Ads

Sabtu, 03 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 47

Siang itu panas bukan main. Sinar matahari seakan membakar dan menyengat kulit. Untuk melindungi kulit dari sengatan matahari, orang-orang banyak yang memakai caping lebar atau payung. Kota Liok-bun yang biasanya ramai karena kota itu merupakan pusat perdagangan pada siang hari itu nampak sepi. Orang-orang segan keluar menjadi korban panas terik yang membakar.

Kota Liok-bun terletak dekat sungai Li-kiang, sebuah sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Sungai itu menjadi sangat penting karena dijadikan lalu-lintas perahu-perahu para pedagang. Banyak pedagang dari luar kota datang ke kota ini untuk membeli atau menjual barang.

Diantara sekian banyaknya orang yang memakai perlindungan caping atau payung, terdapat seorang gadis yang memakai payung melindungi mukanya agar jangan dibakar sinar matahari. Gadis itu berusia kurang lebih sembilanbelas tahun dan pakaiannya serba merah muda. Wajahnya cantik sekali, dengan kulit putih mulus dan karena hawanya amat panas, kedua pipinya menjadi kemerahan tanpa bedak dan gincu. Terutama sekali sepasang matanya, amat menarik perhatian karena mata itu amat indah dan sinarnya mencorong. Juga mulutnya membuat wajah itu nampak cerah dan manis bukan main.

Para pria yang berpapasan dengan gadis itu pasti menengok beberapa kali untuk memandang gadis yang manis dan jelita itu. Dipandang dari belakangpun sudah menarik perhatian karena bentuk tubuhnya yang sempurna. Akan tetapi kalau orang melihat sepasang pedang yang berada di punggungnya, maka orang itu akan mudah menduga bahwa gadis ini bukanlah gadis biasa saja, melainkan seorang pendekar wanita yang mahir bermain ilmu pedang.

Tidak ada seorangpun di dalam kota Liok-bun itu yang mengenalnya. Kalau ada yang mengenal puteri siapa yang berjalan seorang diri itu, mereka tentu terkejut dan gentar. Gadis ini adalah Tang Hui Lan. Ayahnya adalah seorang pendekar silat yang pernah menggetarkan dunia kangouw, bernama Tang Hay dan ibunya juga seorang pendekar terkenal bernama Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai.

Seperti pernah diceritakan dalam kisah ini, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan, berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan mereka tepat namun agak terlambat karena Ceng Lojin, guru Si Kong yang terakhir, terluka parah setelah memukul mundur para datuk yang menantangnya. Kemudian Ceng Lojin tewas, dan mereka bertiga membantu Si Kong mengubur jenazah Ceng Lojin dipulau itu. Kematian yang amat menyedihkan karena tidak ada seorangpun tamu yang datang melayat.

Beberapa hari setelah pemakaman,Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan kembali ke Cin-ling-pai pulang dari Pulau Teratai merah, Hui Lan banyak termenung. Ia tidak mau menerima begitu saja kematian Ceng Lojin, kakek buyutnya. Walaupun kakek buyutnya itu wafat dalam usia seratus tahun lebih, ia tetap merasa penasaran karena kematian itu dapat dibilang menjadi akibat dari perlawanannya para datuk yang menantangnya. Kalau para datuk itu tidak datang menantang, belum tentu kalau kakek buyutnya tewas.

Kecantikan gadis ini menarik perhatian orang, terutama para pria. Tidak ada yang tidak menengok kembali setelah berpapasan dengan gadis ini. Hui Lann tidak memperhatikan atau memperdulikan ulah para pria itu. Ia sudah terbiasa melihat mata para pria menatapnya dengan mata kagum, bahkan ada juga yang bersikap kurang ajar kepadanya.

Ketika ia menyatakan keinginan hatinya untuk merantau, ayahnya berkata sambil memandang puterinya penuh perhatian,

“Apakah kepergianmu ada hubungannya dengan kematian kakek buyutmu di Pulau Teratai Merah?”

Hui Lan menggeleng kepalanya.
“Tidak, ayah. Aku hanya ingin merantau untuk mendapatkan pengalaman dan menambah pengetahuanku tentang dunia persilatan.”

Ibunya Cia Kui Hong berkata.
“Nasihat kami kepadamu dahulu tidak kosong belaka, Hui Lan. Bu-tek Ngo-sian itu merupakan lawan tangguh kalau mereka berlima maju bersama. Apalagi Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk ini amat kejam dan berbahaya. Lebih baik hindarkan bentrokan dengan mereka.”

“Apakah ayah dan ibu juga akan menghindar dan melarikan diri kalau bertemu dengan mereka didalam perjalanan?” tanya gadis itu sambil memandang tajam kepada ayah ibunya.

Tang Hay dan Cia Kui Hong saling pandang sejenak, kemudia Tang Hay berkata,
“Tentu saja tidak, Hui Lan. Kami akan melawan mereka. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau seorang diri saja bagaimana mungkin dapat menandingi pengeroyokan mereka? Kalau harus melawan satu demi satu, kami tidak mengkhawatirkan dirimu. Akan tetapi mereka itu licik. Buktinya ketika melawan kakek Ceng, mereka melakukan pengeroyokan secara curang. Karena itu, jangan nekat untuk menentang mereka.”

“Ayahmu berkata benar, Hui Lan. Menghindarkan diri dari musuh yan banyak jumlahnya bukan berarti penakut, melainkan suatu tindakan bijaksana. Sebaliknya kalau nekat dan mati konyol adalah perbuatan bodoh. Mengertikah engkau?”






Hui Lan mengangguk.
“Aku mengerti ibu dan aku bersikap hati-hati menjaga diri.”

“Kalau begitu, sebaiknya engkau mengunjungi pamanmu Cia Kui Bu yang tinggal di Pao-ting sebelah selatan kota raja untuk menyampaikan berita tentang kematian kakek buyutmu, juga untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang. Kita sudah terlalu lama berpisah dari pamanmu itu.”

“Baik, ayah. Memang aku ingin berkunjung ke kota raja, aku akan singgah ke rumah Paman Cia Kui Bu.”

Cia Kui Bu adalah adik Cia Kui Hong, satu ayah berlainan ibu. Akan tetapi Ceng Sui Cin sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri, maka Cia Kui Bu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya itu.

“Kalau engkau pergi ke kota raja, sekalian kau singgah ke Tung-ciu, kerumah pamanmu Pek Han Siong dan kirimkan salamku untuk dia sekeluarga.” kata pula Tang Hay.

“Dan jangan lupa kabarkan kepada mereka tentang kematian kakek buyutmu.” Kui Hong menambahkan.

“Baik, ayah dan ibu. Aku pasti tidak melupakan pesan-pesan itu.”

“Sekarang pamitlah kepada kakek dan nenekmu.” kata Kui Hong.

Hui Lan lalu pergi ke ruang dalam.Ia mendapatkan neneknya, Ceng Sui Cin yang sudah berusia enampuluh lima tahun, duduk menyendiri, asyik dengan pekerjaan yang disenanginya, yaitu menyulam.

“Nek……!” kata Hui Lan manja.

Nenek itu mengangkat mukanya, tersenyum memandang cucunya tersayang.
“Ah, engkau Hui Lan. Duduklah. Wajahmu kelihatan demikian berseri, ada berita baik apakah?”

Hui Lan menarik kursi dekat neneknya.
“Memang aku sedang bergembira sekali, nek. Ayah dan ibu mengijinkan aku pergi merantau!”

Nenek itu menunda pekerjaannya, menaruh kain yang disulam ke atas meja lalu memandang kepada cucunya dengan wajah berseri dan merangkul pundak cucunya itu.

“Ah, engkau mengingatkan aku akan masa remajaku dan masa remaja ibumu. Di waktu aku seusiamu sekarang ini, akupun merantau sampai jauh, seorang diri saja, demikian pula ibumu. Apalagi engkau sudah mewarisi ilmu dari ayah ibumu, tentu engkau akan mampu menjaga dirimu sendiri. Aku ikut merasa girang, Hui Lan.”

“Terima kasih, nek. Dimana kakek?”

“Dia sedang bersamadhi dalam kamar belakang. Jangan ganggu dia. Setelah usianya tua, lebih dari tujuhpuluh tahun usianya, dia memang membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan. Akan tetapi aku mempunyai nasihat untukmu, berdasarkan pengalamanku dahulu. Ketahuilah bahwa dunia persilatan itu mempunyai banyak orang yang berilmu tinggi. Kalau mereka semua orang baik-baik, tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi banyak diantara mereka yang lihai-lihai itu menjadi orang jahat! Karena itu, engkau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan mereka. Engkau seorang gadis muda yang cantik, tentu akan banyak menghadapi godaan pria-pria iseng. Jangan layani mereka kalau mereka tidak keterlaluan sekali dan usahakan agar engkau tidak perlu membunuh orang. Jauhkan sedapat mungkin segala permusuhan yang tidak berarti. Mengertikah engkau, Hui Lan?”

Hui Lan merangkul dan mencium pipi neneknya.
“Aku mengerti, nek, dan jangan khawatir, aku akan selalu ingat nasihat nenek ini. Aku hendak berkemas, nek. Sampaikan salam hormat dan ucapan selamat tinggalku untuk kakek.”

Hui Lan berlari-lari kecil meninggalkan neneknya untuk pergi kekamarnya sendiri, diikuti pandang mata neneknya yang kemudian menggeleng-geleng kepalanya. Ia tidak segera mengambil kain sulaman yang diletakkan diatas meja, termenung membayangkan kembali semua pengalamannya di waktu ia masih gadis seusia cucunya.

Alangkah cepatnya waktu berlalu. Membayangkan semua pengalamannya diwaktu muda, seolah-olah baru terjadi beberapa bulan yang lalu. Tahu-tahu ia telah menjadi seorang nenek-nenek! Kembali ia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya yang sudah berwarna kelabu itu.

Pada hari itu juga, Hui Lan meninggalkan rumah keluarganya dan ibunya memberi bekal uang cukup banyak serta sepasang pedang Hok-mo-kiam. Ayahnya juga menyerahkan batu giok mustika yang dapat mengobati segala macam luka beracun. Setelah menerima banyak petuah dari orang tuanya, berangkatlah Hui Lan dengan buntalan pakaian dan pedangnya di punggung.

Demikianlah, pada hari itu ia memasuki kota Liok-bun dan hal pertama yang dilakukan adalah membeli sebuah payung di kedai terdekat. Hari itu panasnya bukan main dan ia tidak mau kalau wajahnya menjadi rusak kulitnya oleh sengatan matahari.

Setelah membeli payung iapun melanjutkan perjalanan memasuki kota Liok-bun. Ia tidak memperdulikan pandang mata penuh gairah dari para pria yang berpapasan di jalan, melainkan melangkah terus dengan tenangnya sampai ia melihat papan nama di depan sebuah rumah makan besar. Papan itu menyatakan bahwa tempat itu memiliki rumah makan berikut pula rumah penginapan.

Hui Lan sudah melakukan perjalanan sejak pagi tadi. Ia merasa lelah dan lapar, maka dimasukinya rumah makan itu. Semua tamu pria menengok dan memandang wajah yang cantik itu, yang kini tidak tertutup payung lagi karena Hui Lan sudah menutupkan payungnya sehingga wajahnya dapat nampak dari kanan kiri dan depan. Seorang pelayan segera menghampirinya dan berkata dengan hormat.

“Selamat siang, nona. Apakah siocia hendak makan atau menyewa kamar?”

“Kedua-duanya,” jawab Hui Lan. “Akan tetapi perlihatkan dulu kamar itu!”

“Mari, silakan nona.” kata si pelayan yang mendahului naik anak tangga menuju ke loteng dimana banyak kamar disewakan.

Setelah diantarkan ke sebuah kamar sudut, Hui Lan merasa cocok. Kamar itu cukup bersih dan ia segera menaruh buntalannya diatas meja.

“Sekarang, harap sediakan air untuk mencuci muka, setelah itu baru aku akan turun dan memesan makanan.”

“Baik, siocia.”

Pelayan itu pergi dan tak lama kemudian dia datang lagi membawa sebaskom air jernih yang dia letakkan ke atas sebuah bangku.

“Terima kasih, dan keluarlah. Nanti aku akan turun dan makan.”

“Baik, siocia.” pelayan itu mengangguk dan segera meninggalkan kamar itu.

Hui Lan menutupkan kamar itu, lalu membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Kemudian ia keluar dari kamarnya, meninggalkan pakaiannya akan tetapi membawa uang, batu giok mustika dan pedangnya turun dari loteng. Pelayan yang tadi menyambutnya.

“Bawa pergi baskom air itu, bersihkan kamar dan panggil pelayan lain agar aku dapat memesan makanan.” kata Hui Lan.

Ia hanya mengerutkan alis saja melihat betapa semua pria melahapnya dengan pandang mata mereka. Iapun sengaja duduk di depan meja dan menghadap ke dinding, membelakangi para tamu. Bagaimanapun juga, akan tidak nyaman makan dipandang banyak mata. Memang ia tidak mengacuhkan mereka, akan tetapi merasa tidak enak juga.

Seorang pelayan lain menghampirinya dan Hui Lan memesan nasi dan beberapa macam sayuran. Untuk minumnya ia minta disediakan air teh.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar