Ads

Kamis, 01 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 44

“Bocah kurang ajar! Berani engkau membunuhi anak buahku?” bentaknya dan diapun sudah mencabut pedang di punggungnya dan kipas di pegang di tangan kirinya.

Setelah itu, dia menerjang Siangkoan Ji dengan membabi buta saking marahnya, Siangkoan Ji mengelak dengan cepatnya, berlompatan ke kanan kiri, kadang ke atas. Kini dia tidak mendapat kesempatan untuk menggunakan anak panahnya. Akan tetapi begitu tangannya bergerak, dia sudah mencabut sepasang pisau belati atau pedang kecil yang disembunyikan di bawah jubahnya yang kebesaran. Dan begitu dia memegang sepasang belati itu, diapun kini dapat membalas serangan Ang I Sianjin dengan nekat!

Biarpun sedang bertanding melawan Tung-hai Liong-ong, akan tetapi Si Kong tidak pernah melepaskan perhatiannya begitu dia melihat kawannya bertanding melawan Ang I Sianjin. Jantungnya berdebar karena tegang dan gelisah. Sekali pandang saja tahulah bahwa Ang I Sianjin bukan lawan Siangkoan Ji, dan pemuda jembel itu terancam bahaya maut!

Saat itu, tongkat naga menyambar ke arah kepalanya. Si Kong menangkis dengan tongkat bambunya dan mengerahkan tenaga sinkangnya sehingga tongkat itu tidak dapat terlepas dari tempelan tongkat bambu. Ketika lawan agak terkejut melihat ini, Si Kong sudah mengeluarkan jurus Hok-liang Sin-ciang, menghantam ke arah perut lawan. Tung-hai Liong-ong masih dapat menangkis, akan tetapi pukulan ke arah perut itu ditangkis turun dan tetap mengenai pahanya.

“Dess…!”

Tubuh Tung-hai Liong-ong terlempar. Empat orang anak buah Kwi-jiauw-pang menyerang Si Kong, akan tetapi dengan gerakan tongkatnya dia mampu membuat empat orang itu roboh dan tak dapat bergerak lagi karena sudah tertotok jalan darah mereka.

Si Kong menoleh ke arah Siangkoan Ji. Dia terkejut sekali karena kini pemuda jembel itu dikeroyok enam orang yang lihai ilmu kepandaiannya, yaitu Ang I Sianjin dan lima orang anak buahnya. Dengan sepasang pisau belatinya Siangkoan Ji membela diri, akan tetapi pihak lawan terlalu kuat baginya. Baru menanding Ang I Sianjin saja dia sudah kewalahan, apalagi kini Ang I Sianjin di bantu lima orang anak buahnya!

Sebuah tangan cakar iblis telah mengenai pundaknya, dan dadanya juga di sengat ujung kipas. Siangkoan Ji terhuyung lalu roboh. Lima orang anggauta Kwi-jiauw-pang hendak menurunkan tangan maut, akan tetapi pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu mereka berlima sudah berpelantingan dan roboh oleh terjangan Si Kong.

Si Kong yang melihat kawannya terdesak, segera meloncat untuk menolong. Akan tetapi dia sedikit terlambat karena Siangkoan Ji sudah roboh. Dengan kemarahan dan kekhawatiran, Si Kong lalu menggunakan jurus Hwi-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Terbang) dia meloncat dan menerjang lima orang yang menghampiri Siangkoan Ji dan hendak membunuhnya itu.

Terjangannya disertai tenaga dalam yang demikian hebatnya sehingga lima orang itu terpental roboh. Melihat ini, Ang I Sianjin menyerang Si Kong dengan pedang dan kipasnya. Akan tetapi Si Kong yang sudah marah, bahkan menyambut serangannya dengan gerakan tongkat yang aneh. Tahu-tahu pergelangan tangan kanan tertotok sehingga pedang itu terlepas, dan ketika kipas menyambar, Si Kong menggerakkan tongkatnya menyambut.

“Breett….!” kipas itu pecah dan Ang I Sianjin terhuyung.

Dia melihat betapa Tung-hai Liong-ong sudah melarikan diri dengan terpincang-pincang, maka melihat bahwa dia sudah tidak mempunyai kawan lagi, tanpa malu-malu Ang I Sianjin menyambitkan sisa kipasnya ke arah Si Kong.

Pemuda ini menangkis, dan dia melihat Ang I Sianjin sudah melarikan diri. Dia hendak mengejar, akan tetapi terdengar rintihan Siangkoan Ji. Cepat dia membalik dan memeriksa keadaan kawannya itu. Siangkoan Ji berada dalam keadaan setengah pingsan. Melihat ini, Si Kong segera memondongnya pergi dari situ, mencari tempat yang tenang dan bersih. Dia berhenti di bawah sebatang pohon besar lalu merebahkan Siangkoan Ji di atas tanah yang ditilami daun-daun kering itu.

Melihat baju di bagian pundak hangus dan bagian dada terobek, Si Kong lalu merobek dibagian pundak. Dia mengerutkan alisnya melihat betapa dipundak itu nampak bekas cakaran yang menghitam! Tahulah dia bahwa kawannya itu menderita luka beracun yang ganas sekali. Cepat ditotoknya semua jalan darah di bagian leher dan pundak untuk mencegah agar racun itu tidak menjalar kemana-mana, terutama ke jantung dan kepala. Kemudian dia memeriksa detak nadi Siangkoan Ji. Dia membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya. Detik nadinya biasa-biasa saja seperti seorang yang sehat. Namun pemuda remaja itu harus diselamatkan.

Maka tanpa ragu lagi dia menempelkan mulutnya pada pundak itu dan menyedot dengan kuat. Darah yang terasa pahit memasuki mulutnya dan dia meludahkan darah itu. Sampai tiga kali dia menyedot dan meludahkan darah yang tersedot. Kemudia dia memeriksa lagi. Warna hitam itu sudah hampir lenyap sama sekali. Dia lalu mengambil sebuah botol kecil terisi obat yang lunak. Diolesinya bekas luka itu dan diapun bernapas lega. Kawannya telah tertolong. Melihat pakaian pada dada Siangkoan Ji terobek panjang seperti digurat pedang, diapun membuka pakaian dibagian dada itu.






“Ihhh….!”

Seperti dipagut ular, Si Kong meloncat jauh ke belakang. Dia berdiri dengan mata terbelalak, melihat ke arah baju yang sudah terbuka bagian dadanya. Dia melihat buah dada yang menonjol. Buah dada seorang wanita! Si Kong berdiri dan merasa betapa kedua kaki dan kedua tangannya tergetar menggigil seperti orang terserang demam. Ia lalu memejamkan matanya dan mengatur pernapasannya agar jantungnya tidak berdebar begitu keras lagi. Kemudian dia menghampiri tubuh Siangkoan Ji, dengan hati-hati menutupkan kembali baju bagian dada yang terbuka itu. Kembali dia memeriksa nadi tangan kawannya yang ternyata seorang gadis itu. Denyut nadinya normal, pertanda bahwa luka di dada itu tidak terlalu berat.

Setelah memeriksa dan merasa lega bahwa gadis itu tidak menderita luka yang parah, Si Kong menjauhkan diri lagi dan tidak melihat kearah Siangkoan Ji. Akan tetapi dia segera memejamkan matanya karena di depan matanya terbayang dada dan pundak yang terbuka. Baru kini dia menyadari betapa lembut dan halus kulit pundak Siangkoan Ji ketika dia menyentuhnya untuk memberi obat. Dan mengingat bahwa bibirnya pernah menyentuh pundak itu, mengecup dan menyedotnya, dia bergidik!

Karena dia duduk membelakangi Siangkoan Ji, dia tidak melihat betapa gadis itu telah membuka matanya, mencoba bangkit berdiri akan tetapi pundaknya terasa nyeri sehingga ia duduk kembali. Tiba-tiba terlihat betapa bajunya dibagian dada dan pundak terbuka. Cepat-cepat dia menutupkan lagi baju dibagian dada yang terbuka. Ketika ia hendak menutupkan bagian pundak, jari-jari tangannya menyentuh luka di pundak dan tahu bahwa pundak itu sudah diobati. Siapa lagi kalau bukan Si Kong yang mengobatinya? Akan tetapi, kalau demikian halnya, berarti pemuda itu telah melihat pundak dan dadanya!

Dengan mata bersinar marah dan kedua pipi kemerahan karena malu, dia memanggil,
“Kong-ko…….!”

Si Kong terkejut, menengok dan wajahnya berubah menjadi merah. Gadis itu sudah duduk dan sepasang mata yang jernih tajam itu menatapnya dengan marah.

“Ah, engkau telah siuman, Ji-te?” tanyanya, pura-pura tidak tahu bahwa kawannya itu adalah seorang gadis.

“Kong-ko, engkaukah yang telah mengobati pundakku?”

Si Kong mengangguk.
“Aku melihat engkau terluka dipundakmu karena bajumu robek. Ternyata engkau terluka oleh cakaran setan. Aku lalu mengeluarkan dan membuang racun itu.”

“Bagaimana caranya engkau mengeluarkan racun dari pundakku?”

Wajah Si Kong menjadi lebih merah lagi.
“Racun itu berada di bawah kulit pundakmu dan aku mengeluarkan dengan jalan menyedot dari luka pundakmu.”

Wajah Siangkoan Ji juga menjadi semakin merah.
“Dan….. apakah engkau memeriksa luka di dadaku?”

Si Kong menjadi semakin salah tingkah, merasa malu dan bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi lebih baik berterus terang, karena dia membuka baju dibagian dada itu bukan sengaja, melainkan karena dia tidak tahu bahwa Siangkoan Ji adalah seorang wanita.

“Bagaimana, Kong-ko?” Siangkoan Ji mendesak.

“Itu….. eh, memang aku memeriksa luka itu. Hanya lecet, tidak berbahaya.”

Siangkoan Ji mengeluarkan seruan marah dan ia sudah melupakan nyeri dipundaknya, meloncat berdiri menghampiri Si Kong.

“Engkau pemuda kurang ajar!”

“Eh, Ji-te……”

“Tidak perlu berpura-pura lagi menyebutku Ji-te. Engkau berani membuka bajuku, hal itu sungguh memalukan sekali!” Gadis itu lalu mendekat dan tangan kanannya menampar pipi kiri Si Kong.

“Plak-plakk!” Dua kali ia menampar sehingga pipi kiri Si Kong menjadi merah sekali, “Engkau patut dihajar, laki-laki tak tahu malu!”

“Eh, Ji-te….. hemm, Ji-moi…. aku tadinya sama sekali tidak tahu bahwa engkau bukan seorang pria, maka aku berani membuka bajumu untuk memeriksa lukamu!”

Kedua tangan yang sudah dikepal untuk menyerang itu menjadi lemas dan tiba-tiba saja Siangkoan Ji mejatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis sesenggukan!

Si Kong menjadi semakin bingung, Siangkoan Ji tadinya dianggap seorang pemuda remaja yang gagah perkasa dan tabah, tidak mengenal takut, akan tetapi sekarang kenyataannya ia seorang wanita! Tangisnya yang mengguguk itu lebih jelas lagi menyatakan bahwa ia memang seorang gadis yang merasa terhina dan malu karena dadanya telah terlihat oleh seorang pria!

“Ji-te…. eh, Ji-moi, kau maafkanlah aku. aku tidak sengaja dan kalau aku tahu sebelumnya bahwa engkau seorang wanita, biar bagaimanapun juga aku tidak akan berani melakukan hal itu. Kalau engkau masih penasaran, pukullah aku lagi. Aku memang layak dipukul.”

Akhirnya tangis gadis itu mereda dan iapun bangkit berdiri, wajah dan matanya kemerahan, dan kedua pipinya masih basah oleh air mata. Ia memandang kepada Si Kong dengan sinar mata tajam menyelidik.

“Engkau sudah tahu sekarang, tidak perlu lagi menyebutku Ji-te atau Ji-moi. Namaku yang sebenarnya bukan Ji.”

“Ah, maaf. Aku tidak tahu. Siapakah namamu yang sesungguhnya?”

“Namaku Siangkoan Cu Yin, kalau menyamar sebagai pria aku selalu memakai nama Siangkoan Ji.”

“Siangkaon Cu Yin? Nama yang bagus. Dan benarkah bahwa engkau puteri Lam-tok yang namanya menjulang tinggi, sangat terkenal di dunia persilatan itu?”

Si Kong memang pernah mendengar sebutan Lam-tok dari kakek Ceng Lojin. Menurut gurunya itu, di dunia ini terdapat empat orang datuk besar yang sakti. Pertama adalah Lam-tok (Racun Selatan), kedua Pai-ong (Raja Utara), ketiga Tung-giam-ong (Raja Maut Timur), dan keempat adalah sepasang datuk yang selalu bekerja sama, yaitu Toa-ok dan Ji-ok yang datang dari barat.

“Benar, aku adalah anak tunggal dari Lam-tok. Ayahku bernama Siangkoan Lok dan kami tinggal ditepi sungai Hung-kiang. Aku mendapat tugas dari ayahku untuk mencari dan merampas Pek-lui-kiam maka aku menyamar sebagai seorang pemuda jembel agar tidak ada yang mengetahui siapa sebenarnya diriku. Akan tetapi engkau…… dengan tidak sengaja telah membuka rahasiaku, tahu bahwa aku seorang wanita, maka tidak perlu lagi aku bersembunyi darimu. Akan tetapi harap engkau tidak membocorkan rahasia ini dari siapapun.”

“Penyamaranmu baik sekali, Yin-moi….”

“Kalau aku menyamar sebagai pemuda, sebut saja aku Ji-te agar tidak ada orang yang mengetahui rahasiaku.”

“Baiklah, Ji-te. Penyamaranmu baik sekali. Tadinya akupun sama sekali tidak pernah menduga bahwa engkau seorang wanita.”

“Kepandaian menyamar ini kupelajari dari mendiang ibuku. Beliau pernah menjadi sripanggung, pandai menyamar.”

“Ada satu hal lagi yang mengherankan hatiku. Cakar setan itu amat berbahaya, mengandung racun yang amat berbahaya. Akan tetapi mengapa ketika kuperiksa pundakmu, racun itu hanya berhenti dibawah kulitmu, tidak menjalar dan tidak meracuni darahmu.”

“Ayahku terkenal dengan julukan Racun Selatan, dan aku adalah anaknya. Mana mungkin aku dan ayah dikalahkan dengan racun? Sebelum bertanding tadi aku yang tahu bahwa Kwi-jiauw-pang suka menggunakan racun, telah menelan sebuah pil buatan ayah. Pil itu dapat menolak segala macam racun, baik yang masuk ke dalam melalui luka atau yang masuk melalui mulut. Karena itulah racun yang masuk ke pundakku hanya sedalam bawah kulit.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar