Ads

Sabtu, 03 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 46

Diam-diam Si Kong kagum juga. Ilmu pedang gadis ini benar-benar lihai. Bahkan jauh lebih lihai dibandingkan enam orang pelayan yang mengeroyoknya tadi. Guru gadis ini tentulah seorang sakti.

Si Kong selalu mengalah dalam pertandingan ini. Dia mengerahkan ilmu Yan-cu Hui-kun sehingga tubuhnya seperti burung walet terbang saja. Kalau dia mau menggunakan ilmu silat Hok-lion Sin-ciang atau Thi-ki-i-beng tentu dia akan dapat merobohkan gadis itu dengan cepat. Akan tetapi dia tidak mau mempergunakan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Ceng Lojin kalau keadaan tidak terlalu berbahaya dan mendesak. Dia sengaja memperpanjang pertandingan itu untuk “memberi muka” kepada gadis itu.

Sambil bertanding dia mengingat-ingat, dimana dia pernah bertemu dengan gadis yang wajahnya tidak asing baginya itu. Akhirnya dia teringat akan anak panah tangan yang dipergunakan gadis itu untuk menyerangnya. Dia teringat bahwa anak panah seperti itu pernah dipergunakan Siangkoan Ji terhadap anak buah Kwi-jiauw-pang! Gadis ini tentulah Siangkoan Ji, atau nama aslinya Siangkoan Cu Yin!

Pedang menyambar lagi dengan kuatnya. Si Kong menyambut dengan tongkatnya, mengerahkan tenaga sinkangnya dan gadis itu tidak mampu lagi melepaskan pedangnya dari tongkat. Pedang itu seolah telah melekat kuat pada tongkat bambu itu. Gadis itu menarik-narik pedangnya akan tetapi tidak berhasil.

Mendadak ia menggunakan tangan kirinya untuk memukul kepala Si Kong. Pemuda ini tidak mengelak melainkan menangkap pergelangan tangan itu dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga gadis itu tidak dapat lagi melepaskan tangan. Ia meronta-ronta akan tetapi tetap saja tangan kiri dan pedangnya melekat dan tidak dapat ia lepaskan. Gadis itu menjadi jengkel dan hampir menangis sambil menarik-narik.

Si Kong berkata tenang dan lembut.
“Sudah cukupkan, Ji-te?” lalu dilepaskannya pedang dan tangan gadis itu.

Siangkoan Cu Yin bersungut-sungut lalu menyimpan pedangnya dan memandang kepada Si Kong dengan sikap marah.

“Engkau seorang yang kejam!”

“Ehh? Dimana letak kekejamanku, Yin-moi? Kalau aku kejam, tentu aku akan menyerang orang-orangmu dan engkau dengan jurus maut! Akan tetapi aku melukaipun tidak, bagaimana kau katakan aku kejam?”

“Engkau meninggalkan aku seorang diri di hutan, apakah itu tidak kejam?”

“Ah, itukah yang kau maksudkan kejam? Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali meninggalkanmu, Yin-moi. Akan tetapi, tidak ada cara lain yang dapat kutempuh. Sudah kukatakan, kita tidak mungkin melakukan perjalanan bersama. Itu namanya tidak pantas, apalagi bagimu, seorang gadis.”

Si Kong benar-benar menghela napas dengan hati murung. Dia merasa gembira ketika mengadakan perjalanan bersama gadis ini, padahal ketika itu dia tidak tahu bahwa gadis itu menyamar sebagai seorang pemuda. Apalagi sekarang, setelah pemuda jembel itu berubah menjadi gadis secantik ini, betapa akan senangnya melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi kesopanan melarangnya.

“Siapa yang mengatakan tidak pantas? Aku akan menjadi Siangkoan Ji lagi kalau engkau mau melakukan perjalanan bersamaku.”

Si Kong menghela napas. Betapa akan senangnya dan gadis inipun berpengetahuan luas, banyak tokoh kangouw dikenalnya. Dia teringat akan Ang I Sianjin.

“Yin-moi, dapatkah engkau memberitahukan kepadaku dimana tempat tinggal Ang I Sianjin?”

Siangkoan Cu Yin berseri wajahnya.
“Dia adalah ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di bukit Kwi-liong-san. Kita kesana berdua, Kong-ko? Aku akan membantumu!” katanya penuh semangat.

“Siocia, Lo-ya pasti akan marah kalau siocia tidak berusaha mencari pedang itu. Kami berenam diutus untuk membantumu. Bagaimana siocia dapat mengajak orang lain, seorang pria pula?” kata seorang diantara enam orang pelayan itu, sambil membungkuk dengan hormat kepada Siangkoan Cu Yin.

“Jangan mencampuri urusanku!” bentak Cu Yin dengan mengkal hatinya.

“Yin-moi, bagaimanapun juga, engkau harus mentaati perintah ayahmu. Kecuali itu, akupun tidak dapat menerima permintaanmu untuk melakukan perjalanan bersama. Nah, selamat tiggal Yin-mio!”

“Tunggu, Kong-ko…!”

Cu Yin juga meloncat cepat dan akhirnya dapat menyusul karena Si Kong sengaja memperlambat larinya dan menunggu gadis itu.

“Ada apa lagi, Yin-moi?”

“Kong-ko, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa aku… aku mencintaimu?”






Si Kong menghela napas panjang.
“Engkau keliru, Yin-moi. Engkau puteri seorang datuk yang kenamaan dan kaya raya, sedangkan aku hanya seorang pengelana yang hidup sebatang kara dan tidak memiliki tempat tinggal. Sepatutnya engkau berjodoh dengan seorang pemuda yang setingkat derajatnya denganmu. Aku berterima kasih kepadamu, Yin-moi, akan tetapi maafkan aku. Aku tidak berani melakukan perjalanan bersamamu. Selamat tinggal!”

Sekali ini Si Kong meloncat dan berlari dengan cepat sekali sehingga Cu Yin tidak akan mampu mengejarnya.

Enam orang pelayan itu berlarian menyusul nona majikan mereka dan mereka menemukan Cu Yiin menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar.

Joli tadi juga sudah dibawa kesitu.
“Silakan duduk dalam joli, siocia. Katakan kemana siocia hendak pergi dan kami akan mengantarmu.”

Cu Yin marah dan menyesal sekali jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan enam orang pelayannya. Maka ia lalu membuka tirai, masuk ke dalam joli dan berkata,

“Antarkan aku ke Kwi-liong-san!”

Enam orang itu saling pandang akan tetapi tidak berani membantah. Empat diantara mereka lalu memanggul joli itu dan mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Mereka adalah orang-orang yang lihai, menjadi pelayan dan juga menerima pelajaran ilmu silat dari Lam-tok, maka perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Di sepanjang jalan mereka mendengar nona majikan mereka menangis terisak-isak.

Puncak bukit itu nampak bersih dan sejuk dipagi hari itu. Malam tadi turun hujan lebat dan pagi ini segala sesuatu nampak hidup. Daun-daun pohon masih basah, rumput-rumput dan ilalang nampak segar bagaikan kanak-kanak yang baru habis mandi. Tanah mengeluarkan bau yang sedap, seolah menghaturkan terima kasih kepada langit yang semalam telah menghujaninya.

Matahari baru muncul di tepi bukit dan langit menjadi lukisan yang paling indah didunia. Ada seberkas cahaya biru diantara awan-awan putih, sangat mengesankan dan penuh mengandung rahasia alam.

Si Kong duduk diatas batu dan termenung. Dia tadi menikmati keindahan yang terbentang luas dihadapannya, juga dia menikmati kicau burung di pohon-pohon, akan tetapi sayang keadaan yang indah dimana dia merasa ikut menjadi satu dengan seluruh alam itu, hanya sebentar saja dinikmatinya. Hati akal pikirannya sudah bekerja lagi dan dia teringat kepada Cu Yin.

Cu Yin mengaku cinta kepadanya! Hampir dia tidak percaya. Gadis yang begitu kaya dan lihai, puteri Lam-tok, jatuh hati kepadanya! Terbayanglah wajah yang cantik jelita itu. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Cu Yin. Akan tetapi yang dia rasakan hanya kekaguman terhadap ilmunya, keberaniannya, kepintarannya dan kecantikannya. Dia tidak tahu apakah dia mencintai Cu Yin ataukah tidak.

Lamunannya membuyar ketika muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enampuluh tahun, memikul sebongkok kayu, tentu untuk dijadikan kayu bakar, pikir Si Kong. Kakek itu terbongkok-bongkok memikul beban kayu itu. Dan tiba-tiba Si Kong mendapat pikiran yang dianggapnya baik sekali. Laki-laki setua kakek itu tentu banyak pengalamannya tentang hidup, sudah banyak merasakan suka duka dalam kehidupan dan dengan sendirinya tentu mengenal cinta.

“Selamat pagi, paman!” kata Si Kong dengan ramah. “Maukah paman menikmati roti kering dan daging kering sambil minum arak bersamaku?”

“Daging dan roti kering? Dan ada araknya pula? Orang muda, akan bodohlah aku kalau aku menolak tawaranmu yang baik itu.”

Dia berusaha menurunkan ikatan kayu dari pundaknya dan cepat Si Kong membantunya.

Si Kong mengeluarkan bungkusan roti kering dan daging kering yang dibelinya kemarin siang dari kedai makanan, lalu mereka berdua duduk berhadapan di atas batu sambil makan minum.

“Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau begini baik dan ramah kepadaku?”

“Di pagi yang sunyi ini dapat bertemu dengan paman, sungguh menyenangkan hatiku. Aku tahu bahwa paman tentu seorang yang baik budi, maka kuanggap bahwa paman tentu dapat menjawab rahasia yang menekan hatiku.”

Kakek itu minum arak dari guci, dan merasa puas dan kenyang.
“Apakah soal yang harus dijawab itu? Aku hanya seorang penghuni dusun dibawah sana. Pengetahuanku dangkal saja, bagaimana aku dapat menjawab rahasia yang engkau sendiri tidak mampu melakukannya?”

“Aku yakin paman bisa karena paman sudah mengalaminya, sedangkan aku belum.”

“Hemm, engkau menarik hatiku, orang muda. Coba katakan, rahasia apakah itu?”

“Sederhana saja bagimu, paman. Aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sesungguhnya cinta itu? Paman pernah jatuh cinta bukan?”

Kakek itu terkekeh. Dia adalah seorang petani yang sederhana, berpikiran sederhana pula. Mendengar pertanyaan itu, dia merasa lucu.

“Orang muda, tentu saja aku pernah jatuh cinta, bahkan seringkali aku jatuh cinta.”

Si Kong terkejut. Kakek ini jatuh cinta kepada banyak wanita?
“Berapa kali engkau jatuh cinta, paman?”

“Tak terhitung lagi berapa banyaknya. Aku mencintai siteriku, mencintai anak-anakku, mencintai kepala dusunku yang baik hati, mencintai sahabat-sahabatku, bahkan mencintai parang ini dan cangkul dirumah.”

Si Kong tertegun.
“Jadi paman hanya sekali saja beristeri?”

“Ya, sekali saja. Aku mencintai isteriku karena ia menyenangkan hatiku melayani semua kehendakku dan tidak pernah membantah.”

“Apakah cinta paman kepada isteri paman itu sama dengan cinta paman kepada anak-anak, tetangga, dan juga cangkul itu?”

“Tentu saja sama. Aku mencintai isteriku karena ia dengan senang hati melayaniku. Aku mencinta anak-anakku karena mereka taat dan berbakti kepadaku. Aku mencinta kepala dusun, para sahabatku, karena mereka itu bersikap baik kepadaku. Aku mencinta parang dan cangkul karena benda-benda itu berguna bagiku. Pendeknya aku mencinta segala yang menguntungkan dan menyenangkan hatiku. Andaikata barang ini pecah menjadi dua, tentu aku tidak mencintanya lagi dan aku akan membuangnya.”

“Akan tetapi cinta seperti itu bukanlah cinta yang sejati, paman. Cinta seperti itu mudah luntur dan berbalik menjadi benci!”

“Heh-heh-heh, mana ada cinta yang tanpa pamrih disenangkan? Aku mencinta isteriku karena ia penurut dan menyenangkan, demikian pula anak-anak dan yang lain-lain. Bahkan aku memuja dan mencinta Kwan Im Posat (Dewi Kwan Im) karena ia memberi berkah kepadaku. Bukankah cinta kita ini seperti itu adanya? Mencinta karena ada pamrih supaya disenangkan? Kalau engkau mempunyai isteri dan ia menyeleweng atau tidak menyenangkan hatimu, apakah engkau masih bisa mencintanya? Kalau anak-anak mendurhaka kepadamu, apakah engkau akan tetap mencinta mereka? Kalau kawan-kawan dan yang lain itu merugikan dan tidak menyenangkan hatimu, apakah masih ada perasaan cinta itu dalam hatimu terhadap mereka? Manusia mencintai seseorang atau sesuatu benda pada dasarnya tidak berbeda. Kalau orang atau benda itu menyenangkan dan menguntungkan, dia akan mencintainya, sebaliknya kalau tidak menguntungkan atau merugikan, dia akan membencinya.”

Si Kong tertegun dan termenung. Ucapan itu keluar dari mulut seorang petani sederhana, seorang yang jujur, seorang yang tidak pernah membaca kitab agama dan filsafat, namun dia harus mengakui kebenarannya. Cinta dalam hati manusia memang berpamrih, demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, semacam cinta jual beli. Alangkah palsu dan kotornya cinta itu.

“Akan tetapi, paman. Ada cinta yang murni seperti misalnya cinta seorang ibu kepada anaknya. Kalau ada ibu yang membenci anaknya, maka ia itu seorang yang tidak waras pikirannya.”

“Hemm, aku masih menyangsikan cinta seorang ibu kepada anaknya. Apakah ia tidak pernah marah kepada anaknya? Apakah ia tidak pernah jengkel karena kenakalan anaknya? Nah, marah dan jengkel itu lahir dari benci karena si anak tidak menyenangkan hatinya.”

“Apakah tidak ada cinta murni tanpa pamrih dalam dunia ini?” tanya Si Kong dengan penasaran.

“Menurut penglihatanku, tidak ada. Memang ada cinta, akan tetapi cinta itu diselingi rasa benci yang dapat timbul sewaktu-waktu kalau yang dicintai itu tidak menyenangkan hati.”

“Tapi, paman. Lihat sinar matahari. Dia memberi cahaya dan kehidupan tanpa pamrih, tanpa minta imbalan apapun. Lihat harumnya bunga, dia memberi keharuman kepada siapapun juga tanpa pandang bulu, juga tanpa pamrih apapun. Apakah itu bukan cinta sejati yang suci murni?”

“Wah, engkau benar juga. Bahkan tanah, air, pohon-pohon berbuah, bahkan kayu-kayu kering ini, semua itu menguntungkan dan menyenangkan kita tanpa pamrih apapun! Engkau benar, orang muda. Akan tetapi aku tidak tahu mengapa segala benda itu seolah mencintai manusia tanpa pamrih, sedangkan semua manusia itu baru bisa mencinta kalau disenangkan hatinya, tegasnya cinta manusia itu berpamrih. Mengapa begitu?”

“Karena manusia itu makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, paman. Manusia sejak lahir dikaruniai nafsu-nafsu yang maksudnya untuk menyertai manusia, menjadi budak manusia. Akan tetapi manusia itu lemah terhadap nafsunya sendiri sehingga bukan dia yang menjadi majikan nafsu, melainkan sebaliknya dia menjadi budak nafsu. Cinta mengandung nafsu inilah yang membuat cinta itu berpamrih, karena nafsu sifatnya ingin menang, ingin untung, dan ingin senang. Adapun cinta seperti bunga harum dan matahari bercahaya itu adalah cinta Tuhan kepada kita. Tuhan selalu memberi, memberi tanpa menuntut sesuatu, sejak lahir kita sampai kita mati, karena itulah sudah sepatutnya kalau kita bersyukur dan memuja Tuhan setiap saat.”

Si Kong mengeluarkan pengetahuannya yang di dapat ketika dia menjadi murid Si Penyair Gila atau Kwa Siucai.

Kakek itu menjadi bengong. Menurut pengetahuannya yang didapat dari tradisi, segala benda itu dikuasai oleh para dewa. Karena itu, dia dan masih banyak orang lagi selalu bersembahyang untuk menyenangkan hati para dewa itu, agar mendapatkan berkah. Tuhan itu dianggap sebagai Raja, maka untuk memberkahi semua orang, dilakukan oleh para dewa yang menjadi pembantu-pembantuNya. Orang muda ini begitu pandai, pikirnya dan otaknya kalau harus memikirkan itu, menjadi pening dan bingung.

“Mungkin engkau benar, orang muda. Akan tetapi matahari sudah mulai naik sebentar lagi panas terik menyengat. Aku harus cepat pulang, isteriku telah menunggu karena kayu bakarnya habis. Terima kasih atas sarapan yang kau hidangkan padaku.”

Kakek itu memanggul kayu bakarnya dan melangkah pergi menuruni bukit itu. Si Kong hanya mengikutinya dengan pandang matanya.

Dia termenung dan berulang kali menghela napasnya. Kakek tadi itu tentu seorang yang berbahagia hidupnya. Keluarganya hidup sederhana, tidak banyak yang mereka butuhkan, sehingga mendapatkan seikat kayu bakar saja sudah membahagiakan hatinya, disuguhi sarapan berupa roti dan daging kering saja sudah amat menyenangkan hatinya.

Dia menghela napas panjang lagi. Mengapa dia tidak pernah dapat merasakan bahagia? Kadang-kadang memang hatinya senang, akan tetapi lebih sering hatinya murung. Kenapa bahagia seolah menghindar darinya?

Apalagi disaat itu. Dia merasa sedih, kesepian, tidak tahu harus berbuat apa dan harus kemana. Dia merasa tidak ada yang membutuhkannya. Dia menoleh ke arah buntalan pakaiannya dan teringatlah dia akan sepasang gelang dalam kantung kain yang berada dibuntalan bersama pakaiannya. Begitu teringat akan gelang itu, teringat pula dia akan Tan Kiok Nio, keponakan Hartawan Kun yang berbudi baik.

Gadis itu telah memberikan sepasang gelang kepadanya, untuk bekal mencari orang yang telah membunuh ayah bunda gadis itu. Dan dia sudah tahu siapa orang itu. Tentu Ang I Sianjin! Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau Ang I Sianjin pembunuh orang tua Kiok Nio dan merampas pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya ampuh luar biasa itu, mengapa dalam pertandingan tadi Ang I Sianjin tidak mempergunakan pedang pusaka itu? Dia sudah memeriksa pedang yang terlepas dari tangan Ang I Sianjin ketika berkelahi dengannya, dan pedang itu walaupun pedang yang baik, akan tetapi bukan pedang Pek-lui-kiam yang dimaksudkan. Kalau memang Ang I Sianjin merampas pedang itu, mengapa tidak menggunakan Pek-lui-kiam?

Kalau sekarang dia kembali ke kota Ci-bung untuk memberitahu kepada Kiok Nio bahwa pembunuh ayah bundanya adalah Ang I Sianjin, hal itu tidaklah cukup. Dia harus yakin benar bahwa Ang I Sianjin pembunuh itu, dan untuk meyakinkan hatinya, dia harus berusaha untuk merampas kembali pedang Pek-lui-kiam. Tidak, tidak sekarang, melainkan kalau nanti dia sudah yakin dan keyakinan itu akan terbukti jika dia dapat merampas Pek-lui¬kiam dari tangan Ang I Sianjin.

Pula, kalau sekarang dia memberitahukan Kiok Nio bahwa musuh besarnya adalah Ang I Sianjin dan gadis itu pergi dengan nekat untuk membalas dendam, hal itu akan amat berbahaya bagi Kiok Nio.

Timbul semangat dalam batin Si Kong. Masih ada yang membutuhkan dia, yaitu Kiok Nio! Perasaan dibutuhkan ini menimbulkan gairah hidup baginya. Dia harus mencari Ang I Sianjin dan Siangkoan Cu Yin sudah memberitahu kepadanya bahwa Ang I Sianjin adalah ketua perkumpulan Cakar Setan yang berpusat di Kwi-liong-san. Dia kini mempunyai tujuan perjalanannya, yaitu ke Kwi-liong-san mencari Ang I Sianjin.

**** 46 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar