyalah pemuda-pemuda berandalan anak orang-orang kaya yang biasanya memaksa orang lain untuk memenuhi kehendak mereka. Mereka juga pernah mempelajari ilmu silat. Akan tetapi apa yang mereka lihat sudah cukup untuk melenyapkan nyali mereka.

Mereka berempat lalu meninggalkan meja mereka yang masih kosong karena pesanan mereka adalah makanan-makanan istimewa yang agak lama dibuatnya. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka terguling satu demi satu karena kaki mereka ada yang mengganjal.

Ketika mereka melihat, ternyata yang memalangkan kakinya itu adalah seorang pemuda yang berpakaian serba putih seperti seorang terpelajar. Wajah pemuda itu tampan sekali dan mulutnya tersenyum sinis, matanya melirik ke arah para pemuda tadi. Karena memang hati mereka sudah gentar setelah ada sepasang sumpit menancap di meja mereka, empat orang pemuda itu tanpa banyak cakap lagi lalu bangkit dan berlari keluar rumah makan.

Hui Lan hanya mendengar empat orang yang hendak mengganggunya tadi berpelantingan, akan tetapi tidak tahu apa yang telah terjadi dan iapun tidak ingin menengok. Setelah peristiwa itu ia merasa tidak tenang kalau duduk menghadapi tembok, khawatir kalau-kalau ada orang yang akan menyerangnya. Maka Hui Lan lalu pindah duduk di atas bangku yang dekat dinding sehingga ia dapat melihat para tamu.

Agaknya tidak ada yang melihat ketika ia menyambitkan sepasang sumpit itu kepada empat orang pemuda karena seluruh mata para tamu tidak ditujukan kepadanya melainkan kepada seorang pemuda yang berpakaian serba putih bersih itu. Ia dapat menduga bahwa tentu empat orang yang berpelantingan itu dihajar oleh pemuda tampan ini. Biarpun pakaiannya seperti seorang terpelajar yang lemah, namun sinar matanya yang mencorong dan sebatang sulingnya yang diletakkan di atas meja bercerita banyak bagi Hui Lan.

Ketika pemuda yang tersenyum-senyum itu mengangkat muka memandangnya, dua pasang sinar mata bertemu dan Hui Lan cepat membuang muka ketika pemuda itu menganggukan sedikit kepalanya.

Hidangan untuknya datang dan Hui Lan merasa tidak enak kalau makan ditonton orang, terutama pemuda berpakaian serba putih itu, maka ia pindah duduk lagi seperti tadi, menghadap dinding. Melihat ini, pemuda berpakaian serba putih itu memperlebar senyumnya. Dia tahu mengapa Hui Lan pindah duduk, maka dia merasa geli.

Setelah makan, Hui Lan membayar harga makanan dan iapun keluar dari rumah makan itu. Dilihatnya bahwa pemuda berpakaian putih yang tadi duduk di belakangnya sudah tidak berada disitu lagi. Ia tidak mengacuhkan pandang mata para tamu dan cepat keluar dari situ, membawa payungnya.

Buntalan uang berada di pinggang dan pedangnya berada di punggungnya. Ia ingin berjalan-jalan melihat keadaan kota Liok-bun. Baru setelah itu ia akan kembali ke rumah penginapan itu beristirahat.

Akan tetapi belum jauh ia meninggalkan rumah makan itu, di depannya telah menghadang kurang lebih sepuluh orang laki-laki dan melihat bahwa empat orang diantara mereka menuding-nuding kepadanya, ia dapat menduga bahwa agaknya empat orang itulah yang tadi di rumah makan hendak menggodanya.






Hui Lan melangkah terus dengan sikap tenang sekali. Ia dapat menduga bahwa agaknya orang-orang itu hendak membalas kepadanya karena ia telah mengusir empat orang pemuda kurang ajar itu. Orang-orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya. Ayah ibu menasihatkan agar ia tidak mencari permusuhan dalam perjalanannya, akan tetapi kalau ia di ganggu tentu ia tidak akan tinggal diam dan akan memberi hajaran keras kepada orang-orang yang menghadangnya itu.

Dari kelompok itu majulah seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kekar, mukanya kehitaman dan wajah itu nampak bengis sekali.

“Hemm, jadi nona ini yang berani menghina empat orang muridku?” tanyanya kepada para murid itu dan mengertilah Hui Lan bahwa orang ini adalah guru silat dari empat orang yang tadi mengganggunya.

Akan tetapi sebelum Hui Lan tiba di depan dekat mereka, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di depan rombongan orang itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sambil tersenyum-senyum. Hui Lan segera mengenalnya sebagai pemuda yang duduk di rumah makan, tidak jauh dari tempat ia duduk. Karena pemuda itu sudah mendahuluinya menghadapi rombongan orang itu, maka iapun berhenti menonton saja.

Empat orang pemuda segera menuding kepada pemuda berpakaian putih itu dan berkata,

“Inilah pemuda yang mengganjal kaki kami sehingga kami terjatuh!”

Si muka hitam memandang kepada pemuda berpakaian putih itu dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tangan kirinya menuding ke arah muka pemuda itu dan tangannya bertolak pinggang ketika dia menghardik,

“Bocah kurang ajar! Berani engkau main-main dan menjatuhkan empat orang murid kami? Hayo cepat berlutut minta ampun atau nyawamu akan melayang!”

Pemuda itu tersenyum mengejek.
“Hemm, kiranya engkaukah guru empat orang berandalan itu? Kebetulan sekali, karena engkau gurunya, engkau sepatutnya mengajarkan sopan santun kepada mereka. Sekarang, engkau dan empat orang muridmu itu harus berlutut minta ampun kepada nona itu.” Dia menunjuk kepada Hui Lan yang berdiri di belakangnya.

Si muka hitam makin melotot. Dia mengancam pemuda itu agar berlutut, sebaliknya pemuda itu minta agar dia dan murid-muridnya berlutut minta ampun!

“Keparat!” bentaknya. “Engkau belum mengenal aku, Si Harimau Bermuka Hitam!”

Berkata demikian, dia sudah menerjang maju dan memukul ke arah pemuda baju putih itu. Pemuda ini cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong dan sebelum si muka hitam dapat bergerak lebih lanjut, kakinya menendang dua kali ke arah lutut guru silat itu. Tak dapat dihindarkan lagi, dua lutut yang tertendang itu kehilangan kekuatannya dan Si Harimau Bermuka Hitam itu jatuh menekuk lututnya di depan pemuda baju putih.

“He, bukan kepadaku engkau harus berlutut, akan tetapi kepada nona itu!”

Si Muka Hitam menjadi marah bukan main. Dia telah dihina di depan banyak orang, terutama di depan murid-muridnya. Dia merasa malu bukan main karenanya dia menjadi marah. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dengan suara mengaum seperti seekor harimau, dia lalu menyerang dengan goloknya! Membabi buta dia menyerang, namun pemuda itu gesit bukan main. Selalu mengelak diantara sambaran golok dan kadang malah menangkis dengan kedua tangannya!

Tangan telanjang itu berani menangkis golok yang demikian tajam dan berat, maka dapat diketahui bahwa tenaga itu memiliki sinkang yang kuat sekali, yang membuat kedua tangannya kebal terhadap senjata tajam!

Diam-diam Hui Lan memperhatikan gerakan pemuda itu. Seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, pikirnya, akan merupakan lawan tangguh baginya kalau sampai pemuda itu dan ia bertanding.

Tiba-tiba Hui Lan terbelalak kagum.Pemuda itu membuat gerakan memutar tubuhnya seperti angin taufan yang melanda ke arah si muka hitam. Golok itu terpental dan tubuh si muka hitam terlempar ke belakang menimpa para muridnya. Sepuluh orang muridnya menjadi penasaran dan marah. Serentak mereka mencabut golok masing-masing dan menyerbu pemuda itu, menyerang dari segala jurusan. Akan tetapi Hui Lan hanya melihat pemuda itu membuat gerakan memutar dengan tubuhnya dan satu demi satu sepuluh orang murid si muka hitam itu terpelanting dan golok mereka terlepas dari tangan mereka! Semua itu terjadi hanya beberapa menit saja.

Si muka hitam dan sepuluh orang muridnya merangkak bangkit sambil mengaduh-aduh karena mereka semua menderita luka parah

“Jahanam busuk! Apakah kalian masih ingin mengganggu wanita lagi?” bentak pemuda baju putih itu.

Tanpa menjawab lagi si muka hitam bersama-sama muridnya meninggalkan tempat itu. Mereka seperti sekumpulan anjing ketakutan yang pergi dengan mengempit ekor diantara kedua kaki belakang mereka!

Pemuda baju putih itu membalikkan tubuhnya, menghadapi hui lan dan dia mengangkat
kedua tangannya depan dada sambil berkata .

“Nona, menghadapi berandalan macam itu harus menggunakan tangan besi.”

Hui lan membalas penghormatan itu dan berkata,
“terima kasih atas bantuanmu.”

“Aih, nona. Perlu apa berterima kasih? Aku dapat menduga bahwa tanpa aku turun tangan sekalipun tentu nona akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat membiarkan seorang gadis seperti nona menghadapi pengeroyokan segerombolan anjing itu? Nona, perkenalkan, nama saya Coa Leng Kun berasal dari pegunungan Lam-san di selatan. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah nona dan kemana nona hendak pergi?”

Sikap dan ucapan pemuda baju putih yang mengaku bernama Coa Leng kun itu demikian sopan dan halus sehingga Hui Lan tidak merasa keberatan untuk melayani bicara.

“Namaku Tang Hui Lan dan aku tinggal di Cing-ling-pai.Aku ingin pergi ke Pao-ting.”

Coa Leng kun melebarkan matanya dan wajahnya berseri.
“Dari cin-ling-pai? Ah, kalau begitu nona tentu murid Cin-Ling-pai yang terkenal sekali di dunia persilatan itu. Aku mendengar bahwa ketua Cin-Ling-Pai seorang wanita sakti yang berilmu tinggi. Apakah nona muridnya?”

Hui Lan tersenyum, bangga karena ibunya demikian terkenal sehingga pemuda ini pernah mendengar ketenaran ibunya.
“Ketua Cin-ling-pai adalah ibuku.”

“Ah, maaf…. maaf….., nona. Aku telah bersikap kurang hormat karena tidak mengerti!” dia menjura kembali dengan tubuh membungkuk sebagai tanda menghormat.

“Sudahlah jangan terlalu merendah,” kata Hui Lan sambil membalas penghormatan itu. “aku melihat ilmu silatmu juga hebat bukan main, tentu engkau murid orang sakti.”

“Gururku adalah ayahku yang sudah meninggal dunia,” kata Coa Leng Kun dengan suara mengandung kedukaan. “dan kepandaian silatku tidak ada artinya bila dibandingkan dengan kepandaianmu, nona.”

Hui lan merasa tidak enak untuk bercakap-cakap lebih lama lagi dengan pemuda yang baru saja di jumpainya. Ia lalu berkata dengan tegas.

“Sudahlah aku hendak melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu.”

Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya melihat-lihat kota Liok-bun yang ramai. Apalagi mereka berdua menjadi pusat perhatian orang karena perkelahian tadi. Melihat sikap tegas gadis itu, Leng Kun juga tidak membantah dan dia memberi hormat lagi.

“Selamat berpisah nona Hui lan.” Katanya dengan nada suara gembira.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar