Ads

Kamis, 01 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 45

“Wah, hebat sekali engkau, Ji-te, dan aku lega dan girang bukan main melihat engkau selamat, dan lebih girang lagi melihat engkau tidak marah kepadaku.”

Siangkoan Cu Yin memandang wajah pemuda itu dan melihat betapa pipi kiri pemuda itu merah bekas tamparannya. Ia merasa menyesal dan malu.

“Kong-ko, kau maafkanlah aku. aku tadi menamparmu karena merasa malu dan bingung.”

“Tidak mengapa, Ji-te. Aku merasa bersalah dan lancang maka kalau engkau ingin menampar lagi, silakan, selagi aku masih berada disini.”

Cu Yin membelalakkan matanya.
“Apa maksudmu, Kong-ko? Selagi engkau masih disini? Engkau hendak pergi kemanakah?”

“Terpaksa kita harus berpisah, Yin-moi. Engkau seorang gadis, dan aku seorang pemuda, tidak baik kita melakukan perjalanan bersama. Pula, engkau mendapat tugas dari ayahmu untuk mencari Pek-lui-kiam. Aku sendiri juga mencari Pek-lui-kiam, maka sebaiknya kita mencari secara terpisah. Lebih besar kemungkinan untuk dapat menemukan pedang pusaka itu.”

“Akan tetapi, biarpun aku seorang wanita, aku sudah menyamar sebagai pria. Engkau sendiri mengatakan bahwa penyamaranku baik sekali. Tidak ada orang lain mengetahui bahwa aku sebenarnya seorang wanita. Apa salahnya kalau kita berdua melakukan perjalanan bersama? Dalam pandangan orang lain, kita adalah dua orang muda laki-laki yang melakukan perjalanan bersama.”

“Akan tetapi ingat, Yin-moi. Aku seorang pria dan aku sudah mengetahui bahwa engkau seorang wanita. Tidak, kita harus berpisah sekarang juga. Selamat tinggal, Yin-moi. Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali.”

”Kong-ko….!”

Akan tetapi pemuda itu telah berkelebat lenyap dari depan Cu Yin. Gadis itu mengejar dan memanggil-manggil beberapa kali, namun ilmu lari cepat Si Kong demikian hebatnya sehingga sebentar saja sudah lenyap bayangannya. Cu Yin berhenti mengejar, membanting-ganting kaki kanannya dan air matanya berlinang.

“Kau….. kejam, meninggalkan aku seorang diri…..!” keluhnya.

Gadis ini merasa amat tertarik kepada Si Kong, apalagi setelah ia mengetahui bahwa ilmu kepandaian pemuda itu tinggi sekali. Tanpa ia sadari, ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu, maka dapat dibayangkan betapa kecewa dan sedih hatinya ketika pemuda itu meninggalkannya.

Setelah menyatakan kekesalan hatinya dengan membanting-banting kaki, Cu Yin juga berlari cepat dengan harapan akan bertemu dengan Si Kong. Akan tetapi bukan Si Kong yang ditemuinya, melainkan enam orang wanita berpakaian seragam biru-biru. Keenam orang wanita yang berusia antara duapuluh lima sampai tigapuluh tahun dan semua memiliki kecantikan yang lumayan, menghadang di jalan dan segera memberi hormat kepada Cu Yin.

“Selamat bertemu, siocia (nona).”

“Heii, apa-apaan kalian ini berkeliaran disini? Apakah ayah berada didekat sini?”

“Tidak, siocia. Kami diperintahkan oleh Lo-ya (tuan tua) untuk menyusul dan mencari nona.”

“Untuk apa mencariku?”

“Kami ditugaskan untuk mengawal dan membantu siocia mencari Pek-lui-kiam. Bahkan Lo-ya mengatakan bahwa kalau sampai tiga bulan siocia belum kembali membawa Pek-lui-kiam, Lo-ya sendiri yang akan datang membantu siocia.”

Agak terhibur hati Cu Yin yang kecewa karena ditinggal pergi Si Kong, karena kini ada enam orang pelayan ayahnya yang menemaninya. Mereka berenam ini rata-rata telah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.

“Apakah kalian tadi melihat seorang pemuda yang memakai caping lebar dan pakaian seperti petani?”

“Kami melihatnya, siocia. Dia memasuki kota Si-kiang di depan itu, siocia.”






“Sekarang aku ingin berpakaian seperti gadis, apakah kalian dapat mencarikan pakaian itu?”

“Jangan khawatir, siocia. Kami sudah mempersiapkan sejak semula.”

Benar saja. Enam ornag pelayan itu sudah membawa beberapa pasang pakaian Cu Yin. Cu Yin segera berganti pakaian dan sebentar saja ia sudah berubah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita!

Enam orang pelayan itu lalu membuat sebuah joli dan Cu Yin segera naik ke atas tandu itu dan menurunkan tirai tandu. Enam orang gadis itu menggotong tandu bergantian atas perintah Cu Yin dan mereka berangkat menuju ke kota Si-keng.

Si Kong tinggal di Si-keng selama empat hari. Dia berputar-putar di kota itu untuk mencari tahu kalau-kalau ada orang yang dapat menunjukkan dimana adanya Ang I Sianjin. Namun usahanya sia-sia belaka. Tidak ada orang yang melihat datuk berpakaian serba merah itu. Maka diapun lalu membayar sewa kamar di sebuah losmen, lalu melanjutkan perjalanannya keluar dari kota itu.

Baru beberapa li jauhnya dia meninggalkan Si-keng dengan perjalanan seenaknya, tiba-tiba dia mendengar bentakan wanita dibelakangnya.

“Hei, petani bodoh, minggir…!”

Si Kong membalikkan tubuhnya dan melihat empat orang wanita berpakaian serba biru memanggul sebuah joli, dan dua orang wanita lain berjalan di depan joli. Hatinya mendongkol sekali. Dia sedang berjalan santai sambil melamun, mengenang kembali Siangkoan Ji yang ternyata Siangkoan Cu Yin itu. Betapa bodohnya, berhari-hari lamanya melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang disangkanya seorang laki-laki.

Ketika mengenang kembali betapa dia sudah menyedot racun dari pundak yang kulitnya putih mulus dan lunak itu, jantungnya berdebar dan mukanya berubah merah. Dia marah kepada diri sendiri. Mengapa dia mengenang gadis itu dengan hati terasa kehilangan dan kesepian? Dalam keadaan mendongkol kepada hati akal pikirannya sendiri itulah dia dikejutkan oleh suara wanita yang menyuruhnya minggir dengan nada merendahkan.

Ketika dia membalik dan melihat bahwa mereka itu adalah gadis-gadis, hatinya makin kesal lagi. Jalan itu cukup lebar, para gadis itu dapat saja melewatinya dan berjalan ke pinggir, mengapa dia harus minggir?

“Kau yang minggir!” bentaknya dengan mata mengandung kemarahan.

Seorang diantara gadis-gadis itu yang berjalan di depan joli, memandang kepadanya dengan mata melotot.

“Kau berani membantah? Kau ingin mampus?”

“Kalian yang ingin mampus!” jawab Si Kong dengan hati mendongkol.

Dua orang gadis yang tidak menggotong joli itu menjadi marah. Tangan mereka bergerak dan empat batang hui-to (piasu terbang) menyambar ke arah tubuh Si Kong.

Pemuda ini terkejut bukan main melihat serangan maut itu. Dengan cepat tubuhnya meloncat ke atas sehingga empat batang pisau itu lewat di bawah kakinya. Dua orang gadis itu mencabut pedang dan cepat menyerang lagi. Gerakan mereka cukup cepat dan bertenaga. Namun Si Kong yang sudah marah itu kini menggunakan tongkat bambunya. Begitu dia bersilat dengan Ta-kaw Sin-tung, dalam beberapa jurus saja dia membuat dua orang wanita itu terjungkal. Dia tidak menyerang dengan sepenuh tenaga, dan hatinya sudah puas membuat dua orang wanita galak dan jahat itu roboh.

Empat orang gadis yang lain sudah menurunkan joli dan kini mereka berempat menyerang Si Kong dengan pedang mereka. Yang dua orang sudah bangkit lagi dan ikut menyerang. Kini Si Kong dikeroyok oleh enam orang wanita itu. Setelah mereka maju bersama, Si Kong merasa kagum juga.

Para wanita ini masing-masing memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi dan setelah maju bersama mereka sudah membentuk barisan pedang yang kompak sekali. Kalau saja Si Kong tidak memiliki ilmu tongkat yang sakti itu, dan kalau saja dia belum menguasai Liok-te Hui-teng sehingga gerakannya amat ringan dan cepatnya, tentu dia akan kewalahan juga menghadapi barisan pedang yang dibentuk oleh enam orang wanita itu.

Dia bergerak amat cepatnya dan mengerahkan tenaga dalam tongkatnya. Begitu dia memutar tongkatnya dan badannya ikut berputar, terdengar suara berkerontang berulang kali dan enam orang gadis itu sudah roboh semua dan pedang mereka sudah terlepas dari tangan mereka!

Sekali ini, enam orang gadis itu bangkit sambil meringis. Untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak ingin melukai mereka, maka mereka hanya merasa nyeri karena terbanting saja, akan tetapi tidak sampai luka . setelah pedang mereka terpental dan terlepas, juga mereka semua berpelantingan, enam orang gadis itu menjadi jerih dan mereka bangkit sambil memandang ke arah joli.

Joli tersingkap dan muncullah seorang gadis yang amat cantik jelita. Sebatang pedang tergantung dipunggungnya.

“Manusia kurang ajar, berani engkau merobohkan para pelayanku?”

Si Kong menjadi bengong. Gadis itu cantik bukan main dan melihat pakaiannya yang serba biru dan mewah, dapat diduga bahwa gadis ini tentu seorang gadis bangsawan atau setidaknya hartawan. Rambutnya digelung tinggi dan dihias tusuk sanggul terbuat dari emas permata, kedua pergelangan tangannya terhias gelang kemala yang mahal harganya, kedua telinganya mengenakan anting-anting terbuat dari emas permata pula. Pakaiannya warna-warni dari kain sutera halus, dan sepatunya masih berwarna hitam mengkilap.

Wajah itu sungguh luar biasa cantiknya. Kulit mukanya putih kemerahan, terutama dikedua pipi bawah matanya, padahal muka itu tidak memakai bedak tebal atau gincu. Anak rambut yang halus sekali berjuntai kedahi dan pelipisnya. Sepasang alisnya hitam dan kecil melengkung seperti dilukis, melindungi sepasang mata yang sukar digambarkan saking indahnya. Mata itu tajam dan jernih, dengan kedua ujung bergaris ke atas, dihias bulu mata yang panjang lentik. Hidungnya mancung kecil dengan punggung hidung sedikit menonjol! Mulutnya! Entah mana yang lebih indah dan memiliki daya tarik terbesar. Mata atau mulutnya. Bibirnya begitu lembut dan merah membasah, nampaknya seperti tersenyum manis sekali, akan tetapi dagunya yang runcing itu seperti mengejek dan membayangkan kekerasan hatinya.

“Hei, petani kurang ajar! Jawablah pertanyaanku tadi!”

Gadis itu membentak lagi dan ketika bicara, nampak giginya yang putih mengkilap dan rapi. Rongga mulutnya kelihatan segar kemerahan tanda bahwa ia bertubuh sehat.

Si Kong seperti tertarik ke alam kenyataan.
“Eh….. oh….. pertanyaan apa?” katanya gagap karena dia tadi seperti dalam mimpi. Bingung pikirannya karena dia merasa bahwa wajah si cantik jelita itu tidak asing baginya.

“Mengapa engkau berani merobohkan enam orang pelayanku?”

“Aku terpaksa, nona. Merekalah yang mengeroyokku.”

“Hemm, kalau memang jagoan, jangan melawan pelayanku. Akulah lawanmu!”

“Aku…. aku tidak ingin berkelahi denganmu, nona. Diantara kita tidak ada permusuhan, mengapa kita harus berkelahi?”

“Engkau telah merobohkan enam orang pengikutku, itu sudah merupakan permusuhan. Nah, sambutlah ini!”

Gadis cantik itu menggerakkan kedua tangannya dan sinar-sinar putih menyambar ke arah Si Kong.

Si Kong terkejut dan maklum bahwa senjata rahasia itu amat berbahaya, maka cepat dia mengambil topi capingnya dan menggunakan caping yang lebar itu untuk menyambut senjata-senjata itu. Dia melihat bahwa senjata rahasia itu adalah anak panah yang beracun. Dibuangnya topi capingnya dan dia mengerutkan alisnya. Gadis ini begitu cantik akan tetapi juga begitu ganas, begitu menyerangnya sudah mengarah kematiannya!

“Singgg….!” Nampak sinar berkilauan ketika gadis itu mencabut pedang dari pungungnya.

“Terimalah pedangku ini!” demikian ia membentak dan segera menyerang Si Kong dengan kecepatan luar biasa.

Si Kong melompat jauh ke samping, menangkis dengan tongkat bambunya. Akan tetapi ternyata gadis itu lihai sekali ilmu pedangnya. Begitu di tangkis, pedang itu melenceng dan membabat kaki Si Kong. Pemuda ini terpaksa meloncat ke atas dan dia harus mengelak dan menangkis, sibuk sekali karena gadis itu menyerangnya secara sambung-menyambung dan bertubi-tubi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar